Monday, December 18, 2000

Soal Pembentukan Pengadilan HAM "Ad Hoc" : DPR TAK PUNYA PILIHAN LAIN

18 Desember 2000

Jakarta, Kompas
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak mempunyai pilihan lain untuk memperbaiki citra Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia (HAM), kecuali segera mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di Timor Timur (Timtim) pascapenentuan pendapat. Apalagi, kini sorotan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia bukan semata-mata dari sisi hukum, namun juga dari sisi politik dan hubungan internasional.

Demikian dikatakan anggota Komisi II DPR Akil Mochtar dan Wakil Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Rachland Nashidik kepada Kompas di Jakarta, Sabtu (16/12) secara terpisah. Keduanya mengingatkan pula, penegakan HAM menjadi faktor yang menentukan pemberian bantuan masyarakat internasional ke Indonesia.

Akil maupun Rachland mengakui, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku dapat diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc. Pasal 43 Ayat (2) UU itu mengutarakan, Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa ter-tentu dengan keputusan presiden.

"Ketentuan dalam UU No 26/2000 itu jelas sekali. Karena itu, Dewan harus responsif terhadap tuntutan publik dengan segera mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada pemerintah. Sebab persoalan pelanggaran HAM bukan lagi masalah hukum, namun politik dan hubungan internasional. Bahkan, bantuan ekonomi terhadap Indonesia pun sering dikaitkan dengan pena-nganan pelanggaran HAM," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) tersebut.

Kalau DPR tidak segera me-respons tuntutan dan segera mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timtim, Akil khawatir, akan membuat posisi Indonesia semakin sulit dalam diplomasi. DPR pun akan dinilai menjadi lembaga impunity baru, karena menunda penyidangan kasus pelanggaran HAM. "Tidak ada alasan, DPR harus segera mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc itu," tandasnya.

TIDAK PERCAYA Menurut Rachland, DPR harus segera mengagendakan usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang akan mengadili 19 tersangka dari 23 tersangka yang disidik Kejaksaan Agung-pelanggaran HAM di Timtim pascapenentuan pendapat, yang kini berkas perkaranya sudah siap dilimpahkan. Karena kepercayaan internasional kepada Indonesia, terutama dalam penegakan dan pengadilan terhadap pelanggar HAM kini semakin merosot.

"Saya mengetahui kini sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional besar tengah melobi negara-negara besar anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencabut dukungannya kepada Indonesia. Mereka menuntut pembentukan international tribunal untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di Timtim, karena Indonesia tak dapat dipercayai lagi untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM itu di dalam negeri," kata Rachland.

Indonesia, lanjut Rachland, dianggap tidak mempunyai good will untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM. Bukan karena pemerintah tak berniat mengadili pelaku pelanggaran HAM, tetapi karena masyarakat internasional melihat ada kekuatan di luar pemerintah, termasuk DPR yang merangkul Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk memperkuat posisi tawar-menawar politiknya. Padahal, TNI/Polri dinilai sebagai bagian dari pelaku pelanggaran HAM di masa lalu.

Akil menambahkan, DPR jangan sampai dikesankan sebagai lembaga yang memberikan impunity (kekebalan) baru terhadap institusi lain. Kalau kejaksaan sudah selesai melakukan pemeriksaan terhadap mereka yang dituduh melanggar HAM di Timtim, DPR harus segera meresponnya. Pimpinan kejaksaan dapat membicarakan dengan pimpinan DPR, sehingga Dewan segera mengagendakan pembahasan usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc itu.

"Kita jangan main-main dengan persoalan ini. UU No 26/2000 memang belum memiliki peraturan pemerintah (PP). Tetapi itu masalah teknis saja, sebab dasar hukumnya sudah ada. Jika pernyataan pendapat saja bisa segera dibahas Dewan, mes-tinya usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pun bisa segera dibahas," tutur Akil lagi.

LEBIH TAKUT ASING Dalam diskusi Obrolan Merdeka, Sabtu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman juga mengatakan, untuk mengurangi pengaruh luar negeri dalam proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia, pemerintah perlu mempercepat penyelesaian soal pelanggaran HAM dengan segera membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Menurut Munarman, kehadiran UNTAET di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan dalam kasus Timtim harus dilihat dari kacamata yang lebih jauh, yaitu kenyataan bahwa bangsa Indonesia lebih takut dengan suara dari luar ketimbang suara rakyatnya sendiri.

Contohnya kasus Aceh, Lampung, dan Tanjung Priok, di mana respons pemerintah tidaklah "segawat" ketika tekanan datang dari luar seperti dalam soal Timtim. "Kita ini lebih takut dengan suara dari luar, daripada suara dari rakyat sendiri. Sebenarnya itu hal yang mengecewakan dalam konteks penegakan HAM di Indonesia," jelasnya.

Jika kecenderungan seperti ini diteruskan, maka sesungguhnya kita juga terus membiarkan problem bangsa sendiri diintervensi pihak luar. SEGERA SIDANGKAN Anggota Tim Advokasi HAM Perwira TNI Hotma Sitompoel mengatakan, sangat setuju jika kasus pelanggaran HAM berat di Timtim segera disidangkan. Dengan demikian akan segera menjadi jelas, apakah memang terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pembumihangusan sebagaimana yang selama ini terpublikasikan, benar-benar ada atau hanya merupakan retorika untuk kepentingan politik semata.

