Tuesday, September 20, 2005

Ketua PPATK: Ada Yang Terima Setoran Rp 1 M Tiap Bulan

20 Sep 2005

Sarwono.net
Sedikit demi sedikit misteri rekening mencurigakan milik polisi mulai tersingkap. Kemarin, Ketua PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Yunus Husein ditanya lagi siapa pemilik 15 rekening tak wajar itu dalam rapat dengan Komisi III DPR RI.

Meski tidak menyebut nama, Yunus menjelaskan tempat dinas para pemilik rekening dengan saldo mulai ratusan juta hingga triliunan rupiah itu. Yunus mengungkapkan, mereka berdinas di Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda Bali, Polda Sulawesi Utara, Polda Maluku, dan Polda Papua.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI M. Akil Mochtar mengatakan, anggota komisinya sudah mendesak Yunus untuk membeber nama-nama pemilik rekening itu. Tapi, Yunus tetap menolak dengan alasan dilarang oleh undang-undang.

"Ini masih dalam penyelidikan. Karena itu, kami masih belum bisa mengungkapkannya ke publik," dalih Yunus kepada anggota komisi III.

Selain menyebut tempat dinas, menurut Akil, Yunus juga merinci pangkat pemilik rekening tersebut. Yaitu, 2 purnawirawan Perwira Tinggi (Pati), 2 Pati aktif, 5 Perwira Menengah, 3 Perwira Pertama, dan 3 Bintara.

Ditanya apakah ada Kapolda di antara pemilik rekening yang sedang diusut Divisi Propam Mabes Polri itu? Akil tidak dapat memastikan karena dia memang belum diberitahu nama-nama mereka. "Memang, di antaranya ada disebutkan perwira tinggi. Tapi pejabat di level ini hanya empat orang. Dua di antaranya sudah purnawirawan," kata Akil.

Akil menambahkan, Ketua PPATK Yunus Husien sempat mencontohkan aliran dana di salah satu rekening. Di rekening pribadi milik salah satu perwira terlihat dana masuk di luar gaji antara Rp 10 juta-Rp 25 juta secara rutin setiap bulan. Ada juga perwira tinggi menerima dana di atas Rp 1 miliar setiap bulan. "Tapi, ini sebagai contoh saja," kata Akil.

Menindaklanjuti laporan PPATK itu, menurut Akil, Komisi III DPR akan memanggil Kabareskrim dan Kadiv Propam Mabes Polri besok malam. Tujuannya untuk mendengar perkembangan penanganan proses penyidikan 15 rekening perwira Polri itu.

Selain masalah rekening mencurigakan, dalam pertemuan kemarin, Ketua PPATK juga menjelaskan bahwa pihaknya sedang memeriksa rekening pejabat Pertamina yang dicurigai diperoleh dari hasil kejahatan BBM.

Tuesday, August 30, 2005

DPR Mendekat Kekuasaan

Kompas

30 Agustus 2005

Jakarta, Kompas,Tidak ada yang paling mengasyikkan selain menjadi anggota DPR periode 1999-2004. Saat itu sebagai anggota DPR diberi kesempatan seluas-luasnya menyampaikan pendapat. Demikian refleksi para vokalis Senayan, seperti Effendy Choirie (F-KB), Alvin Lie (F-PAN), maupun Akil Mochtar (F-PG). ”Setiap periode ada lokomotifnya. Tapi, ekspresi keparlemenan periode lalu lebih fantastik daripada saat ini. Sekarang ini banyak yang cenderung mendekat ke kekuasaan,” ucap Effendy Choirie.

Alvin Lie lebih lugas lagi. ”DPR lalu lebih banyak kebebasan. Sekarang ini kebayang- bayang takut recall. Terutama setelah Wakil Presiden sering mengadakan pertemuan setengah kamar dengan ketua-ketua umum partai sehingga ada imbauan untuk tidak terlalu keras dengan pemerintah,” paparnya.

Akil Mochtar mengakui gejala yang sama. Dia merasakan bahwa pemberlakuan recall oleh partai telah menjadi momok anggota Dewan untuk bersuara lantang. Soalnya, kewenangan itu pun sering diartikan secara luas oleh pimpinan partai politik atau pimpinan fraksi. ”DPR 1999 lebih leluasa karena hak recall tidak ada,” ujarnya.

Akil sendiri pernah ditegur oleh fraksinya karena berpendapat berbeda soal perlunya interpelasi surat R.41 tentang Penggantian Panglima TNI. Saat itu dia tidak mau balik badan menolak interpelasi, tetapi menyatakan abstain.

Dalam Rapat Paripurna DPR kemarin Jacobus Kamarlo Mayong Padang mengingatkan Ketua DPR Agung Laksono akan kembalinya DPR menjadi lembaga stempel pemerintah. ”Lembaga ini dulu pernah dicap sebagai lembaga stempel,” katanya.

Politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mencontohkan adanya butir di nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka yang menentukan batas akhir pembuatan undang-undang baru tentang Aceh 31 Maret 2006. ”Saya ingin tanya kepada pimpinan DPR apakah pemerintah pernah mengonsultasikan ini dengan DPR,” ucapnya.

Agung tidak menanggapi interupsi Jacobus tersebut. ”Hal itu sudah masuk dalam rekomendasi Komisi III ketika memberikan pertimbangan soal amnesti GAM.” katanya.

Alvin Lie memberi penilaian senada. Kondisi DPR yang sudah lemah semakin meloyo lagi karena Agung Laksono selaku Ketua DPR membiarkannya. ”Sekarang ini banyak rapat- rapat setengah kamar dengan pemerintah. Dulu tidak pernah,” papar Alvin.

Posisi Agung memang sulit. Sebagai Ketua DPR, Agung merangkap Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Padahal, Ketua Umum Partai Golkar adalah Jusuf Kalla yang juga Wapres.

Saat pidato peringatan HUT Ke-60 DPR, Agung pun diprotes Joseph Umar Hadi karena tidak membacakan secara utuh teks pidato, khususnya yang memprihatinkan terpuruknya nilai tukar rupiah hingga menembus Rp 10.000 per 1 dollar AS.

