Tuesday, July 22, 2008

RUU Mahkamah Konstitusi

Tersangka/Terdakwa Boleh Jadi Calon Hakim Konstitusi

Jakarta, Kompas - Tim Perumus Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah menyelesaikan rumusan pasal-pasal RUU MK dan tinggal menunggu rapat panitia kerja tanggal 29 Juli mendatang. Salah satu materi yang telah disepakati di panja adalah bahwa tersangka atau terdakwa diperbolehkan menjadi calon hakim konstitusi.

Dalam rumusan terakhir RUU MK, khususnya Pasal 16 Ayat (1) Huruf d disebutkan, Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

"Dengan ketentuan seperti itu, maka tersangka atau terdakwa boleh menjadi calon hakim konstitusi. Ini sudah disepakati di panja," kata Trimedya Panjaitan, anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (21/7).

Panja RUU MK sudah menyelesaikan rumusan RUU MK hari Sabtu lalu dan sekarang tinggal menunggu pembahasan di tingkat panja tanggal 29 Juli, dan tingkat panitia khusus tanggal 30 Juli, sebelum disahkan dalam rapat paripurna luar biasa DPR tanggal 31 Juli 2003. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung MA Rachman juga akan mengonsultasikan materi RUU MK tersebut kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

Ada empat materi yang akan dibawa ke tingkat panja, yaitu soal pendidikan hakim konstitusi (sarjana hukum), istilah apakah hakim konstitusi "memeriksa" dan "mempelajari" perkara, pengambilan keputusan oleh majelis hakim, dan aturan peralihan RUU MK.

Trimedya Panjaitan memperoleh kesan bahwa pembahasan di tingkat panja terlalu diburu- buru dan dikejar waktu agar cepat selesai tanggal 31 Juli. Dengan demikian, substansi RUU MK tidak terlalu didalami dengan baik. Soal hukum acara, MK akhirnya tinggal mengadopsi hukum acara yang telah dibuat Mahkamah Agung yang tercantum dalam Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MK oleh MA.

"Hasilnya memang minimal, termasuk dalam soal syarat hakim konstitusi yang boleh terdakwa atau tersangka. Soal itu sempat diperdebatkan karena ada yang minta agar berkekuatan hukum tetap dan ada yang tidak. Rumusan itu akhirnya disetujui karena semangat untuk cepat selesai itu," tuturnya.

Padahal, menurut dia, hakim konstitusi yang dibayangkan adalah "dewa" dengan sejumlah kewenangan yang luar biasa, seperti memutus perkara menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR tentang impeachment presiden.

"Jadi, hakim konstitusi itu posisinya penting sekali dan bisa melebihi hakim agung. Namun, syarat-syarat untuk menjadi calon hakim konstitusi sangat longgar," kata Panjaitan.

Tidak ngotot

Namun, anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar membantah fraksinya ngotot meminta agar tersangka atau terdakwa diperbolehkan menjadi calon hakim konstitusi. "Justru kami minta supaya hakim konstitusi tidak pernah dijatuhi hukuman sama sekali," katanya.

Akil Mochtar mencoba membandingkannya dengan syarat-syarat calon hakim agung di UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, di mana di situ malah untuk calon hakim agung sama sekali tidak diatur apakah seseorang calon pernah dipenjara atau tidak. Apalagi, tambahnya, tersangka atau terpidana bukan status hukum. Yang disebut status hukum adalah jika sudah berkekuatan hukum tetap.

"Apalagi sekarang kan gampang sekali orang dijadikan tersangka dan tidak diproses lebih lanjut. Lalu, jika ada orang yang zaman Orde Baru dihukum oleh rezim otoriter, apakah tidak diberi kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi jika memenuhi syarat," ujar Akil. (bur)