"Makanya saya menyesalkan, banyak sekali orang yang bicara politik. Misalnya Jaksa Agung mengatakan, ini sudah saya serahkan dan segera bulan depan akan diadili. Ini ucapan politik, karena orang-orang yang menjadi tersangka akan kena dampaknya. Padahal dia tahu, apa yang harus dia lakukan, desak DPR supaya menjalankan undang-undang. Yang menjadi rancu, semua bicara politik. Padahal kalau bicara hukum, semua beres," ungkapnya. (oki/tra)

Saturday, November 25, 2000

SK HPH Lecehkan Adat

Equator On Line

Sabtu, 25 November 2000


Mecer: Menguntungkan Kroni

Pontianak,- SK Gubernur Kalbar No 389/2000 tentang juklak pemberian HPH di bawah 10.000 hektare, dikecam keras. Bahkan, anggota MPR-RI Utusan Golongan Minoritas Dayak, Drs Anselmus Robertus Mecer, menilai Gubernur HA Aswin tidak memiliki etika dengan SK tersebut.

“Selaku anggota MPR-RI mewakili masyarakat Dayak se Kalimantan, saya tegas-tegas menyatakan, Surat Keputusan itu mesti dicabut, apapun alasannya. Aplikasi SK itu nantinya jelas-jelas melecehkan masyarakat adat,” kata AR Mecer kepada EQUATOR Jum’at (24/11) kemarin.

Menurut Mecer, penerapan SK HPH dimaksud akan menghancurkan keberadaan masyarakat adat secara sistematis, kontraproduktif terhadap tujuan mulia pembangunan, tidak mensejahterakan masyarakat dalam berbagai strata kehidupan.

Masyarakat akan kembali menjadi penonton untuk kesekian kalinya di tengah lajunya program pembangunan. Sumberdaya alam di depan kelopak mata masyarakat adat, akan dieksploitasi kalangan berduit di kota, dengan atas nama ini dan itu.

“Lahan 10 ribu hektare itu bukan sedikit. Pengeksploitasinya mesti menggunakan peralatan berat. Pertanyaan saya, apa mungkin orang desa mampu? Saya melihat ketentuan itu hanya menguntungkan kaum berduit memiliki akses dengan elit kekuasaan,” katanya.

Mecer mengatakan, melalui surat keputusannya menunjukkan Aswin sama sekali tidak memiliki moral keberpihakan terhadap masyarakat kecil dalam menjabarkan program pembangunan. “Aswin hanya berorientasi kepada kepentingan kelompok dan kroninya, sehingga program pembangunan selalu tumpang tindih, tanpa ujung pangkal,” kata Mecer.

Dewasa ini rencana tataruang wilayah propinsi tentang lahan peruntukan semakin tidak jelas, tumpang tindih, tanpa ada upaya konkret melakukan pembenahan mendasar, agar konflik horizontal setidaknya mampu diminalisir.

Ironisnya jika terjadi konflik kepentingan dengan perusahaan menyangkut kepemilikan lahan, aparat keamanan dibenturkan dengan masyarakat. Sementara si pembuat keputusan, melepaskan tanggungjawab.

“Jika masalah ini tidak dibenahi secara tuntas, sampai kapanpun konflik kepentingan akan tetap terjadi. Apalagi pemberian HPH di bawah 10 ribu hektare, bersentuhan langsung dengan sumber mata pencaharian masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil hutan,” katanya.

Menurut Mecer, jika memang ada itikad baik Aswin memajukan masyarakat adat, maka mesti dijelaskan terlebih dahulu kepada publik, berapa persisnya sisa hutan produktif yang ada di Kalbar. Kemudian dilakukan upaya konprehensif dan mendasar, tentang upaya apa lebih sesuai agar sisa hutan produktif bisa dieksploitasi secara maksimal, demi kepentingan ekonomi masyarakat adat.

Langkah itu, lanjut Mecer, mesti sudah tertuang dalam tataruang wilayah propinsi maupun tararuang wilayah kabupaten dan perencanaan pembangunan daerah. Lalu dibicarakan baik-baik dengan kalangan DPRD Kalbar, sesuai mekanisme dan ketentuan berlaku.

“Jadi DPRD pun tidak dengan mengeluarkan surat persetujuan secara diam-diam oleh oknum wakil ketua yang secara defacto melecehkan lembaga wakil rakyat itu sendiri,” tandasnya.

Gubernur Aswin, kata Mecer, harus mampu bertanggungjawab secara hukum, moral dan politik, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan setelah ketentuan tersebut diberlakukan.

Kalau di Jepang, ujar Mecer, orang akan mogok makan jika mendengar ada ikan paus dibunuh demi kepentingan ekonomi, sebagai bukti kecintaan terhadap lingkungan hidup.

“Di Kalbar pejabat negara seenaknya membuat ketentuan yang bisa menyengsarakan masyarakat. Mereka sama sekali tidak beradat dan malah biadab, sehingga Kalbar terus-terusan terpuruk dalam berbagai strata kehidupan,” kata Mecer. (aju)