Menjawab itu, Agung berkomentar ringan: ”Saya klarifikasi, pernyataan itu tidak dibacakan hanya karena waktu. Tapi, tetap sebagai bagian dokumen ini,” demikian Agung. (sut)

Sunday, August 28, 2005

28 Agustus 2005

Djoko Edhi-Akil Saling Tuding
JAKARTA- Kunjungan kerja (kunker) Komisi III DPR ke Provinsi Bali berbuntut konflik. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman menuding kunker tersebut berbau korupsi. Sebabnya, waktu kunker yang hanya empat hari ditulis dalam bukti surat perjalanan dinas (SPJ) sepuluh hari.

Namun, pernyataan Djoko Edhi itu dibantah Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Mochtar. Akil mengakui kunker ke Bali hanya empat hari dari rencana semula sepuluh hari. Tetapi, dia membantah telah terjadi korupsi.

"Apanya yang korupsi. Orang lagi kerja di daerah, dia (Djoko Edhi) bicara seenaknya. Dia tidak tahu yang sebenarnya karena tidak ikut rapat," jelasnya.
Menurut tokoh Partai Golkar ini, rapat memutuskan kunker hanya empat hari. Kalaupun ada kelebihan anggaran, rapat memutuskan mengembalikan ke Setjen DPR. "Jadi, tidak ada unsur korupsi," tegasnya.

Dia balik menuding Djoko bicara seenaknya tanpa klarifikasi ke pimpinan komisi. "Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di rapat komisi," tambahnya.

Sementara itu, Djoko Edhi menuturkan, dirinya terpaksa buka-bukaan karena terancam "diadili" teman-temannya di komisi karena dianggap membuka aib kunker yang tidak semestinya. "Kalau caranya seperti ini akan berakhir dengan delik tindak pidana korupsi. Kalau mau korupsi, mestinya jangan berjamaah, masing-masing saja," ucap Djoko Edhi di Jakarta kemarin.

Dalam kuitansi Setjen DPR No 3/D/Kom.3/DPR-RI/2005 tertanggal 18 Juli, kunker ke Bali dilaksanakan pada 19-28 Juli 2005. Tetapi, fakta di lapangan kunker hanya empat hari, yakni 9-12 Juli 2005.

Sesuai mata anggaran Setjen DPR, untuk kunker sepuluh hari, setiap anggota dewan berhak atas dana Rp 13,074 juta. Rinciannya, biaya tiket Jakarta-Denpasar (pp) Rp 3,334 juta, uang harian selama di Bali Rp 5 juta (per hari Rp 500 ribu), uang representasi Rp 4 juta (per hari Rp 400 ribu), dan biaya airport tax Rp 40 ribu. Di luar itu, ada tambahan Rp 700 ribu berupa tunjangan perjalanan dinas.

Djoko mengakui telanjur meneken kuitansi yang disodorkan Setjen DPR. Tetapi, belakangan dia membatalkan tanda tangannya karena melihat ketidakberesan. Dia juga memutuskan tidak ikut kunker ke Bali. "Saya tidak terima duit kunker itu, meski ada lembar kuitansi yang sempat saya teken," jelasnya.

Selain Akil, kunker diikuti anggota dari berbagai fraksi. Mereka adalah Al Muzammil Yusuf (FPKS), Maiyasyak Johan (FPPP), Mulfachri Harahap (FPAN), Taufikurrahman Saleh (FKB), Nursyahbani Katjasungkana (FKB), Agun Gunandjar Sudarsa (FPG), Victor Bungtilu Laiskodat (FPG), Dewi Asmara (FPG), Pupung Suharis (FPDIP), Nadrah Izahari (FPDIP), Daday Hudaya (FPD), dan Nur Syamsi Nurlan (PBB). -

(adb)/JawaPos

Friday, August 26, 2005

DPR Berharap Pemerintah Beri Jaminan

Jumat, 26 Agustus 2005 NASIONAL
Line

Suara Merdeka-Jawa Tengah

  • Soal Pemberian Amnesti Mantan GAM

JAKARTA - Mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akan diberi amnesti harus sudah menyatakan dirinya sebagai warga negara RI yang setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945, dan Pancasila yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan atau sumpah setia mereka baik secara pribadi maupun secara kelompok.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar dalam jumpa pers usai rapat intern Komisi III yang berlangsung tertutup, Kamis (25/8) kemarin. Sebelumnya, dalam rapat kerja hari Rabu (24/8) antara Menkum dan HAM Hamid Awaluddin, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dengan Komisi III, muncul usulan sejumlah anggota dewan yang menginginkan agar mantan anggota GAM bersumpah setia dahulu sebelum menerima amnesti.

"Pada posisi ini, DPR berharap adanya jaminan dari pemerintah untuk dapat mengatasi dan menekan seminimal mungkin implikasi yang timbul dari proses pemberian amnesti ini. DPR berharap kepada GAM yang telah menerima amnesti itu dapat memberikan respons yang cepat, positif dan setara agar kondisi dan situasi keamanan dapat berlangsung dengan kondusif," ujar Akil Mochtar.

Menurutnya, harus ada jaminan dari pemberian amnesti ini terhadap tumbuhnya rasa saling percaya antara kedua belah pihak. "DPR juga minta agar pemerintah dapat mengondisikan penerimaan mantan GAM ke tengah-tengah masyarakat, menyatu dan merupakan perpaduan dari berbagai macam komponen yang ada di Aceh," tuturnya.

Akil juga menjanjikan akan mengundang pimpinan GAM, namun belum bisa memastikan kapan waktunya. "Hal ini terkait dengan usulan beberapa anggota Komisi III."

Adapun pemberian amnesti tersebut, adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pemerintah karena bisa dilakukan pada saat akan diberikan amnesti, atau ada sebuah pernyataan umum dari mereka secara keseluruhan.

Menurut Akil Mochtar, pemberian amnesti ini harus dalam rangka menciptakan perdamaian yang sungguh-sungguh dan sejati dalam bingkai NKRI, sehingga masyarakat dan GAM saling berinteraksi secara tulus dan diharapkan dapat mengakhiri proses konflik di Aceh.

