Sunday, March 16, 2008

Menunggu Kiprah Politisi yang Ingin Jadi Negarawan

Diah Novianti
Antara, Jakarta
Tiga calon hakim konstitusi pilihan Komisi III DPR untuk masa jabatan 2008-2013 bukan kejutan.

Mereka yang terpilih adalah wajah-wajah yang sudah dikenal publik. Mantan anggota Komisi III dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Mahfud MD, yang harus "mengungsi" sementara ke Komisi II DPR selama masa pencalonan, menduduki peringkat pertama dengan 38 suara.

Di tempat kedua, Ketua Mahkamah Konstistusi, Jimly Asshiddiqie meraih 37 suara. Sedangkan rekan Mahfud, Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar yang juga mantan anggota Komisi III DPR dan kini duduk di Komisi I DPR, meraih 32 suara di urutan ketiga.

Calon lain yang berstatus hakim konstitusi, Harjono, harus lengser dari jabatannya karena hanya berada di tempat keempat dengan 15 suara.

Sedangkan wajah-wajah yang tidak dikenal publik harus puas menjadi "penghias", karena hanya memperoleh suara minoritas. Mereka adalah Deddy Ismatullah (9 suara), Taufiqurrahman Syahuri (3 suara), Yusuf Andin Kasim, Chairul Amin dan Syamsul Wahidin, masing-masing dua suara, Lafat Akbar, Budiman NPD Sinaga, Rony SH Bako, dan Munir Fuady, masing-masing memperoleh satu suara.

Selama empat hari proses uji kelayakan dan kepatutan, mulai Selasa 11 Maret 2008 hingga Jumat 14 Maret 2008, nama Mahfud, Jimly, dan Akil, selain Harjono, sudah santer beredar sebagai calon yang dijagokan DPR.

Jimly mengaku ia pada prinsipnya tidak lagi ingin menjabat hakim konstitusi, namun beberapa pimpinan partai politik memintanya untuk meneruskan jabatan itu.

Dari perolehan suara, Akil, Mahfud dan Jimly mendapat dukungan kubu mayoritas yaitu Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Selama proses uji kelayakan, beberapa anggota Komisi III DPR memang menegaskan, pengalaman dan jejak rekam yang jelas merupakan faktor penting dalam pemilihan hakim konstitusi.

"MK ini bukan untuk orang yang coba-coba, ini masalah besar. Maaf saja kalau pengalaman masih kurang matang. Ini bukan pekerjaan gampang, dibutuhkan orang-orang yang sudah matang dan punya `track record` yang jelas," tutur anggota Komisi III Yasonna H Laoly dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pendapat Yasonna itu diamini oleh rekannya sefraksi, Willa Chandrawilla Supriadi.
"Saya berpendapat pengalaman itu perlu, tetapi tidak spesifik harus anggota DPR atau apa," ujar Willa.

Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Patrialis Akbar, dan Agun Gunanjar dari Fraksi Golkar, meski mengatakan calon yang layak belum tentu merupakan wajah yang sudah dikenal oleh publik, tetap menekankan pentingnya jejak rekam yang jelas.

Selama proses uji kelayakan dan kepatutan, para anggota Komisi III DPR mengatakan, tidak menutup kemungkinan wajah-wajah baru bisa terpilih karena uji kelayakan pada dasarnya dilakukan untuk mencari calon-calon yang mumpuni dalam bidang konstitusi dan hukum tata negara.

Mencari Sang Negarawan

Ada satu syarat spesifik yang harus dipenuhi calon hakim konstitusi yang tidak ditekankan untuk pejabat publik lainnya, bahkan untuk jabatan presiden sekalipun.

Pasal 15 huruf c UU No 24 Tahun 2003 tentang MK mensyaratkan bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Tidak ada penjelasan yang cukup memuaskan dari UU tersebut tentang arti negarawan. Dalam bab penjelasan pasal 15 huruf c UU MK, hanya tercantum kalimat "cukup jelas".

Selama proses uji kelayakan, para anggota Komisi III DPR pun memiliki definisi sendiri-sendiri tentang arti negarawan yang menjadi syarat khusus hakim konstitusi.

Patrialis Akbar mengartikan negarawan sebagai orang yang selalu mendahulukan kepentingan negara di atas segala-galanya.

Willa Chandrawilla mengatakan, negarawan adalah orang yang bekerja mengabdi untuk kepentingan negara, sedangkan Yasonna Laoly mengatakan negarawan adalah orang yang paham konstitusi dan hak warga negara, serta menjadi penjaga konstitusi yang selalu mendahulukan kepentingan negara.

Apapun definisi mereka tentang negawaran, semuanya sepakat bahwa sulit mengukur kenegarawanan seseorang dari 90 menit proses uji kelayakan yang harus dilalui setiap calon.
"Agak sulit untuk mengukur seseorang itu negarawan atau tidak. Kita baru bisa lihat apakah seseorang itu negarawan atau tidak ketika nanti dia sudah jadi hakim konstitusi," kata Patrialis.