Dikatakan, DPR juga minta pada presiden untuk membuat sebuah pernyataan umum bagi semua pihak yang terkena dampak dari konflik selama ini untuk direhabilitasi, diperhatikan hak-haknya, terutama kaum perempuan dan anak-anak.

Sementara itu, terhadap mantan anggota GAM yang akan mengajukan amnesti, anggota Komisi III Benny K Harman mengungkapkan, mereka dapat mendaftar ke instansi-instansi pemerintah. Karena itu, pemerintah harus mengumumkan kepada seluruh anggota GAM dan warga Aceh dimana pun berada soal pemberian amnesti ini.

"Masalahnya, yang selama ini menjadi tahanan atau narapidana kan masih dalam lembaga pemasyarakatan. Jadi, mantan GAM itu harus proaktif dalam mengajukan permohonan amnesti tersebut," kata Benny. (sas,di-49v)

Tuesday, August 2, 2005

Akil Mochtar Dukung Program Transmigrasi

02 Agustus 2005
Pontianak Post

Pontianak, Anggota DPR-RI asal Kalbar, M Akil Mochtar SH MH, mendukung program transmigrasi diperbatasan Kalbar. Namun pemerintah diminta memperhatikan infrastrukur terlebih dahulu.

"Kita sangat mendukung program itu. Apalagi di Kalbar pernah sukses. Tapi jangan lupa pemerintah juga harus memperhatikan pembangunan fisiknya dulu. Apalagi diperbatasan," kata Akil, usai menjadi narasumber pada Seminar Nasional yang bertemakan Pembangunan Transmigrasi sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan dan Pengamanan Keutuhan Wilayah NKRI, di Rektorat Untan, Senin (1/8).

Lebih lanjut, kata Akil, percepat pembangunan transmigrasi baik fisik maupun nonfisik harus terus dikembangkan. Khusus untuk nonfisik ditekankan pada pembinaan, perberdayaan masyarakat, mendorong partisipasi aktif dan swadaya masyarakat.

Akil juga meminta agar transmigran yang didatangkan ke suatu lokasi harus sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. Sebab, kata Akil, beberapa kasus menyangkut penempatan transmigrasi sudah pernah terjadi. Akil berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuka jalan tembus untuk memudahkan transmigran dalam memasarkan produknya ke daerah lain.

Menurutnya, kebijakan transmigrasi ke depan akan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah, serta sumber daya dan kondisi lingkungan setempat secara terpadu. Sehingga, hal itu mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat transmigran dan sekitarnya.

Menyinggung masalah program transmigrasi di kawasan perbatasan, menurut Akil, Pemprov Kalbar perlu memikirkannya lebih serius, khususnya dalam masalah keamanan. Solusinya, kata dia, antara Pemprov Kalbar, aparat keamanan, dan masyarakat saling berkoordinasi dengan baik. Sebab tanpa tiga elemen itu mustahil pengamanan NKRI bisa terwujud.

"Kita sudah banyak pengalaman buruk masalah perbatasan dengan negara tetangga. Saya berharap masalah buruk itu tidak terjadi di Kalbar. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan. Sehingga kita tidak diremehkan negara lain," kata Akil. (bud)

Monday, July 4, 2005

Narkoba dan Judi, Pertanyaan Favorit DPR pada Sutanto

Detik.com
04/07/2005
By; Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Persoalan narkoba dan perjudian benar-benar dijadikan tembakan oleh para 'penguji' Komjen Pol Sutanto. Nyaris seluruh anggota Komisi III DPR RI mencecarnya dengan pertanyaan seputar masalah tersebut.Bahkan nyali Sutanto menutup tempat hiburan malam ikut ditantang.

"Mampukah Anda menutup Hailai, Seribu Satu, Raja Mas, dan Manhattan (nama-nama tempat hiburan malam-red) yang menjadi ajang peredaran narkoba, perjudian dan perdagangan wanita?" tantang Achmad Fauzi dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) dalam fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) di Gedung MPR/DPR, Jl. Gatot Soebroto, Jakarta, Senin (4/7/2005).

Namun tantangan Fauzi ini membuat gerah anggota Komisi III lainnya, Victor Leiskodat, dari FPG. Victor yang disebut-sebut sebagai pengacara pengusaha kondang Tommy Winata langsung menyatakan keberatannya nama Manhattan disangkut-pautkan dengan ajang peredaran narkoba, perjudian, dan pelacuran.

"Saya keberatan dengan penyebutan Manhattan karena Manhattan bersih, bukan ajang peredaran narkoba seperti yang disebutkan Fauzi," kata Victor.Namun Wakil Ketua Komisi III

Akil Mochtar mencoba menetralisir perdebatan antara kedua anggota Komisi III itu. "Itu kan pernyataan untuk Pak Sutanto. Biarkan Pak Sutanto memutuskan menjawab atau tidak," kata Akil. Victor sebetulnya sependapat dengan upaya pemberantasan narkoba, judi dan pelacuran. Bahkan dia ikut mempertanyakan komitmen Sutanto jika terpilih menjadi Kapolri dalam pemberantasan ketiga masalah itu.

Hal yang sama juga ditanyakan oleh Anhar dari Fraksi Bintang Reformasi dan Azlaini Agus dari FPAN. Sedangkan Al Muzammil Yusuf dari PKS mempertanyakan, komitmen Sutanto mengontrol anak buahnya di lingkungan Polsek yang rentan penyuapan kasus-kasus perjudian.

Selain masalah narkoba dan judi, anggota Komisi III juga mencecar Sutanto dengan pertanyaan seputar penanggulangan kasus terorisme yang dinilai meresahkan masyarakat. Soal ini, Al Muzammil menanyakan, tindakan apa yang akan diambil Sutanto terhadap intervensi pihak asing soal penanggulangan terorisme ini.

Sedangkan Trimedya Panjaitan mempertanyakan tindakan yang akan dilakukan Sutanto terkait dengan banyaknya kasus-kasus kakap yang mandek. Dia juga mempertanyakan janji Polri yang akan menangkap pelaku utama terorisme Dr Azahari dan Noordin M Top. "Dulu janjinya 100 hari akan ditangkap, tapi sampai delapan bulan belum juga ditangkap," ungkitnya.

Terhadap pertanyaan yang datang bertubi-tubi ini, Sutanto berjanji jika ditetapkan sebagai Kapolri ia akan menangani peredaran narkoba dengan pencegahan, penegakan hukum, terapi dan rehabilitasi."Pemerintah harus menyiapkan panti-panti terapi dan rehabilitasi karena narkoba sudah menyentuh hingga ke pelosok-pelosok kabupaten. Untuk pemberantasan narkoba kita sudah melakukan langkah-langkah, seperti penyekatan di wilayah Sumatera dan pemusnahan," paparnya.

Terkait penanganan personel Polri di lapangan yang rawan sogokan, Sutanto berjanji akan memantau secara ketat. "Kita akan memberi reward dan punishment terhadap personel yang berprestasi dan melanggar," kata Sutanto, seraya menambahkan dia akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya jika terpilih sebagai Kapolri. (umi)

Saturday, July 2, 2005

Jangan Tutupi Akar Konflik di Tentena

SUARA PEMBARUAN DAILY, 02 Juni 2005

Kasus Bom Poso

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR, Akil Mochtar dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pdt Ishak Pamumbu Lambe meminta pemerintah, khususnya aparat kepolisian, agar tidak ragu-ragu mengungkapkan fakta yang menjadi akar masalah konflik di Tentena dan Poso secara umum. Apabila secara fakta ada konflik agama, tidak perlu ditutupi, karena hal itu justru menyulitkan penyelesaian persoalan.

Pernyataan itu dikemukakan Akil Mochtar dan Pdt IP Lambe kepada Pembaruan ketika dihubungi terpisah di Jakarta, Rabu (1/6) sore dan Kamis (2/6) pagi. Keduanya berpendapat, pemerintah dan aparat kepolisian seharusnya berani mengungkapkan fakta dan kebenaran, apabila memang ada indikasi konflik bermuatan agama.

Menurut Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar, selama ini ada kesan aparat kepolisian dan pemerintah pada umumnya berupaya menutup-nutupi akar persoalan konflik-konflik yang terjadi di beberapa tempat termasuk dalam kasus Tentena ini. ''Faktanya ada, tetapi kita tidak mau membukanya lalu berusaha mengalihkan ke isu lain, kan aneh. Ibarat penyakit, kalau diagnosisnya sakit mata, tetapi yang diobati mulut, pasti penyakitnya tidak sembuh,'' tegas Akil.

Dikatakan, kekhawatiran pemerintah atau aparat kepolisian mengungkapkan fakta jika ada konflik bernuansa agama dengan asumsi akan berdampak luas bagi masyarakat, justru berlebihan dan keliru. Sebab, kalau saja memang ada konflik agama, sudah pasti para tokoh agama akan menyelesaikannya secara bijak.

''Patokan yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua agama di Indonesia, tidak ada yang mentolerir penggunaan kekerasan dengan simbol-simbol agama. Kita perlu berani mendidik masyarakat belajar saling menghormati, menghargai dan penuh kedewasaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,'' Akil berharap.

Senada dengan itu, IP Lambe anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan (Sulsel) mengatakan, kalau memang ada kaitannya agama dalam kasus Tentena, apalagi diungkapkan Kapolri pelakunya terkait dengan kasus Poso, Mamasa, dan Ambon, pemerintah dan kepolisian harus berani mengungkapkan fakta dan kebenaran.

''Kalau direkayasa lalu dialih-alihkan dengan dalih dalam rangka mencegah konflik lebih besar antargolongan di Indonesia, saya kira tidak benar. Masyarakat sudah dewasa dan hanya ada segelintir kelompok tertentu yang mungkin memang bertujuan mengacau kemanana bangsa ini yang tidak mau menghormati kelompok lain,'' ujarnya.

Pdt Lambe yakin, masyarakat Poso atau pun Mamasa dan Ambon sendiri, apakah dari Islam atau Kristen sudah dewasa menilai dan tidak mau terlibat dalam konflik yang direkayasa kelompok tertentu untuk mengacau bangsa ini. Buktinya, para pelaku yang ditangkap berasal dari luar yang mungkin memang berasal dari kelompok yang ingin mengacau bangsa Indonesia.

DPD ke Tentena

Pdt Lambe sendiri termasuk salah seorang anggota tim yang dikirim Panitia Ad Hoc (PAH) III DPD ke Tentena, Poso, Sulteng. Lambe bersama Ketua PAH III DPD Ali Warsito berikut Faisal Mahmud anggota DPD dari Sulteng berangkat ke Tentena, Kamis (2/6) ini.

Tim DPD tersebut akan berada di Tentena selama dua hari dan dijadwalkan mereka mengunjungi para korban yang masih hidup dan dirawat di rumah sakit. Mereka juga dijadwalkan akan bertemu dengan pelaksana tugas Bupati Poso, Kapolda Sulteng dan pejabat terkait lainnya di daerah itu.

Selain DPD, Komisi III DPR juga dijadwalkan akan mengunjungi Tentena, Poso. Tim dari DPR yang akan dipimpin Wakil Ketua Komisi III, Akil Mochtar ini, akan berangkat bersama rombongan Kapolri Jumat (3/6). (M-15)

Wednesday, June 29, 2005

Cabut Rekomendasi DPR Soal Tragedi Trisakti

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 29/6/05


JAKARTA - Rekomendasi DPR yang intinya menyatakan tidak terjadi pelanggaranhak asasi manusia (HAM) berat dalam kasus penembakan di kampus Trisakti,Semanggi I, dan II, dimungkinkan dianulir atau dicabut kembali. Rekomendasiyang diputuskan dalam rapat paripurna DPR periode 1999-2004 itu bisa dicabutmelalui mekanisme yang sama oleh DPR sekarang (2004-2009).

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum, perundang-undangandan HAM) DPR, Akil Mochtar, kepada Pembaruan di Jakarta, Rabu (29/6) pagi.Berkaitan dengan hal itu, menurut anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) ini,Komisi III telah mengagendakan pembahasan peristiwa Trisakti, Semanggi I,dan II dalam rapat pleno Kamis (30/6).

Pembahasan itu dilakukan menyusul penugasan dari pimpinan DPR ke Komisi IIIterkait dengan masuknya surat dari Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beberapaanggota DPR lainnya yang meminta DPR mencabut rekomendasinya atas kasusTrisakti, Semanggi I dan II.Komisi III, kata Akil, akan mengkaji kemungkinan pencabutan rekomendasi DPRitu dengan mempertimbangkan pendapat fraksi-fraksi.

Suara MayoritasSetelah menggelar pleno, Komisi III akan merekomendasikan kepada pimpinanDPR untuk segera mengelar rapat paripurna dan meminta pendapatfraksi-fraksi. Apakah DPR melalui rapat paripurna akan menganulirrekomendasi DPR sebelumnya, menurut Akil, bergantung pada suara mayoritasfraksi.

Dikemukakan, soal substansi DPR sebenarnya tidak dalam posisi menentukanapakah terjadi pelanggaran HAM berat atau tidak dalam peristiwa Trisakti,Semanggi I, dan II.''DPR bukan lembaga penyidik atau pun eksekutor seperti Kepolisian danKejaksaan, sehingga paling tidak DPR hanya bisa menyatakan ada dugaanpelanggaran HAM berat dan menyerahkan sepenuhnya ke Komnas HAM atauKepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan proses hukum'' ujarnya.

Mengenai kerusuhan Mei, dia mengatakan, ada kemungkinan Komisi IIImerekomendasikan agar DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus).Pansus itu diharapkan melakukan investigasi untuk mencari penyelesaiannya.Penembakan MahasiswaRapat khusus, Kamis, bertujuan mengkaji kembali rekomendasi DPR periode lalubahwa kasus penembakan di Kampus Trisakti yang menewaskan lima mahasiswa,yakni Hery Hartato, Elang Mulya Lesmana, Hendriawan Lesmana, Hafidin Royan,dan Alan Mulyadi bukan pelanggaran HAM berat.

Demikian dikemukakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan (FPDI-P) Panda Nababan di Jakarta, Rabu, menjawabpertanyaan tentang rencana pemerintah dan desakan Komnas HAM untuk mengkajikembali rekomendasi DPR terkait kasus Trisakti dan Semanggi I, dan II.Panda Nababan yang saat itu menjadi Ketua Pansus Kasus Trisakti sertaSemanggi I dan II mengakui, Komnas HAM beberapa waktu lalu telah menyerahkanbahan-bahan hasil kajian investigasi mereka mengenai kasus-kasus itu.

"Saya lihat hasil kajian Komnas HAM sangat berbeda dengan hasil Pansus yangsaya pimpin dulu,'' katanya.Pansus yang dibentuk DPR periode dulu, menurut Panda, dibuat sekadarnyahanya untuk memenuhi permintaan politik dan hasilnya dipakai untukpembenaran politik."

Dulu kami tidak pernah ke TKP (Tempat Kejadian Perkara), cuma memantau darijauh saja, sehingga hasilnya begitu-begitu juga," tambah Panda.Tapi, DPR sekarang memiliki niat dan sikap yang kuat untuk membongkar secaratuntas kasus tersebut. Karena itu, Panda mengharapkan, dalam rapat KamisKomisi III DPR harus berani bersikap dan mengeluarkan rekomendasi, yakni mencabut rekomendasi DPR periode lalu yang mengatakan, peristiwa Trisakti,Semanggi I, dan II bukan pelanggaran HAM berat.

''Kasus-kasus tersebut adalah pelanggaran HAM berat dan karena itu DPR harusmengeluarkan rekomendasi baru," katanya.Dikemukakan, FPDI-P tetap konsisten pada tuntutannya lima tahun lalu, yakniPresiden segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc atau kasus tersebutditangani oleh pengadilan biasa.

Kalau membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, artinya kasus Trisakti dan Semanggi Idan II adalah kasus pelanggaran HAM berat. Tapi, kalau keputusan Komisi IIIDPR nanti merekomendasikan bahwa masalah tersebut ditangani oleh pengadilanbiasa, itu berarti masalah Trisakti dan Semanggi I dan II adalah kasusbiasa.

"Tapi kami FPDI-P menilai kasus Trisakti dan Semanggi I dan II adalahpelanggaran HAM berat yang harus segera dituntaskan," tegasnya.

Dapat DibukaKomnas HAM menilai, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II dapat diungkapkembali. Oleh karena itu, DPR dapat meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untukmenyelidikinya.Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan di sela-sela ForumDialog dan Konsultasi Peningkatan Keamanan, Ketertiban dan Penegakan Hukumyang diselenggarakan Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, danKeamanan di Jakarta, Selasa (28/6).

Dikatakan, Komnas HAM telah selesai menyelidiki kasus Trisakti, Semanggi Idan II. Hasil penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Kejagung dan DPR.Namun, kalangan DPR ketika itu menilai, tidak ada pelanggaran HAM berat,karena itu Kejagung tidak melanjutkan hasil temuan dari Komnas HAM.

Oleh karena itu, menurut Koesparmono, kasus Trisakti, Semanggi I dan IIdapat dibuka kembali oleh DPR. Dalam kasus ini, asas nebis in idem (satuperkara tidak dapat diperadilankan ulang) tidak dilanggar karena memangsebelumnya tidak ada putusan pengadilan. DPR cukup merevisi keputusan mereka sebelumnya.

Dikatakan, bukti-bukti yang telah dikumpulkan Komnas HAM belum bersifatyuridis. Untuk itu, pihak penyidik diminta mengkaji kembali temuan KomnasHAM agar menjadi bukti yuridis. (M-15/L-8/O-1/Y-3)

Monday, June 27, 2005

Profil Komjen (Pol) Sutanto

27-06-2005
Kompas Cyber Media

Jakarta.KCM
Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar) Komisaris Jenderal Polisi Sutanto akhirnya secara resmi diajukan menjadi calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal (Pol) Dai Bachtiar.

Nama pria kelahiran Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950, ini memang sudah santer disebut-sebut akan menjadi Kapolri sejak Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden RI. Presiden dan Sutanto sudah lama saling kenal karena seangkatan ketika menjadi taruna Akademi Angkatan Bersenjata (Akabri).

Sutanto adalah lulusan terbaik Akabri Kepolisian tahun 1973, sementara Susilo adalah lulusan Akabri Darat tahun 1973.Tentunya bukan karena pertemanan dengan presiden, maka Sutanto diajukan ke DPR untuk menjadi Kapolri. Sosok Sutanto dinilai bersih selama karirnya di kepolisian.

"Kita tidak mendahului tetapi secara personal beliau cukup bersih, dua kali menjabat Kapolda yaitu di Sumatera Utara dan Jawa Timur, kemudian masuk Diklat dan terakhir Kepala BNN," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Akil Mochtar.Ketika menjabat Kapolda Sumatera Utara, Sutanto pernah membuat gebrakan untuk memberantas perjudian.

Hal yang sama juga dilakukan saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur. Saat menjabat Kalakhar BNN, Sutanto juga menggebrak dengan melakukan sejumlah penggerebekan sarang pembuatan narkoba. Sutanto juga mengimbau tempat-tempat hiburan mengurangi jam buka untuk mengurangi peredaran narkoba.

Tentang prestasi calon Kapolri ini, Akil Mochtar mengatakan, prestasi tidak menjamin karena kepemimpinan Polri membutuhkan sosok yang mampu menjadikan Polri pelindung masyarakat. Ia juga menambahkan penanganan masalah terorisme menjadi prioritas Kapolri mendatang, namun perubahan struktur di tubuh Polri juga sangat penting.

"Polri jangan dicitrakan angker, masyarakat yang berurusan dengan polisi harus keluar uang banyak kalau ingin masalahnya diurus, tetapi citrakan Polri yang baik yang bisa merespon keluhan masyarakat," katanya.

Profil
Nama: Sutanto
Tempat & Tanggal Lahir: Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950
Jabatan: Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika NasionalPendidikan: Akabri Kepolisian 1973, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) 1983, Sespimpol, Lembang, Bandung (1990), Sus Jur Pa Rengar Hankam, Bandung (1985), Lemhannas (2000)Karir:Kapolsek Metro Kebayoran Lama (1978-1980)Kapolsek Metro Kebayoran Baru (1980)Kapolres Sumenep, Jawa Timur (1991-1992)Kapolres Sidoarjo, Jawa Timur (1992-1994)Waka Polda Metro Jaya (1998-2000)Kapolda Sumut (2000)Kapolda Jatim (17 Oktober 2000-Oktober 2002)- Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri (24 Oktober 2002-28 Februari 2005)- Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (28 Februari 2005-...)

Thursday, June 16, 2005

Rapat Kerja: Hamid Awaludin Dituding Lecehkan DPR

Suara Karya Online
Jumat, 16 September, 2005

JAKARTA: Kesal Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin tak hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III, Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar menilai, menteri yang menjadi perunding RI-GAM di Helsinki itu dianggap melecehkan lembaga perwakilan rakyat.

Menurut Akil, Komisi III DPR RI menyesalkan Menkum dan HAM Hamid Awaluddin yang tidak datang pada rapat kerja di Komisi III DPR Kamis (15/9) itu. "Hamid beralasan dirinya sedang melakukan pertamuan dengan ahli hukum (Senior Law Official Meeting) di Vietnam.

Padahal ke Vietnam itu bisa diwakili oleh pejabat bawahannya," katanya di DPR.Melanjutkan penjelasannya Akil mengemukakan, rapat kerja (raker) dengan Komisi III di DPR lebih penting dibandingkan jalan-jalan ke Vietnam, terutama karena raker Komisi III dengan Menkum dan HAM akan membicarakan masalah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, seperti soal implementasi MoU RI-GAM, amnesti, penyerahan senjata, anggaran pencetakan paspor yang mencapai Rp 250 miliar, dan lain-lain.

"Hamid Awaluddin jelas melecehkan DPR dan karenanya DPR menyesalkan dan itu jangan sampai diulang lagi. Hamid harus banyak memberikan penjelasan pada DPR terkait masalah-masalah yang sedang ditangani tersebut," ujar dia.Namun demikian, Akil enggan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Hamid mundur atau Presiden me-reshuffle.

Itu, jelas dia, akan menjadi permintaan percuma, sebab sudah banyak desakan masyarakat untuk me-reshuffle, tapi Presiden ragu dan tetap menyatakan tidak ada reshuffle. Jadi, sulit untuk mendesak Hamid Awaluddin mundur.

"Yang pasti, kalau Hamid sering mengabaikan DPR, berarti Menkum dan HAM itu sudah tidak bisa bekerja lagi dengan DPR. Tapi, Komisi III DPR masih memberikan kesempatan untuk hadir pada raker 21 September mendatang," paparnya mengingatkan.

Lebih lanjut Akil menandaskan, Hamid tidak bisa mendikte atau menentukan waktunya rapat kerja dengan Komisi III sesuka hatinya. Sebab, DPR lah yang menentukan kapan waktu raker itu digelar. Rapat kerja Menkum dan HAM dengan Komisi III diagendakan digelar pada 21

September mendatang. Hamid sendiri sebelumnya meminta raker digelar 28 September, tapi pada tanggal itu, Komisi III telah mengagendakan rapat dengar pendapat dengan Badan Narkotika Nasional.Kembali soal reshuffle, Akil mengungkapkan, desakan berbagai elemen masyarakat agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet terhadap menteri-menterinya yang dianggap tidak mampu bekerja, ternyata masih ditanggapi dengan ragu-ragu oleh presiden. (Hanif Sobari)

Thursday, June 9, 2005

DPR Pilih 7 Anggota Komisi Yudisial

Kamis, 09 Juni 2005

Jakarta, Kompas - Sebagian besar anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semakin tak meminati untuk mendengarkan masukan masyarakat dan pemerintah tentang RUU KKR. Padahal, KKR tersebut dirancang sebagai lembaga penting yang merupakan alternatif selain pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.

Dalam lima kali rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat atau rapat dengar pendapat dengan pemerintah selama ini, rata-rata hanya sekitar 10 dari 50 anggota pansus yang hadir sampai rapat selesai. Padahal, pansus merencanakan menerima masukan masyarakat 80-90 instansi selama dua bulan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang dipimpin Ramdlon Naning dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) pimpinan Indra Sahnun Lubis hari Selasa (23/9), misalnya, ketika memulai rapat Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) mengumumkan, yang menandatangani daftar presensi 19 orang dan tujuh orang absen. Dengan demikian dianggap hadir 26 dari 50 anggota pansus.

Keluar ruangan

Namun, ketika RDPU selesai hanya sembilan anggota pansus yang bertahan, yaitu Sidharto, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Rusjdi Hamka, serta anggota pansus seperti Gunawan Slamet dan Pandapotan Simanjuntak dari F-PDIP, Amaluddin Nasution dari F-PPP, Mashadi dari Fraksi Reformasi, Zubair Bakry dari Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Astrid Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Barlianta Harahap dari F-PPP dan Nyoman Gunawan dari F-PDIP yang tadinya datang, keluar ruangan terlebih dulu.

Seusai RDPU, Sidharto dan Akil Mochtar mengemukakan bahwa tidak banyaknya anggota pansus yang hadir karena banyak acara yang bersamaan di DPR ketika RDPU berlangsung. Apalagi sebentar lagi DPR memasuki reses. Seperti kemarin, RDPU Pansus RUU KKR bersamaan dengan Rapat Kerja Komisi II dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar dan Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja Majelis Rakyat. "Ini, kan, hanya RDPU yang tidak memerlukan kuorum. Jadi, kalau fraksi sudah ada wakilnya rapat bisa dilanjutkan dan masukannya diteruskan ke fraksi masing-masing," kata Sidharto.

Namun, Akil Mochtar mengharapkan pimpinan fraksi dapat meminta kepada anggotanya di Pansus RUU KKR agar dapat mengikuti rapat secara serius. Dengan demikian, KKR yang akan dibentuk dapat maksimal sesuai yang diharapkan. (bur)

Saturday, May 21, 2005

Nazaruddin Ditahan

Sabtu, 21 Mei 2005 

Jakarta, Kompas - Pengungkapan kasus korupsi di tubuh
Komisi Pemilihan Umum memasuki babak baru. Jumat
(20/5) pukul 23.50, penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi memutuskan untuk menahan Ketua KPU Nazaruddin
Sjamsuddin di rutan Polda Metro Jaya.

Surat penahanan ditandatangani Wakil Ketua KPK Tumpak
Hatorangan Panggabean dan ditembuskan kepada Presiden,
DPR, Menteri Dalam Negeri, dan Sekretaris Kabinet.
Kepada pers tengah malam Tumpak mengatakan, Nazaruddin
diduga telah menerima dana rekanan KPU dari Kepala
Biro Keuangan KPU Hamdani Amin sebesar 45.000 dollar
AS, yang diterimanya tiga kali.

Seusai diperiksa Nazaruddin enggan berkomentar. Begitu
juga dengan pengacaranya. Salah seorang pengacaranya
hanya mengatakan, silakan tanya kepada penyidik KPK.
"Kami segera akan mengajukan penangguhan penahanan,"
kata salah seorang kuasa hukum Nazaruddin.

Kemarin penyidik KPK yang dipimpin Adi Deriyan
Jayamarta menunggu sejak pukul 09.15 di Gedung KPU,
Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Penyidik sempat
menggeledah ruang kerja Nazaruddin dan rumah
Nazaruddin.

Menurut Tumpak, dari penggeledahan di kedua tempat itu
ditemukan uang sebanyak 44.900 dollar AS.

Pukul 15.00, Nazaruddin tiba di Gedung KPK. Ia
didampingi Edinas Sikumbang, Hieronymus Dani, Agus
Liana, dan M Diantoro.

Pemeriksaan Nazaruddin di KPK berlangsung mulai pukul
15.00 dan selesai pukul 23.50. Dalam pemeriksaan
sebelumnya, Nazaruddin membantah telah memberikan
perintah lisan maupun tertulis kepada Hamdani Amin
untuk mengumpulkan dana rekanan KPU. "Tidak ada
instruksi dari saya, baik tertulis maupun lisan," kata
Nazaruddin (Kompas, 20/5).

Penahanan Nazaruddin diperkirakan bakal mengganggu
aktivitas KPU setelah anggota KPU Mulyana W Kusumah,
Sussongko Suhardjo (Pelaksana Harian Sekjen KPU) dan
Hamdani Amin ditahan KPK.

Dalam kaitan itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Akil
Mochtar, sebagaimana dikutip Antara, mengemukakan
perlunya pemerintah dan DPR memikirkan penggantian
anggota KPU.

Menggeledah

Kemarin siang Penyidik KPK menggeledah ruang kerja
Nazaruddin Sjamsuddin di Gedung KPU. Penyidikan yang
dipimpin Adi Deriyan Jayamarta itu dilakukan setelah
Nazaruddin, sebagai pemilik ruangan yang akan
digeledah, tiba di tempat itu.

Ketika sampai di kantor eks Bank Indonesia yang
berdempetan dengan kantor KPU sekitar pukul 10.50
Nazaruddin terlihat tegang. Tidak ada komentar berarti
darinya. Bahkan, Nazaruddin terlihat tidak berkenan
dengan kehadiran wartawan yang mengerubunginya meminta
tanggapan dan juga para wartawan foto yang berebut
mengambil gambarnya. Nada meninggi terlontar dari
Nazaruddin ketika meminta wartawan meninggalkan
ruangan.

Penggeledahan di ruang kerja Nazaruddin sempat
diselingi shalat Jumat di Masjid Nurut Taqwa di
kompleks Gedung KPU. Nazaruddin menjalankan shalat
tetap dalam pengawasan tim penyidik. Selepas shalat,
Nazaruddin kembali ke ruang kerjanya di lantai dua,
kemudian turun bersama tim penyidik.

Sebelum meninggalkan kantor KPU bersama penyidik KPK
pada pukul 13.05, Nazaruddin sempat bersalaman dengan
sejumlah staf yang telah menunggunya di lobi di lantai
satu, tepat di hadapan pintu masuk gedung KPU. "Tolong
didoakan ya," kata seorang pegawai menirukan ucapan
Nazaruddin kepada mereka.

Langkah darurat

Anggota KPU Mulyana W Kusumah lewat putri sulungnya,
Gina Santiyana, berpendapat bahwa penetapan Nazaruddin
sebagai tersangka membawa keprihatinan mendalam karena
semakin menghancurkan citra KPU yang telah dibangun
lewat kerja ekstra keras penyelenggaraan Pemilu 2004.

Mulyana juga menilai perlu langkah darurat untuk
mengisi kepemimpinan di KPU maupun Sekretariat
Jenderal, terutama menimbang tugas KPU yang belum
rampung, yaitu evaluasi Pemilu 2004 berikut penataan
kinerja organisasi. Mulyana juga berharap reorganisasi
dilakukan agar KPU tetap bisa menjalankan fungsinya.

Tindakan Depkeu

Inspektur Jenderal Departemen Keuangan (Irjen Depkeu)
Agus Muhammad menegaskan, pegawai Depkeu yang diduga
menerima dana taktis dari KPU senilai 78.000 dollar AS
harus menghadapi sanksi indisipliner. Sanksi
indisipliner itu diatur Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil yang menetapkan sanksi terberat berbentuk
pemberhentian tidak hormat.

Saat ditemui di Jakarta kemarin, Agus mengungkapkan,
penetapan sanksi yang tepat kepada setiap anggota PNS
di jajaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran
Depkeu, yang terbukti menerima aliran dana taktis KPU,
disesuaikan dengan ketentuan PP No 30/1980 itu. Akan
tetapi, penetapan sanksi tersebut hanya dapat
dilakukan setelah investigasi internal yang dilakukan
Ditjen Anggaran tuntas. "Masalah ini sedang kami
teliti pada berbagai pihak, termasuk penelitian
internal yang dilakukan Ditjen Anggaran sendiri.
Sanksinya sudah diatur dalam PP Nomor 30," kata Agus.

Pihaknya, lanjut Agus, belum mendapatkan permintaan
dari KPK untuk meneliti pegawai yang terkait dengan
aliran dana KPU itu. Irjen Depkeu juga belum melakukan
penyelidikan secara langsung dengan menggunakan tim
investigasi khusus karena penelitian awalnya masih
dilakukan Ditjen Anggaran.

Peraturan Pemerintah No 30/ 1980 menetapkan ada
sepuluh sanksi yang dapat diberikan kepada setiap PNS
indisipliner. Hal itu antara lain teguran lisan,
teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara
tertulis sebagai hukuman ringan.

Hukuman sedang adalah penundaan kenaikan gaji berkala,
penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji
berkala, atau penundaan kenaikan pangkat paling lama
setahun.

Bagian terberat ditetapkan pada jenis hukuman berat
yang terdiri atas penurunan pangkat setingkat lebih
rendah paling lama setahun, pembebasan dari jabatan,
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai PNS, serta pemberhentian tidak dengan
hormat sebagai PNS.

"Jenis hukuman yang akan diberikan sesuai dengan bobot
kesalahannya nanti," kata Agus menjelaskan.

Ganti anggota

Di tempat terpisah, anggota Komisi III DPR Akil
Mochtar mengatakan, DPR harus segera membahas
kemungkinan mengganti anggota KPU untuk menyelamatkan
lembaga tersebut, menyusul ditangkapnya Ketua KPU
sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di lembaga
pelaksana pemilu itu. "DPR bersama pemerintah harus
segera memikirkan penggantian anggota KPU karena sudah
banyak anggotanya yang tidak bisa melakukan tugas,"
kata Akil mengingatkan.

Ia menilai pergantian anggota KPU tersebut penting
karena lembaga tersebut harus bekerja mengeluarkan
berbagai produk dan keputusan, menyusul berlangsungnya
pemilihan kepala daerah.

"Jangan sampai penyelenggaraan negara terhambat karena
kasus itu," ujarnya.

Akil khawatir bila anggota KPU tidak lengkap atau
terus berkurang akibat sejumlah anggota KPU ditangkap,
seiring dengan penyidikan kasus dugaan korupsi di
lembaga tersebut, maka berbagai keputusan tidak bisa
diambil. Sebab, katanya, tidak kuorum dan tidak sesuai
dengan Undang-Undang KPU itu sendiri.

"Kita kan tidak tahu dalam satu atau dua hari ke depan
siapa lagi anggota KPU yang akan ditangkap terkait
dengan penyelidikan dugaan korupsi oleh KPK," katanya.

Ia menambahkan, DPR bersama pemerintah harus
menyelamatkan lembaga tersebut dan jangan sampai ada
kevakuman akibat kasus dugaan korupsi itu.

Bahkan, Akil menilai karena anggota KPU yang sekarang
kredibilitasnya dipertanyakan masyarakat atau
melunturnya kepercayaan terhadap anggota KPU akibat
kasus dugaan korupsi tersebut, maka perlu
dipertimbangkan untuk mengganti semua anggota KPU.
"Anggota KPU yang sekarang kehilangan kepercayaan dan
akuntabilitasnya dipertanyakan, yang akan berdampak
pula pada keputusan yang dihasilkan lembaga itu jadi
kurang dipercaya. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah
harus mempertimbangkan kemungkinan mengganti semua
anggota KPU," katanya. (Antara/ dik/oin/vin/bdm)