Para anggota Komisi III DPR hanya mengandalkan beberapa parameter untuk mengukur sifat negarawan itu, antara lain dari cara berpikir para calon, sikap calon, dan pemahaman mereka tentang konstitusi dan hukum tata negara.

Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menambahkan unsur independensi dan imparsialitas sebagai faktor yang harus dimiliki seorang negarawan.

Untuk itu, Denny mempermasalahkan apabila calon hakim konstitusi terpilih berasal dari partai politik.

"Syarat negarawan sangat spesial satu-satunya untuk hakim konstitusi. Bahkan, presiden tidak ada syarat itu. Jadi, maknanya syarat negawaran itu pasti berkorelasi dengan keniscayaan independensi dan imparsialitas yang harus dimiliki hakim konstitusi," jelasnya.

Syarat independensi dan imparsialitas itu, menurut Denny, menjadi penting karena perkara-perkara di MK sarat kepentingan politis, khususnya untuk sengketa hasil Pemilu.

"Maka dari itu, calon dari partai politik lebih problematik dibanding calon-calon dari nonpartai," ujarnya.

Perlakuan Sama
Dari 16 calon yang menjalani uji kelayakan di Komisi III DPR, hanya Jimly dan Harjono yang mendapatkan perlakukan khusus. Keduanya hanya duduk kurang dari lima menit di ruang rapat Komisi III DPR guna diminta kesediannya dicalonkan kembali oleh DPR.

Menurut Ketua Komisi III DPR, Trimedya Pandjaitan, perlakuan itu dimaksudkan untuk menjaga martabat jabatan hakim konstitusi dan agar tidak timbul kesan DPR mengadili putusan MK apabila Jimly dan Harjono harus menjalani sesi tanya-jawab.

Penilaian Komisi III terhadap keduanya dilakukan melalui kinerja MK serta putusan-putusan MK selama Jimly dan Harjono menjabat hakim konstitusi.

Sedangkan calon lain, termasuk Akil dan Mahfud, menjalani sesi tanya-jawab selama 90 menit, waktu maksimal yang dialokasikan.

Namun, Komisi III DPR tidak secara merata menghabiskan alokasi waktu maksimal itu untuk menggali kemampuan para calon.

Terhadap calon yang menjawab seadanya, para anggota Komisi III tidak berminat menggali jawaban mereka sehingga sebagian besar calon hanya menjalani uji kelayakan sekitar satu jam.
Bahkan, sempat terjadi insiden calon Sugianto hanya menjalani uji kelayakan selama 15 menit karena pada pertanyaan pertama ia dinilai sudah melakukan kesalahan fatal akibat keliru menyebutkan pasal dalam konstitusi.

Ketika Sugianto salah menjawab, anggota Komisi III DPR kehilangan selera bertanya dan akhirnya Sugianto diminta meninggalkan ruang.

Sedangkan terhadap calon yang antusias dan memberikan jawaban tegas serta mendalam, anggota Komisi III berebut melakukan pendalaman, bahkan sampai harus diingatkan oleh pimpinan komisi bahwa alokasi waktu 90 menit telah habis.

Akil, Mahfud, Taufiqurrahman Syahuri yang pernah menjabat staf ahli MK, Yusuf Fanie Andin Kasim, dan Denny Ismatullah, merupakan calon-calon yang diminati Komisi III. Mereka terus diberondong pertanyaan sampai waktu 90 menit habis.

Saat uji kelayakan, Akil dan Mahfud menunjukan pemahaman yang baik atas masalah konstitusi, kewenangan dan cara kerja MK. Keduanya memang lama duduk di Komisi hukum DPR.

Bahkan, rekan sefraksi Akil, Agun Gunanjar melontarkan pujian terhadap Akil, karena selama di DPR sudah berkali-kali menjabat ketua pansus pembahasan RUU dan tidak diragukan lagi pemahamannya terhadap segi materiil maupun formil perundang-undangan.

Sedangkan Mahfud cukup tegas menyatakan sikap independennya jika terpilih sebagai hakim konstitusi dan banyak melakukan kritik terhadap kinerja MK saat ini yang menurut dia banyak melampaui kewenangan.

Di hadapan Komisi III, Akil dan Mahfud berjanji untuk memutus ikatan lama dengan partai politik tempat mereka bernaung dan yang telah membesarkan mereka selama ini.

Meski diminta maju oleh pimpinan partai politik, Jimly pun berjanji untuk tetap menjaga independensi dan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak.

Kini, MK memiliki warna baru karena hakim konstitusi masa jabatan 2008-2013 ada yang berasal dari partai politik.

Mereka harus melepaskan status politisi dan menjadi negarawan demi menjaga konstitusi dan melindungi hak warga negara.

Menjelang Pemilu 2009, MK memainkan peran penting sebagai lembaga negara yang berwenang menangani hasil sengketa Pemilu, termasuk menangani uji materiil UU Pemilu yang akan diajukan oleh beberapa partai politik yang sarat kepentingan politis.

Lima tahun masa jabatan mereka akan membuktikan apakah mereka memang negarawan yang mampu meletakan kepentingan negara di atas kepentingan sesaat.□

Edisi cetak di Borneo Tribune

No comments: