Wednesday, October 8, 2008

Jimly Mengakui Rikuh di MK

Cenderawasih Post
08 Oktober 2008

Pamitan SBY, Masih Rahasiakan Tugas Baru
JAKARTA- Anggota Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kemarin berpamitan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden. Mantan ketua MK itu diantar Ketua MK Moh. Mahfud M.D., Wakil Ketua MK Abdul Mukhtie Fadjar, anggota MK Akil Mochtar, Ahmad Shodiki, dan Maria Farida Indrati.

Kepada wartawan, Jimly menyampaikan alasan pengunduran dirinya dari MK. Menurut dia, keputusan mundur itu diambil setelah mempertimbangkan usul dan saran banyak pihak. Mulai para hakim, Sekjen MK, panitera, dan sejumlah karyawan MK.

''Mungkin para karyawan MK menjadi rikuh setelah saya tidak jadi ketua MK. Saya juga ikut rikuh,'' kata Jimly kemarin. Karena itu, menurut Jimly, alasan pengunduran dirinya lebih bersifat psikologis, bukan teknis, apalagi politis. ''Supaya pimpinan baru dan lainnya lancar, tidak rikuh,'' sambungnya.

Jimly enggan menjelaskan secara gamblang bentuk kerikuhan yang dialami dirinya dan karyawan MK. Menurut Jimly, permasalahan itu sulit dijelaskan, tapi bisa dirasakan.
Adakah masalah dengan pimpinan MK atau hakim konstitusi lain? Jimly secara tegas membantah. Menurut Jimly, dirinya tidak punya masalah sama sekali dengan para hakim maupun pimpinan MK. ''Sejak tahun lalu saya yang meminta Pak Mahfud masuk MK dan saya gadang-gadang sebagai pengganti saya,'' kata Jimly.

Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) itu resmi mundur dari MK pada akhir November 2008. ''Sebenarnya bisa saja saya langsung mundur. Tapi kurang etis. Saya ingin memberi kesempatan kepada DPR untuk memilih dulu hakim konstitusi yang baru pengganti saya,'' katanya.

Dalam kesempatan itu Jimly juga belum bersedia memaparkan rencananya setelah meninggalkan MK. Soal isu yang menyebut dirinya mengincar posisi ketua Mahkamah Agung (MA), Jimly juga menjawab diplomatis. ''Ketua MA itu dipilih dari dan oleh anggota MA. Seperti MK. Tidak bisa dari luar,'' katanya.

Apakah akan merintis jalan menjadi capres/cawapres? ''Ada kiai bilang kalau sudah jadi negarawan jangan turun menjadi politisi,'' kilahnya.

Jimly memastikan dirinya tetap mengabdi kepada bangsa. ''Saya akan ada tugas baru, tempat mengabdi baru. Tapi, masih rahasia. Nanti sajalah,'' katanya.

Sebelumnya Ketua MK Mahfud M.D. menjelaskan bahwa kemarin, selain bertemu presiden, dirinya menemui Ketua DPR Agung Laksono. Mahfud menyerahkan surat pengunduran Jimly sebagai hakim konstitusi. ''Ini harus segera disampaikan agar DPR segera menentukan hakim konstitusi pengganti Pak Jimly,'' kata guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia itu.

Bagaimana respons presiden? Menurut Mahfud, presiden menyampaikan terima kasih kepada Jimly yang sudah membesarkan MK selama lima tahun. ''Presiden juga saya sepakat MK harus meneruskan perjuangan yang sudah diawali Pak Jimly,'' ujarnya.
Mahfud menjamin tidak akan ada goncangan setelah MK ditinggal Jimly. Pertama, Jimly sudah meletakkan dasar-dasar dan alat kerja di MK.

''Kedua, Pak Jimly masih terus bersama kami meski tidak dalam status sebagai hakim konstitusi," kata Mahfud.

Dalam lima tahun ini, kata Mahfud, MK telah menguji 150 undang-undang. Ada 274 kasus sengketa pemilu yang sudah diputus MK. Juga memutus 11 kasus sengketa kewenangan antarlembaga. "Artinya, lembaga ini sudah jalan dan saya kira sudah mendapat tempat yang baik dalam sistem ketatanegaraan kita," ujar mantan menteri pertahanan itu. (tom/agm)

Saturday, September 20, 2008

Mahfud MD: Janji Tidak Nyerempet Politik

20 Agustus 2008
Fajar Online

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memiliki pimpinan baru. Prof Dr Moh Mahfud MD, kemarin terpilih menjadi ketua baru periode 2008-2011 setelah menumbangkan calon incumbent Prof Dr Jimly Asshiddiqie melalui proses pemungutan suara yang diikuti sembilan hakim konstitusi.

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut akan didampingi Prof Dr Abdul Mukthie Fadjar, sebagai wakil ketua, yang dalam pemilihan terpisah mengungguli hakim Maruarar Siahaan.

Dalam pemungutan itu Mahfud unggul tipis satu suara atas Jimly. Mahfud mendapatkan lima suara, sementara pesaingnya Jimly mengantongi empat suara. Pemilihan ketua baru MK itu sendiri berlangsung dua tahap.

Tahap pertama, calon Ketua MK sudah mengerucut terhadap dua nama tersebut. Komposisi suara ketika itu, empat mendukung Mahfud, empat hakim mendukung Jimly, serta seorang hakim abstain.

Namun, pemilihan tahap kedua, kondisi berimbang tadi justru berbalik menyerang Jimly. Ketua MK dua periode tersebut akhirnya takluk atas mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur tersebut, dengan komposisi lima untuk Mahfud, serta empat untuk Jimly.

Begitu dinyatakan menang, Mahfud langsung maju menghampiri Jimly dan merangkulnya. Sebaliknya wajah Jimly yang semula berbinar-binar berubah masam.

Sejatinya, menurut aturan mahkamah, pemilihan ketua tersebut bakal dilangsungkan secara aklamasi. Baru kemudian apabila tidak muncul kata sepakat dilangsungkan dengan pemungutan suara. Tapi rapat permusyawaratan hakim (RPH) ternyata berkehendak lain. Pemilihan harus melalui pemilihan langsung secara terbuka.

Proses pemilihan itu merupakan perkembangan maju. Sebab, ketika MK baru berdiri 2003, pemilihan pimpinan berlangsung tertutup di ruang Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketika itu, terpilih Jimly Ashiddiqie dan Laica Marzuki. Pada 2006, Jimly kembali terpilih secara aklamasi melalui sidang tertutup juga.

Sebelum pemilihan menegangkan tersebut berlangsung, pimpinan rapat hakim konstitusi yang dipimpin Maruarar Siahaan sempat menyilakan para hakim konstitusi untuk mengungkapkan pandangannya terakit MK ke depan. Mimbar tersebut sekaligus menjadi saluran hakim untuk menyampaikan misinya. Sebab, menurut UU MK, semua hakim berhak dicalonkan sebagai pimpinan.

Abdul Mukthie Fadjar, yang mendapatkan giliran pertama, memberikan kritik pedas terhadap perkembangan MK. ”Saya kira semua hakim konstitusi punya kesempatan sama sebagai pimpinan. Yang pasti, MK perlu pendewasaan diri, sebab selama lima tahun terakhir tidak pernah jeda dari acara,” jelasnya.

Kritikan ini dilontarkan sebab, MK selama ini selalu padat kegiatan, di mana sosok pimpinan begitu menonjol perannya.

Mukthie juga mengkritik bahwa seorang pemimpin bukan hanya pandai bicara lalu menampilkan diri sebagai selebritis. Dia juga mengharapkan seorang hakim harus membatasi diri dalam berbicara ke muka umum. Usai hakim wakil pemerintah, selanjutnya hakim yang lain juga berkesempatan sama.

Mahfud MD juga memberikan refleksi terkait pemilihan ketua baru tersebut. “Saya mengibaratkan pemilihan Ketua MK seperti pemilihan rektor atau dekan. Artinya, tidak akan terjadi apa-apa apabila kemudian ada perubahan,” terang Mahfud.

Sewaktu melontarkan pendapat tersebut, wartawan sudah memprediksikan bahwa Mahfud akan menjadi penantang kuat Jimly. Bahkan Akil Mochtar, sebagai hakim termuda terang-terangan mencalonkan diri sebagai wakil ketua MK. ”Saya bersedia menjadi pendamping ketua menjalankan tugas,” ungkap mantan politisi Partai Golkar tersebut.

Yang tak kalah menarik adalah drama pemilihan wakil ketua lembaga penjaga konstitusi tersebut. Kemenangan Abdul Mukthie Fadjar sebagai pendamping Mahfud pun juga berlangsung alot, hingga tiga tahap pemilihan.

Sebelumnya, masuk empat kandidat, yakni Maruarar Siahaan, M Arsyad Sanusi, Abdul Mukthie Fadjar, serta Akil Mochtar. Tahap kedua, mengerucut tiga calon tersebut minus Arsyad Sanusi.
Pada tahap penentuan, hakim konstitusi akhirnya menetapkan Abdul Mukthie Fadjar setelah mengungguli Maruarar Siahaan dengan selisih tipis, yakni lima suara berbanding empat suara.

Usai pemilihan, Mahfud MD menjanjikan akan menjaga netralitas hakim. Pertanyaan ini mengemuka sebab Mahfud diketahui pernah berkiprah di partai politik. ”Tidak ada kebijakan baru. Hakim harus tetap menjaga independensi. Ini yang paling penting,” ujar mantan wakil ketua umum DPP PKB itu.

Mahfud menyadari dirinya banyak disorot sebagai mantan politisi. Banyak yang khawatir, dirinya sulit menjaga netralitas jika menjadi hakim konstitusi. “Saya sudah bertekad, selama di MK, benar-benar mundur dari panggung politik,” kata mantan pemimpin umum Majalah Muhibah (sekarang Himmah) UII itu.

Bahkan, Mahfud saat ini tidak bisa dikatakan politisi lagi, sebab telah mengundurkan diri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dua minggu sebelum mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. ”Saya sudah mundur dulu,” jelasnya.

Mahfud mengakui, salah satu hal terberat selama menjadi hakim konstitusi adalah harus puasa bicara politik. Apalagi bekas partainya saat ditinggalkan sedang berkonflik. “Lebih berat puasa bicara politik daripada puasa Senin-Kamis. Tapi alhamdulillah, selama ini saya belum batal puasanya,” kata mantan pembantu rektor I UII itu.

Mahfud juga menjanjikan akan meneruskan perjuangan Jimly yang mampu menjadikan MK sebagai lembaga tidak dikenal menjadi kiblat konstitusi. ”Pak Jimly saya kira orang luar biasa. Mengubah MK jadi kiblat konstitusi. Harus diakui Pak Jimly berhasil dalam memimpin MK,” tegasnya. (git/tom)

Tuesday, September 2, 2008

MPR Bentuk Komisi Pengkaji Amandemen UUD 1945

Suara Karya Online
Selasa, 02/09/2008

JAKARTA : Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, MPR akan membahas rencana pembentukan Komisi Pengkaji Amandemen UUD 1945 pada Senin (8/9) mendatang. MPR akan mengajukan secara internal lebih dulu pembentukan komisi ini dan mengkaji lebih lanjut.

"Insya Allah, Senin depan kita akan rapat untuk membahas komisi ini," ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Senin (1/9).

Hidayat Nur Wahid menjelaskan ada beberapa masalah yang perlu dibahas terkait pembentukan Komisi Pengkaji Amandemen UUD 1945 ini. Antara lain lembaga mana yang akan membentuk komisi ini, karena belum ada undang-undangnya.

"Dulu MPR pernah membuat Komisi Konstitusi berjumlah 32 orang yang bekerja tujuh bulan. Komisi ini dibentuk untuk melakukan pengkajian komprehensif UUD 1945," ujarnya.

Hidayat juga mengaku tidak ada target untuk pembentukan komisi ini. "Yang pasti mengkaji konstitusi dan mengubahnya adalah suatu hal yang tidak ditabukan," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita mengatakan, pintu masuk untuk melakukan penyempurnaan konstitusi itu masih belum ditemukan. Namun, ia menyambut baik niat Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang telah mengusulkan agar perubahan konstitusi itu dilakukan Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR.

"Setelah kita bicarakan (dengan MK), cara MPR membentuk komisi itu bagaimana," ujar Ginandjar.

Menurut dia, MPR itu harus diperjelas lagi dan bukan sekadar pimpinannya saja karena pimpinan MPR tidak bisa mengambil keputusan sendiri dengan mengatasnamakan kelembagaan MPR.

Karena itu, Ginandjar melanjutkan, harus ada sidang MPR untuk membentuk komisi dimaksud.

Tetapi ada persoalan lanjutan bahwa sekarang ini tidak ada dasar hukum bagi sidang MPR untuk membentuk komisi konstitusi tersebut.

Pada bagian lain, Ketua DPD mengatakan, persoalan DPD dalam konstitusi hanya sekadar pemicu saja bagi penyempurnaan UUD 1945.

"Masih ada persoalan lain yang juga harus disempurnakan lagi," ujarnya, seraya mencontohkan bagaimana dengan sistem pemerintahan yang diadopsi di negara ini, apakah presidensial atau parlementer.

Ginandjar mempertanyakan, jika memang sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial, lalu mengapa posisi presiden sering lebih lemah ketika berhadapan dengan parlemen.

MK Mendukung
Sementara itu, hakim konstitusi Akil Mochtar berpendapat, UUD 1945 dapat kembali diamandemen untuk melakukan penyempurnaan. Akil Mochtar juga berpandangan MPR bisa membentuk komisi konstitusi untuk mengkaji penyempurnaan dan amandemen UUD 1945.

Demikian disampaikan Akil Mochtar usai pertemuan antara sembilan hakim MK yang berkunjung ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Senin (1/9).

Para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu dipimpin Ketua MK Mahfud MD. Mereka diterima Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita beserta Wakil Ketua DPD serta pimpinan panitia ad hoc DPD.

"Ini merupakan kunjungan resmi MK yang pertama setelah dilantik," ujar Mahfud MD.

Menurut dia, MK berencana melakukan silaturahmi dengan lembaga-lembaga negara lainnya.

Mahfud mengatakan tidak ada agenda khusus selain bersilaturahmi demi menjaga hubungan yang lebih baik lagi di masa depan.

Ia mengatakan, hakim konstitusi tidak boleh menilai bagaimana perubahan UUD ini. Sementara jika konstitusi sudah diubah, maka hakim-hakim konstitusi wajib untuk mengawalnya.

Sumber: Suara Karya Online

Thursday, August 21, 2008

'Partai Politik' Nyaris Kuasai Kursi Pimpinan MK

Hukum Online
21/8/2008

Moh Mahfud MD terpilih sebagai Ketua MK Periode 2008-2011. Sedangkan Akil Mochtar sempat leading dalam pemilihan Wakil Ketua MK, walau akhirnya dikalahkan oleh Mukhtie Fadjar.

Senyum Mahfud MD mengembang. Ia bergegas menyalami Jimly Asshiddiqie dan sesekali melambaikan tangannya ke wartawan. Mahfud memang sedang bergembira. Rapat pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011 yang dipimpin oleh hakim konstitusi Maruarar Siahaan baru saja berakhir. Mahfud terpilih menjadi Ketua MK yang baru mengalahkan 'calon incumbent' Jimly yang sudah memimpin MK dua periode berturut-turut.

Pemilihan Ketua MK periode 2008-2011, siang itu, Selasa (19/8) berlangsung alot. Dua Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN), Jimly dan Mahfud, bersaing ketat memperebutkan jabatan Ketua MK. Sembilan hakim konstitusi hadir memberikan suaranya dalam pemilihan tersebut. Pada pemilihan putaran pertama, posisi suara berimbang. Baik Jimly maupun Mahfud memperoleh empat suara. Satu suara lagi dinyatakan abstain.

Tahap pertama memang baru bertujuan untuk mencari calon Ketua. Kemudian, dua calon itu diadu kembali pada pemilihan tahap kedua. “Kita langsungkan pemilihan lagi, dengan harapan yang abstain itu bertobat,” canda Maruarar yang memimpin rapat yang diliput oleh sejumlah wartawan itu. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK memang berlangsung terbuka untuk umum.

Pada pemilihan tahap kedua inilah, Mahfud unggul. Ia mengungguli Jimly dengan skor yang sangat tipis, 5 : 4. Tepuk tangan pun menggema begitu petugas pemilihan menyatakan suara terakhir milik mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Usai pemilihan, Mahfud mengatakan sedang menyandang bebat berat. “Sebenarnya Pak Jimly sudah sangat berhasil memimpin MK ini. Dari sebuah lembaga yang tak dikenal, sekarang menjadi kiblat konstitusi,” ujarnya kepada wartawan. Terkait latar belakangnya yang berkecimpung di PKB, Mahfud menegaskan tak mempengaruhi independensinya dalam memimpin MK. “Nanti kan bisa dinilai, Insya Allah tidaklah. Sekarang sudah menjadi negarawan, kalau dulu politikus,” kata pria yang mengundurkan diri dari jabatan politik dua minggu sebelum menjadi hakim konstitusi ini.

Akil sempat unggul
Pemilihan Wakil Ketua MK yang berlangsung setelah pemilihan Ketua juga tak kalah serunya. Pada tahap penjaringan calon, tiga hakim konstitusi berpeluang untuk maju pada pemilihan Wakil Ketua MK. Ketiganya adalah Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar. Pada tahap ini, Akil sempat leading dengan memperoleh tiga suara, Mukthie dan Maruarar masing-masing memperoleh dua suara, sedangkan sisa satu suara milik Arsyad Sanusi.

Pada sesi perkenalan hakim konstitusi sebelum pemilihan Ketua dan Wakil Ketua dilangsungkan, Akil memang seakan mengincar posisi Wakil Ketua MK. “Saya siap menjaga konstitusi sebagai hakim dan mendampingi ketua yang terpilih,” ujar mantan Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR dari fraksi Partai Golkar ini. Sebaliknya, Arsyad Sanusi minta untuk tidak dicalonkan.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1 Tahun 2003, calon ketua atau wakil ketua baru bisa dianggap terpilih kalau memperoleh lebih dari setengah jumlah peserta yang hadir. Kalau kesembilan hakim konstitusi hadir, berarti harus memperoleh suara minimal 5. Karena itu, meskipun Akil memperoleh suara terbanyak (3) pada putara pertama, pemilihan wakil ketua terpaksa dilanjutkan.

Posisi Akil yang sempat unggul pada putaran pertama berubah seratus delapan puluh derajat. Ketika pemilihan dilakukan kembali, mantan politisi Partai Golkar ini hanya memperoleh dua suara, sementara Mukthie memperoleh empat suara dan Maruarar mendapat tiga suara. Pemilihan putara ketiga terpaksa digelar dengan menyisakan dua calon, Mukthie dan Maruarar. Mukthie yang akan memasuki masa pensiun Desember 2009 itu terpilih menjadi Wakil Ketua MK periode 2008-2011 setelah memperoleh lima suara. Sedangkan Maruarar hanya memperoleh empat suara.

Anggota Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK) Hermawanto yang hadir memantau proses pemilihan itu mempunyai komentar tersendiri terkait kandasnya Akil menjadi Wakil Ketua MK. Hermawanto mengaku yakin ketika Mahfud terpilih menjadi Ketua MK, maka Akil tak akan menjadi Wakil Ketua MK. “Rivalitas kedua parpol ini sangat kuat, antara Golkar dan PKB,” tuturnya.

Menurut Hermawanto akan menjadi berbahaya apabila Mahfud disandingkan dengan Akil. Ia pun menilai hakim konstitusi yang lain juga menghitung hal ini. “Masing-masing individu para hakim akan meredam itu,” ujarnya. Karenanya, akhirnya Akil kandas menjadi Wakil Ketua MK.

Hermawanto juga yakin kedua mantan politisi ini tak mungkin berkoalisi dalam pemilihan tersebut, meski sama-sama memiliki background partai politik. Namun, Ketua Bidang Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini tak menampik bahwa para hakim konstitusi yang berasal dari parpol ini 'bermain' dalam pemilihan tersebut.

Harapan Hakim Konstitusi
Ketua dan Wakil Ketua MK peridoe 2008-2011 telah terpilih. Keduanya harus mendengarkan aspirasi dan harapan para hakim konstitusi yang memberikan suaranya. Sebelum pemilihan dilangsungkan, para hakim konstitusi memang menyampaikan uneg-unegnya. Mukthie mengatakan Ketua MK harus mengurangi berbicara kepada pers. Seorang hakim memang hanya 'berbicara' melalui putusannya.

Namun, terkait perbaikan institusi peradilan, pimpinan MK diperbolehkan berbicara. “Pimpinan suatu lembaga tak hanya berbicara layaknya selebritis, tapi juga harus bisa membawahi institusi peradilan ini menjadi institusi yang terpercaya,” ujarnya. Akil pun senada. Menurutnya, Ketua MK harus mengurangi haknya untuk berbicara.

Yang keluar dari mulut para hakim itu bukan hanya uneg-uneg, tetapi juga pujian sesama koleganya. Arsyad Sanusi menggelari Jimly sebagai profesor yang dahsyat. “Tiga puluh lima bukunya belum habis saya baca,” pujinya. Namun, gelar tersebut tak hanya disematkan kepada Jimly, tetapi juga untuk pesaingnya dalam pemilihan, Mahufd MD.

Sunday, August 17, 2008

MK Pisah Sambut Tiga Hakim Konstitusi

Minggu, 17 Agustus 2008 09:27
Indonesia Ontime
(Jakarta)– Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar acara perpisahan bagi tiga hakim konstitusi MK yang baru saja selesai masa jabatannya dan menyambut tiga hakim yang baru dilantik. Dalam hal ini, Setelah lima tahun perjalanannya, MK terus dituntut untuk menjadi lembaga penegak kebenaran dan menjadi pedoman lembaga lainnya.

“Mudah-mudahan malam pisah sambut ini suatu perpisahan dan penyambutan yang sifatnya berkesinambungan,” ujar Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam acara ‘Pisah Sambut Hakim Konstitusi’ di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (16/8) malam.
Jimly mengatakan, dalam lima tahun perjalanan, MK merupakan lembaga yang harus selalu menegakkan kebenaran, untuk itu dia berharap ke depan MK juga bisa menjadi pedoman bagi lembaga-lembaga lainnya yang berguna bagi negara.

“Kita tidak kehilangan apa-apa tapi malah menambah kawan baru, dan menambah impian-impian baru dan harapan-harapan baru untuk pengabdian kita yang lebih keras, besar demi bangsa dan negara kita,” kata Jimly.

Sebagai bentuk tindakan selama menjadi hakim konstitusi, dalam acara tersebut para hakim juga meluncurkan beberapa buku demi menunjukkan dedikasinya. “Kami akan menerbitkan beberapa buku sebagai tindakan bahwa selama di MK para hakim terus belajar dan terus berdebat. Pekerjaan hakim adalah tugas intelektual,” terang Jimly.

Seperti diketahui, Presiden telah melantik 6 hakim konstitusi baru periode 2008-2013 Sabtu (16/8) siang, tiga di antaranya merupakan hakim baru yaitu Akil Mochtar (Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar), Maria Farida Indrati (Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan FHUI), dan Achmad Sodiki (Guru Besar FH Universitas Brawijaya) menggantikan tiga hakim periode sebelumnya, yaitu Harjono, Ahmad Syarifuddin Natabaya dan I Dewa Gede Palguna. Sementara Jimly Asshiddiqie, Abdul Mukhtie Fadjar, dan Maruarar Siahaan juga dilantik bersamaan.

Sedangkan tiga hakim lainnya, Maruarar Siahaan, Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim telah dilantik sebelumnya menggantikan hakim konstitusi yang memasuki masa pensiun, yaitu Mohamad Laica Marzuki, Achmad Roestandi, serta Soedarsono. (Dhita/IOT-03)

Tuesday, July 22, 2008

RUU Mahkamah Konstitusi

Tersangka/Terdakwa Boleh Jadi Calon Hakim Konstitusi

Jakarta, Kompas - Tim Perumus Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah menyelesaikan rumusan pasal-pasal RUU MK dan tinggal menunggu rapat panitia kerja tanggal 29 Juli mendatang. Salah satu materi yang telah disepakati di panja adalah bahwa tersangka atau terdakwa diperbolehkan menjadi calon hakim konstitusi.

Dalam rumusan terakhir RUU MK, khususnya Pasal 16 Ayat (1) Huruf d disebutkan, Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

"Dengan ketentuan seperti itu, maka tersangka atau terdakwa boleh menjadi calon hakim konstitusi. Ini sudah disepakati di panja," kata Trimedya Panjaitan, anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (21/7).

Panja RUU MK sudah menyelesaikan rumusan RUU MK hari Sabtu lalu dan sekarang tinggal menunggu pembahasan di tingkat panja tanggal 29 Juli, dan tingkat panitia khusus tanggal 30 Juli, sebelum disahkan dalam rapat paripurna luar biasa DPR tanggal 31 Juli 2003. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung MA Rachman juga akan mengonsultasikan materi RUU MK tersebut kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

Ada empat materi yang akan dibawa ke tingkat panja, yaitu soal pendidikan hakim konstitusi (sarjana hukum), istilah apakah hakim konstitusi "memeriksa" dan "mempelajari" perkara, pengambilan keputusan oleh majelis hakim, dan aturan peralihan RUU MK.

Trimedya Panjaitan memperoleh kesan bahwa pembahasan di tingkat panja terlalu diburu- buru dan dikejar waktu agar cepat selesai tanggal 31 Juli. Dengan demikian, substansi RUU MK tidak terlalu didalami dengan baik. Soal hukum acara, MK akhirnya tinggal mengadopsi hukum acara yang telah dibuat Mahkamah Agung yang tercantum dalam Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MK oleh MA.

"Hasilnya memang minimal, termasuk dalam soal syarat hakim konstitusi yang boleh terdakwa atau tersangka. Soal itu sempat diperdebatkan karena ada yang minta agar berkekuatan hukum tetap dan ada yang tidak. Rumusan itu akhirnya disetujui karena semangat untuk cepat selesai itu," tuturnya.

Padahal, menurut dia, hakim konstitusi yang dibayangkan adalah "dewa" dengan sejumlah kewenangan yang luar biasa, seperti memutus perkara menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR tentang impeachment presiden.

"Jadi, hakim konstitusi itu posisinya penting sekali dan bisa melebihi hakim agung. Namun, syarat-syarat untuk menjadi calon hakim konstitusi sangat longgar," kata Panjaitan.

Tidak ngotot

Namun, anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar membantah fraksinya ngotot meminta agar tersangka atau terdakwa diperbolehkan menjadi calon hakim konstitusi. "Justru kami minta supaya hakim konstitusi tidak pernah dijatuhi hukuman sama sekali," katanya.

Akil Mochtar mencoba membandingkannya dengan syarat-syarat calon hakim agung di UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, di mana di situ malah untuk calon hakim agung sama sekali tidak diatur apakah seseorang calon pernah dipenjara atau tidak. Apalagi, tambahnya, tersangka atau terpidana bukan status hukum. Yang disebut status hukum adalah jika sudah berkekuatan hukum tetap.

"Apalagi sekarang kan gampang sekali orang dijadikan tersangka dan tidak diproses lebih lanjut. Lalu, jika ada orang yang zaman Orde Baru dihukum oleh rezim otoriter, apakah tidak diberi kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi jika memenuhi syarat," ujar Akil. (bur)

Saturday, May 3, 2008

Selamat Datang Nata Kesuma

Pontianak Post
Senin, 28 April 2008

PONTIANAK - Brigjen R. Nata Kesuma sudah dilantik Kapolri Jenderal Sutanto sebagai Kepala Polda Kalimantan Barat. Senin (28/4) ini, ia tiba di Pontianak setelah serah terima jabatan Kapus Dal Ops. Segepok harapan dibebankan di pundaknya untuk memimpin wilayah yang penuh masalah.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Akil Mochtar mengatakan, pejabat baru harus mampu memberantas pembalakan liar hingga titik nol. "Jangan tebang pilih, tetapi semua yang terlibat," katanya kepada Pontianak Post, Minggu (27/4).

Ia menambahkan, Kalbar yang berbatasan darat dengan Sarawak, Malaysia. Harus ada perubahan dalam penegakan hukum. Tidak hanya pembalakan liar, tapi semua jenis kejahatan yang melintas di perbatasan. "Ia juga harus lebih dekat dengan masyarakat, terutama untuk menumbuhkan kesadaran tidak melakukan kejahatan," kata Akil.

Menurut dia, Kapolda baru harus mengoptimalkan perpolisian masyarakat sehingga keterbatasan kepolisian bisa terbantu. "Buka akses secara luas kepada masyarakat. Buka hotline service atau SMS, respon cepat laporan masyarakat. Tunjukkan Kapolda yang peduli terhadap persoalan yang ada di wilayahnya," katanya.

Pejabat baru, kata Akil, harus bekerja keras dalam melakukan perubahan. Jika tidak, masyarakat akan kecewa, juga jajaran kepolisian. Soal pin anti KKN yang dirintis pendahulunya sebelum Zainal Abidin Ishak, menurut Akil, tidak perlu dihidupkan lagi. "Itu hanya simbol, yang perlu kerja nyata, tegas, profesional, dan adil," tandasnya.

Ia berharap, Kapolda baru bisa menyelesaikan penegakan hukum yang benar secara tuntang. Apalagi pembalakan liar, Presiden SBY saja secara tegas meminta agar pelakunya dihukum. (mnk)

Saturday, April 26, 2008

Akil Mochtar, Sarankan KPK Lapor Polisi

Pontianak Post
Sabtu, 26 April 2008

Pontianak,- Langkah pimpin DPR melarang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja anggotanya dinilai menghalangi penyidikan terhadap kasus korupsi yang disangkakan kepada Al Amin Nasution. “Langkah itu memandulkan fungsi KPK. Disarankan untuk mengambil langkah hukum dengan melaporkan tindakan pimpinan DPR tersebut kepada polisi,” kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Akil Mochtar kepada Pontianak Post, kemarin.

Menurutnya, menghalangi penyidikan masuk kategori tindakan kriminal karena KPK adalah petugas sah yang diperintahkan oleh konstitusi. “Undang-Undang KPK juga jelas disebutkan bahwa lembaga atau perseorangan yang menghalangi penyidikan bisa dituntut secara hukum. Tidak ada satu kekuatan apapun yang bisa menghalangi, kecuali Undang-Undang,” ujar Akil.

Anggota DPR asal Kalimantan Barat mendukung langkah KPK dalam upaya pemberantasan korupsi termasuk tindakan penggeladahan ruang kerja anggota DPR sebagai bagian dari proses penyidikan. Seharusnya, kata Akil, hal tersebut menjadi momentum penting bagi DPR sebagai lembaga negara dalam upaya meneguhkan komitmen yang sungguh-sunguh memperbaiki bangsa dari keterpurukan yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. “Seharusnya DPR menunjukkan keterbukaannya, untuk menjawab stigma dari masyarakat bahwa lembaga ini menempati posisi tertinggi dari indeks persepsi korupsi,” ujar Akil yang terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi tersebut.

Di lain hal, tambah dia, tindakan penggeledahan adalah rangkaian proses penyidikan yang tidak dapat dihalangi siapapun, kecuali undang-undang. “KPK jalan terus karena berada pada posisi yang benar,” tandasnya.

Belum lama ini, pimpinan DPR melarang KPK menggeledah ruang kerja Al Amin Nasution. Al Amin ditangkap dengan tuduhan suap konversi hutan lindung di Kepulauan Bintan. (mnk)

Monday, March 24, 2008

Akil Mochtar: Jabatan itu Amanah

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah doa terpanjat. Dalam bahasa Arab. Suaranya lirih dan mengiris. Ada keharuan dalam kalimat yang dilafalkan. Ustad H. Hadari Haji Majri, sang pemimpin do’a itu. Kalimat yang dilafalkan, kadang meninggi dan menurun dengan tiba-tiba. Membentuk nada-nada ritmis yang indah didengar dan syahdu. Mereka yang hadir, menengadahkan tangan ke atas.

Melihat do’a dan ritual yang dijalankan, aku teringat dengan sebuah novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah, ”Ia tengadahkan wajahnya ke atas. Ke mana lagi kalau bukan ke atas? Atas adalah arah dari segala do’a dan kuasa. Atas juga arah dari segala azab dan bencana.”

Hari itu, Sabtu (22/3), Akil Mochtar, anggota DPR RI dari Komisi III, melaksanakan syukuran di rumahnya, Jalan Karya Baru, Pontianak. Akil syukuran, karena telah terpilih sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dalam fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI.

Lalu, apa arti jabatan baru itu bagi dirinya?
”Jabatan itu amanah,” kata Akil. Jabatan merupakan mandat yang harus dijalankan dengan baik dan benar.

Memegang jabatan bukan sesuatu yang baru bagi Akil. Dalam perjalanan karir yang dijalani, Akil pernah menjadi pengacara selama 16 tahun. Selama menjadi pengacara, berbagai perkara ditangani. Bersama Tamsil Soekoer dan Alamuddin, dia pernah membela kasus salah vonis terhadap Lingah, Pacah dan Sumir di Ketapang, pada 1991. Dia tak mendapatkan bayaran apapun dari kasus yang mencuat hingga tingkat nasional dan internasional. Itu komitmen sosial, katanya.

Akil masih aktif di DPR RI. Dia telah menjalani masa jabatan dua kali di DPR RI. Tahun ini, 9 tahun masa jabatannya di gedung DPR RI. Ia lebih banyak menjalani bidang hukum, politik, dan masalah demokrasi.

Menurutnya, dalam perjalanan reformasi dan sistem politik yang makin terbuka, ia mulai menjalani karir sebagai anggota DPR RI. Ia mengalami sebuah masa, dimana sebuah transisi politik dari politik tidak demokratis, menjadi demokratis. Pemerintahan otoriter menjadi demokratis. Partai politik terbatas, hingga multipartai.

Ketika di DPR RI, ia ikut mengamandemen UUD 45. Ada perubahan konstitusi dan perubahan demokrasi. Artinya, sistem ketatanegaraan tidak akan bisa demokratis, bila konstitusi dan UUD tidak diubah atau diamandemen. Dia pelaku sejarah langsung dari proses perubahan itu.

Secara perlahan, proses demokrasi mewujud dalam sistem pemerintahan. Lalu, muncul berbagai lembaga baru yang sesungguhnya untuk mendorong kehidupan demokrasi. Seperti, lembaga Pemilu yang independen. Sebelumnya, penyelenggara Pemilu dikungkung oleh rezim pemerintah.

Proses demokrasi juga memberikan kuasa kepada DPR membentuk UU, yang sebelumnya dipegang pemerintah. Bahkan, DPR punya kewenangan lain. Misal, melakukan fungsi pengawasan, fungsi budgeting, dan legislasi atau perundang-undangan. Fungsi lainnya, memberi persetujuan terhadap penempatan Duta Besar, pengangkatan Kapolri, Panglima TNI, perjanjian internasional dan lainnya. Disamping itu DPR memiliki wewenang lainnya yaitu memilih Hakim Agung, Hakim Konstitusi,Gubernur Bank Indonesia, Anggota Komisi Yudisial, Anggota Komnas HAM, Ketua dan Anggota KPK, dan memilih Anggota Komisi Perlindungan Saksi dan Korban, serta Anggota BPK.

”Semua kewenangan itu, terjadi seiring dengan perubahan politik yang terjadi di Indonesia,” kata Akil.

Ketika menjadi anggota DPR, Akil masuk dalam berbagai pembentukan UU, sebagai pimpinan atau anggota. Menurutnya, semua itu merupakan pengalaman dan kemampuan yang memiliki arti tersendiri.

Dalam proses pasang surut posisi politiknya, ia merasa ada satu masa dimana, ia berada pada posisi cukup di bidang legislatif.

Adanya lembaga Negara, Mahkamah Konstitusi (MK) yang di seluruh negara demokratis di dunia, keberadaannya ada. MK merupakan penyeimbang, sebagai konsekuensi lahirnya konsepsi chek and balance dari kekuasaan negara. Saling mengontrol antara Lembaga Negara. Seperti, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Presiden, dan BPK. Sebagai Konsekuensi dari pasal 1, ayat 2, UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya menurut UUD.

Apa maksudnya? Semua kekuasaan negara yang mempunyai wewenang itu, diberikan oleh UUD. Semua kekuasaan Lembaga Negara itu, juga dibatasi oleh UUD.

Dalam konsepsi negara demokrasi, tidak ada lembaga perwakilan yang tidak dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Untuk menyelenggarakan itu, tentu butuh lembaga yang independen. Untuk independen, tentu butuh lembaga independen. Maka, lahirlah KPU.

Semua dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi. Tetapi kekuasaan yang diberikan oleh UUD, harus bisa saling mengontrol. Sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat 1, UUD, bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Hal itu memberi konsekwensi kepada sistem pemerintahan. Sistem Pemerintah Indonesia, adalah sistem Presidensial, jadi tidak ada yang bisa saling menjatuhkan kewenangannya. DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden. Presiden juga tidak bisa membubarkan parlemen.

Namun, pemberian kewenangan itu, oleh UUD harus dikontrol. Kontrol yang baik dan benar dari sistem Presidensial adalah, kontrol yudikatif yang dalam hal ini dilaksanakan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).

Dan, kewenangan MK, apa saja? Kewenangan MK ada empat kewenangan dan satu kewajiban. Pertama, menguji UU terhadap UUD. Kedua, pembubaran partai politik. Kalau pemerintah ingin mengajukan pembubaran partai politik, harus mengajukan dulu kepada MK. Kalau dulu langsung bisa dibubarkan saja. Sekarang tidak boleh, karena itu konsekwensi dari hak-hak demokrasi. Ketiga, sengketa hasil Pemilu, yang ditetapkan secara nasional oleh KPU, berkenaan dengan calon perseorangan, anggota DPD, sengketa hasil Pemilu mengenai calon Presiden dan Wakil Presiden, sengketa hasil Pemilu partai politik atau Pemilu legislatif. Keempat, mengadili sengketa antarlembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, antara DPR dan Presiden.

Satu kewajiban adalah, mengadili pendapat DPR dalam hal pendapat DPR mengeluarkan fatwa, bahwa Presiden, atau Wakil Presiden telah melanggar UUD tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, melakukan tindak pidana korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, dan tindak pidana berat lainnya.

Dalam hal misalnya DPR berpendapat, bahwa Presiden / Wakil Presiden tidak memenuhi saran lagi. Maka pendapat DPR tidak bisa langsung diberikan kepada MPR, tapi harus diuji melalui MK.

Itulah kewenangan MK sebagai pengontrol dan sebagai akibat dari konsepsi dari cek and balance serta paham constitutionalism.

Indonesia menganut paham konstitusi atau negara hukum berdasarkan kekuasaan hukum. Paham konstitusi berarti mengandung dua konsekwensi. Pertama, kewibawaan hukum harus mampu mengatasi kewibawaan politik. Sebab, negara ini berdasarkan hukum. Jadi, kekuasaan harus melingkup dalam suatu konstitusi. Kedua, kekuasaan diberikan oleh UUD. Dan, juga harus dibatasi oleh UUD. Maka yang mengontrol bila ada kewenangan yang telah diberikan melalui UUD adalah MK. Ketiga, sebagai konsekwensi dari paham demokrasi. Bahwa segala kemajuan dan kemunduran dari hak-hak demokrasi harus sesuai dengan konstitusi. Keempat, melindungi hak-hak konstitutional dari warga negara, dari keputusan yang telah diambil oleh negara. Misalnya, ketika pemerintah dan DPR membuat UU, tapi dalam muatan UU itu merugikan hak konstitusi warga negara dan bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945 maka bisa mengajukan uji materiel ke MK. Karena, hak konstitutional warga negara dijamin oleh UUD. Yang terakhir, dalam rangka melindungi hak asasi manusia itulah, yang menjadi dasar atau semangat dari munculnya MK.

Kewenangan MK bertambah dengan adanya revisi UU Pemerintah Daerah, menyangkut sengketa Pilkada. Baik itu Pilkada Gubernur, Bupati, atau Walikota.

Disisi lain, MK merupakan satu-satunya penafsir tunggal terhadap UUD. Tidak ada orang lain atau lembaga lain yang menafsir UUD, kecuali MK. Bagaimana cara menafsirnya, harus tercermin dalam putusan yang dihasilkan oleh MK.

Kehadiran MK sebagai hasil dari pemikiran hukum modern di abad 20. Sebuah kontemplasi dari para pemikir di abad 20. Karenanya, MK ada di seluruh negara demokrasi. Namun, jumlah hakimnya berbeda-beda, tapi kewenangannya hampir sama. Contohnya, Jerman, Korsel, Thailand, Hongkong, dan negara lainnya. Kewenangannya hampir sama. Namun, ada beberapa diadaptasi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara. Misalnya, di Indonesia ada satu kewenangan yang tidak diambil, misalnya Constitutional Complain. Ini keluhan warga negara terhadap konstitusi. Di Jerman, Impeachment tidak diambil karena sistem Jerman parlementer.

Anggota MK berjumlah sembilan orang. Pemilihannya dilakukan melalui tiga lembaga. Tiga Hakim MK melalui lembaga DPR. Tiga melalui Presiden. Tiga melalui Mahkamah Agung. Jadi hakim konstitusi bukan berasal dari DPR.

Kehadiran Akil di MK, merupakan jawaban untuk berdiri di atas semua golongan. Sebagai anggota DPR, ia mewakili semua masyarakat, tapi tetap terikat dengan aturan yang ”membelenggu”. Selama itu, dia harus terikat dengan partai. Kalau tidak tunduk kepada partai, akan diperingatkan. Sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi perlawanan dalam perjuangan yang lakukan.

Kalau di MK, ia hanya terikat kepada sumpah jabatan sebagai Hakim MK, keadilan, dan kebenaran konstitusi. Hakim MK tidak tunduk kepada kekuatan apapun.

Karena itu, syarat menjadi Hakim MK cukup berat. Syaratnya, harus negarawan, adil, menguasai ketatanegaraan dan UUD. Hakim MK tidak boleh merangkap sebagai pejabat negara di institusi lain. Misalnya, sebagai anggota DPR. Hakim MK tidak boleh menjadi anggota partai politik, pengusaha atau advokat.

“Tidak boleh tercampur atau resistensi terhadap kepentingan apapun,” kata Akil. Itulah berbagai alasan yang mendorongnya menjadi anggota Hakim MK.

Lalu, bagaimana sebuah nilai kebenaran diukur nilainya?
“Ya, harus terimplementasi melalui Hakim MK yang mengatur tentang kode etik melalui MK,” kata Akil.

Proses pengambilan keputusan dan proses berperkara di MK sangat cepat dan transparan. Hasilnya langsung bisa dilihat, sehingga semua masyarakat, media dan lainnya, bisa mengontrol terhadap hasil dari keputusan MK. Inilah bentuk transparansi dari MK. Dengan cara itu, kinerja hakim MK, juga langsung bisa dilihat. Perlu diingat bahwa keputusan MK adalah final and bending. Artinya, bersifat final. Tidak ada upaya hukum apapun lagi. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian. Perlu kesadaran sebagai Hakim MK, dan bertindak sebagai negarawan, dalam memutuskan sebuah keputusan.

Dengan jabatan barunya, banyak yang meragukan independensinya kelak, karena Akil berasal dari partai politik, Partai Golkar. Menurutnya, pendapat itu merupakan sebuah model dari karakter sebagai bangsa. Pola berpikir curiga. Stigma-stigma itu lahir karena sebagai bangsa, terbiasa dibawa pada arus masa lalu. Dimana orang selalu berpikir bahwa orang yang menduduki jabatan di lembaga negara adalah bandit semua.

Ini sejarah masa lalu. Orang partai dianggap mementingkan kelompok, golongan atau partainya. Namun, satu hal harus disadari bahwa dalam suatu negara demokrasi, kehadiran partai politik harus ada. Negara tidak bakal bisa diperbaiki, tanpa partai politik. Karena yang berhak mengubah UUD adalah MPR. Anggota MPR adalah DPR dan DPD. Dan mereka terpilih dari partai-partai yang dipilih melalui Pemilu. “Jadi, itu sebenarnya suatu kondisi yang tidak perlu kita ragukan. Tapi wajar saja ada sebuah keraguan karena ada stigmatisasi dan cara berpikir seperti itu,” kata Akil.

Menurutnya, waktu yang akan menjawab keraguan itu. Ia yakin dengan integritas, kemampuan, pengalaman empirik sebagai pengacara. 16 tahun sebagai pengacara sangat mendukung dalam proses berperkara di MK. Akil merasa punya pendidikan cukup untuk itu. Selama di DPR, berpengalaman langsung dalam membuat UU, melakukan perubahan dan amandemen UUD.

Dengan posisi sebagai pelaku sejarah langsung dan berbagai pengalaman itu, setidaknya ia memahami dunia MK. Selama MK ada, ia menjadi salah seorang kuasa hukum dari DPR, untuk beracara di MK dalam hal diajukannya permohonan uji UU terhadap UUD, oleh para pihak. Pemerintah dan DPR dalam hal uji UU, bukan yang berperkara, tapi sebagai pemberi keterangan. Akil juga salah satu anggota tim sosialisasi UUD. Juga pernah menjadi tim seleksi dari jabatan-jabatan publik, seperti, Hakim Agung, Kapolri, Komnas Ham, KPU, Komisi Yudisial, KPK , dan MK yang dilakukan melalui mekanisme fit and proper test. “Itulah bekal saya di MK,” kata Akil, “untuk konsisten dan istiqomah.”

Dalam menyambut dan melaksanakan tugas baru tersebut, tentu ia bakal belajar banyak, membaca dan punya pengetahuan yang cukup tentang ketatanegaraan, konstitusi, dan berbagai macam persoalan bangsa. Setiap keputusan dari MK itu dinilai dan ditulis secara langsung, dan disiarkan sehingga bisa diterima setiap pihak. Jadi ruangnya sangat terbuka untuk orang bisa melihat, apakah ia terkontaminasi terhadap kepentingan sebuah pihak atau tidak.

Tapi ada jawaban-jawaban praktis, yang sebenarnya ia tidak ingin menyinggung. Ia merasa tidak begitu sukses menjadi politisi, karena selalu berbenturan dan beda pendapat dengan partai tempatnya bernaung, Partai Golkar. Hal itu bisa dibuktikan, bahwa dia satu-satunya anggota DPR di zaman Reformasi yang mendapat surat peringatan keras dua kali dari partai induknya. Tidak berarti ia benci orang. Itu dianggapnya sebagai harga dari idealisme yang dianutnya. Ia akan tetap berjuang, kalau sesuatu menjadi prinsip, apalagi itu menyangkut sebuah kebenaran. “Saya tidak akan surut,” kata Akil.

Namun, bukan berarti MK menjadi sebuah pelarian. Itu sangat tidak benar, karena ia bersedia meninggalkan DPR yang masih satu setengah tahun lebih. Dengan berbagai hak, gaji, dan segala sesuatu yang cukup. Di MK gaji dan penghasilannya lebih kecil dari DPR. Baginya, itu bukan masalah penghasilan, karena ia bukan mencari kerja. Kalau cari kerja tentu cari gaji yang paling tinggi.

Kalau ia mau cari kerja, kalaupun dipecat dari partai Golkar, masih banyak partai lain yang menawari jadi anggotanya. Tapi ia tidak tergiur, karena bukan mencari jabatan atau status. “Saya kira ini Jalan Tuhan saja buat saya, di penghujung jabatan periode kedua dari jabatan sebagai DPR, ada sebuah ruang yang begitu menyakinkan buat saya, dan saya mengikuti proses yang dilakukan oleh DPR,” kata Akil.

Ada sebuah kehormatan bekerja pada sebuah lembaga yang berperan langsung dalam sebuah perbaikan demokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan HAM. Menurutnya, tiga hal itu yang menjadi inti sari dari konstitusi sebuah kehidupan demokrasi. Dimanapun konstitusi sebuah negara demokrasi di dunia, harus memuat tiga hal itu.

Jadi, lembaga ini milik seluruh rakyat RI. Kalau itu terjadi, maka konsepsi demokrasi akan semakin baik, kata Akil.

Akil siap meninggalkan jabatannya di Hakim MK, kalau dianggap melanggar sumpah jabatan dan dianggap tidak layak sebagai hakim. Sesuatu yang tidak layak, untuk apa dijalani, begitu katanya. Kalau sudah berbuat tidak patut, menurutnya jangan jadi Hakim MK. Itu baginya, dan ia tidak bisa mengukur orang lain. Mudah-mudahan tidak ada.

Dengan terpilihnya dia menjadi anggota MK, sebenarnya ada satu contoh yang diinginkan kepada generasi muda di Kalbar, bahwa dia hanya membuka jalan saja. Dia berharap, banyak dari generasi muda Kalbar bisa berprestasi dan berkiprah di tingkat nasional, dan bisa lebih baik dari dia.

Dengan terpilihnya sebagai anggota MK, memberi keharuan, bahwa dari jumlah penduduk RI sebanyak 250 juta, ia termasuk dari 9 orang yang menjadi Hakim MK. Ini dari segi motif. Tapi, ia berharap, itu juga jangan menjadi kebahagiaan simbol saja. Kalau ia tidak bisa memberikan pendidikan politik melalui jabatannya.

Apapun pengembangan yang dilakukan, bila melakukan pembinaan dan bersaing sehat, suatu usaha maju bisa dilakukan. Walaupun dari banyak proses yang ditempuh itu, banyak juga kegagalan. Dari balik itu, ia bisa belajar bahwa dibalik kegagalan, ada hikmah bisa diambil.

Akil mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Kalbar, yang mendukung secara luas terhadapnya. Berbagai macam ungkapan dibuat melalui surat dukungan, sms, telepon, secara langsung kepadanya. Namun, ditengah dukungan yang banyak itu, ada juga orang yang berupaya melakukan penghadangan, agar dia tidak terpilih sebagai anggota MK.

“Saya mengucapkan terima kasih, kepada mereka yang mendukung atau tidak mendukung. Semoga, Tuhan YME, membalas mereka dengan pahala yang melimpah,” kata Akil.

Duh, mendengar jawabannya, aku teringat perjalananku keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, datang ke berbagai pesantren dan wawancara dengan para kyiai. Dalam satu wawancara dengan seorang guru master sufi, Yayasan Barzakh, Kyai Muhammad Zuhri, dari Desa Sekarjalak, Pati, Jawa Tengah. Ia mengungkapkan, “Pahala paling tinggi dari sebuah amalan ibadah adalah, mendoakan orang yang telah berbuat jahat atau berbuat tidak baik pada kita.”

Perilaku itu, tentu butuh sikap kenegarawanan yang tinggi.

Kedepannya, Akil hanya ingin bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu yang akan membuat orang dikenang. “Selama saya bersikap dan sesuai dengan peraturan yang ada, bakal dihargai oleh orang,” kata Akil.□

Sunday, March 23, 2008

Setelah Akil Mochtar Terpilih Hakim Mahkamah Konstitusi

Harian Pontianak Post

Minggu, 23 Maret 2008
Gunakan Alamat Kalbar, Tak Didukung Partai Sendiri

Pontianak,- Rumah di Jalan Karya Baru berbenah. Pemiliknya, Akil Mochtar menggelar silaturahmi sekaligus syukuran. Tak hanya kolega yang datang, awam pun hadir. Dengan kesederhanaan, juga perenungan dari karier politiknya.

Budi Miank, Pontianak

TENDA biru menutupi sebagian halaman. Di bawahnya, kursi-kursi berbaris rapi. Akil berdiri di bawah tenda itu. Senyumnya mengembang. Salam peluk dari tetamu yang datang. Ucapan selamat pun mengalir. Akil mengangguk, seraya berkata, “Terima kasih.”

Gagal meraih kursi Gubernur Kalbar, Akil tak patah semangat. Ia mendaftar hakim Mahkamah Konstitusi melalui jalur DPR. “Ada pergumulan dalam diri saya, sebelum memutuskan mendaftar. Saya ragu, bahkan tak bicarakan dengan keluarga,” Akil memulai ceritanya.

Ia mencoba untuk meminta pendapat koleganya di Pontianak. Respon positif mengalir. Walau tak sedikit yang memberi apresiasi negatif. “Saya mau mundur saja,” kata Akil kepada saya melalui telepon genggamnya setelah namanya terbit di media massa.

Namun sejam kemudian, ia kembali menguatkan tekadnya untuk terus maju. Tentu apresiasi positif saya berikan. Dukungan bukan hanya dari koleganya dan keluarga saja, bahkan Jimly Asshiddiqie yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Dukungan yang mengalir membuatnya kian bersemangat.

“Saya harus bolak balik Pontianak-Jakarta, untuk mengurus surat menyurat. Saya tidak menggunakan alamat Jakarta. Saya ingin dalam pertarungan itu, membawa nama Kalbar. Walau tidak diajukan oleh partai saya, tetap terus maju,” katanya.

Akil maju pencalonan hakim MK dengan dukungan lima fraksi: PAN, Demokrat, PKS, PBR, dan PPP. Sedangkan Partai Golkar tidak memberikan dukungan. “Sudah biasa tidak didukung partai sendiri. Karena sudah dianggap telah menerima dua kali peringatan,” ujarnya.

Ketika maju dalam pemilihan Gubernur Kalbar, Akil juga tidak diusung Partai Golkar. Ia diusung delapan partai kecil, untuk memenuhi kouta 15 persen. Akil berpasangan dengan AR Mecer, pencetus Credit Union di Kalbar. Namun keduanya tidak berhasil. Kursi gubernur diraih oleh Cornelis-Christiandy Sanjaya yang diusung PDI Perjuangan.

Menurut dia, hakim konstitusi memberinya beban karena tugasnya berat. MK cukup prestisius karena kewenangannya yang besar. Dengan jumlah yang sembilan orang, MK berwenang, di antaranya, menguji Undang-Undang terhadap UUD, pembubaran partai politik, sengketa hasil pemilu.

“Syukuran hari ini untuk menjawab keinginan teman-teman dari Kalbar. Begitu banyak dukungan yang mengalir. Ucapan selamat setelah terpilih menjadi hakim MK. Tapi ada juga yang memberi respon negatif. Ada yang berupaya untuk menjegal karena khawatir partai dibubarkan,” ujarnya.

“Saya hanya buka pintu saja. Kalau kita punya kemampuan maka tidak perlu minder dengan siapapun. Siapa tahu pada masa mendatang, ada putra-putra terbaik dari Kalbar bisa tampil di pentas nasional,” katanya.

Uray Husna Asmara, staf Pengajar FKIP Universitas Tanjungpura yang hadir dalam silaturahmi itu memberikan apresiasi terpilih Akil Mochtar sebagai hakim MK. “Tidak semua kekalahan merupakan kekalahan. Kadangkala kekalahan membawa hikmah yang lebih besar. Patut dicontoh, bagaimana Akil menghadapi cobaaan. Akil sudah jadi aset nasional, bukan hanya Kalbar,” kata Uray. (*)

Saturday, March 22, 2008

Tanpa Elit Kalbar, PKR Dijamin Terbentuk

Harian Equator

Sabtu, 22 Maret 2008
Milton: Hanya Gubernur Tak Sejutu

Jakarta,- Perjuangan rakyat wilayah timur Kalbar ingin membentuk Provinsi Kapuas Raya (PKR) semakin gigih. Walau tanpa didampingi pejabat elite Kalbar (eksekutif), tim pemekaran PKR tetap jalan dan semakin penuh percaya diri. Komisi II DPR-RI menjamin terbentuknya PKR.

Tidak dapat dipungkiri, pembentukan Provinsi Kapuas Raya (PKR) sangat berpengaruh terhadap perpolitikan Kalbar. Perjuangan pembentukan Kapuas Raya dinilai hanya mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah kabupaten. Sementara dukungan kaum elit Kalbar masih dipertanyakan.

“Kita sangat menyayangkan atas ketidakhadiran kalangan eksekutif Kalbar dalam audiensi ke Komisi II DPR-RI. Meskipun demikian, tanpa kehadiran mereka tidak ada pengaruhnya terhadap perjuangan Provinsi Kapuas Raya,” ungkap Drs Milton Crosby, M.Si, koordinator pembentukan Provinsi Kapuas Raya usai audiensi bersama tim Otonomi Daerah Komisi II DPR-RI di ruang KK 1 Komisi I, Rabu (19/3).

Dijelaskan Milton, pemerintah Kalbar bukannya tidak mendukung pembentukan Provinsi Kapuas Raya. Secara administrasi dan politik, gubernur dan DPRD Kalbar telah mengeluarkan rekomendasi mendukung Kapuas Raya. “Kita tidak mengharapkan orang Pemda Kalbar untuk hadir dalam audiensi ini. Kita hanya mengharapkan hak inisiatif DPR-RI sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negeri dalam mewujudkan Provinsi Kapuas Raya,” paparnya.

Pembentukan provinsi Kapuas Raya atas permintaan rakyat, khususnya di wilayah timur Kalbar. Mereka yang hadir kurang lebih 50 orang tokoh masyarakat, belum termasuk kalangan eksekutif dan legislatif di lima kabupaten yang mendukung terbentuknya PKR. Tujuan audiensi ingin meyakinkan pemerintah pusat melalui DPR-RI bahwa pembentukan PKR merupakan kepentingan negara Indonesia. “Sedangkan yang tidak setuju, hanya satu orang yaitu gubernur, itupun dalam konteks pribadi bukan kelembagaan atau atas nama pemerintah. Saya sendiri berbicara atas nama pemerintah daerah yang mengakomodir kepentingan masyarakat wilayah timur Kalbar. Gubernur Kalbar saat ini, mau tidak mau dan suka tidak suka harus mendukung pembentukan Provinsi Kapuas Raya secara kelembagaan,” ungkap orang nomor satu di Sintang itu.

Ketua Pokja Pemekaran Komisi II DPR-RI, Drs Chozin Chumaidy mengatakan, tidak ada kata yang tidak pantas untuk menjadikan PKR sebagai sebuah provinsi baru di wilayah Kalbar. Semua persyaratan pembentukan PKR yang dipegangnya sudah lengkap. Legislator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai, pertimbangan mendasar dibentuknya provinsi karena wilayah timur Kalbar miliki kawasan perbatasan dengan negara Malaysia. “Kita akan angkat persoalan pembentukan Provinsi Kapuas Raya dalam rapat internal Komisi II. Tentunya, kita juga menginginkan Kapuas Raya segera terbentuk menjadi provinsi dalam waktu yang cepat,” tegasnya.

Anggota Komisi II Andi Yuliani Paris menegaskan, tidak ada potensi konflik atau terpecahnya persatuan adat dengan dibentuknya Provinsi Kapuas Raya. Dengan adanya dukungan dari semua komponen masyarakat, maka Komisi II harus menyikapi serius pembentukan Provinsi Kapuas Raya. “Kita dari Komisi II akan verifikasi persyaratan yang telah disampaikan. Kemudian, secepatnya kita akan melaksanakan kunjungan ke wilayah Kapuas Raya,” ujar Yuliani.

Anggota Komisi II lainnya perwakilan fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ny Edy Mihadi mengatakan lengkapnya persyaratan pembentukan provinsi baru serta mendapatkan dukungan masyarakat. Tidak ada alasan Provinsi Kapuas Raya untuk tidak diwujudkan. Ia berjanji akan menggiring pembentukan PKR hingga terwujud melalui hak inisiatif DPR-RI. “Secepatnya akan kita usahakan mewujudkan Provinsi Kapuas Raya karena dianggap penting untuk menyelamatkan kawasan perbatasan,” tegas Edy Mihadi.

Sebelumnya, tidak ada satu pun yang optimis pertemuan antara tim pembentukan Provinsi Kapuas Raya dengan Komisi II DPR-RI bakal terlaksana. Jadwal di Gedung Senayan sendiri yang sebelumnya telah mengagendakan pertemuan tersebut sempat dihilangkan. Namun, pertemuan tertutup antara Sekretaris Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Provinsi Kalbar Drs Zainuddin Isman, M.Phil bersama Choxin Chumaidy satu hari sebelumnya, melahirkan pertemuan dadakan tersebut.

Sementara kontingen dari Kalbar sendiri mendatangi Gedung DPR-RI dengan jumlah puluhan orang. Sebut saja para kepala daerah dari lima kabupaten begitu bersemangat menghadiri pertemuan. Mereka antara lain Bupati Sintang Milton Crosby, Bupati Sanggau Yansen Akun Effendy, Wakil Bupati Sekadau Abun Ediyanto, Wakil Bupati Melawi Firman Montaco, serta Bupati Kapuas Hulu Abang Tambul Husin. Sementara pimpinan lembaga politik dari lima kabupaten tersebut juga tak ketinggalan, di antaranya Ketua DPRD Sintang Mikael Abeng, Wakil Ketua DPRD Sanggau Yordanus Pinjamin, Ketua DPRD Sekadau Yuni Yudarno, Ketua DPRD Melawi Sukiman, serta Ketua DPRD Kapuas Hulu Gusti Effendi. Tampak di antara para tokoh masyarakat seperti Sultan Sintang Kesuma Negara 5 Pangeran Ratu Tri Negara Raden Ikhsan Perdana, hingga tokoh masyarakat Sekadau H Umar Jafar, kakak kandung Mantan Gubernur Usman Jafar.

Pertemuan sebelumnya dijadwalkan berlangsung pukul 12.00. Sejak pukul 11.00, ruang rapat telah disesaki masyarakat. Tiba-tiba pukul 11.46, anggota DPR-RI M Akil Mochtar memasuki ruang sidang. Kedatangannya sontak mendapat sambutan hangat. Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian menyalami satu persatu para kontingen. Tidak lama kemudian menyusul Walman Siahaan, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Damai Sejahtera. Terakhir Anggota DPD-RI Maria Goretty duduk melengkapi para pejabat negara asal Kalbar.

Tepat pukul 12.30, para anggota Komisi II yang ditunggu-tunggu hadir. Lima anggota komisi tersebut dipimpin langsung Chozin Chumaidy. Bersamanya tampak Andi Yuliani Paris, Pastur Saut M Hasibuan, Syaifullah Maksum, serta Edi Minhadi.

Ketua DPRD Kalbar Ir H Zulfadhli ditemui secara terpisah menyebut pertemuan itu sebagai upaya politik yang mereka lakukan. Ketidakhadiran satu pun wakil dari Pemerintah Provinsi Kalbar tidak menjadi sebab gerak langkah Provinsi Kapuas Raya bakal tersendat. “Ini upaya politik, maka di sini menjadi peran kami (DPRD). Maka tak menjadi masalah meskipun tanpa kehadiran wakil dari pemerintah provinsi,” ungkap Zulfadhli. (amk)

Tuesday, March 18, 2008

Akil Mochtar, Mahfud MD, dan Jimly Sah Jadi Hakim Konstitusi

Media Indonesia
Selasa, 18 Maret 2008 12:16 WIB

JAKARTA--MI: Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR Jakarta, Selasa (18/3), mengesahkan hasil kerja Komisi III tentang seleksi hakim konstitusi yang telah disepakati komisi bidang hukum itu pada Jumat (14/3) lalu.

Pada sidang paripurna tersebut, Komisi III melalui Wakil Ketuanya, Mulfachri Harahap, melaporkan bahwa mereka telah menyepakati tiga hakim konstisusi yang baru yaitu M Akil Mochtar, Mahfud MD, dan Jimly Ashiddiqie.

Dalam laporannya, ia menjelaskan bahwa hasil seleksi tersebut perlu disahkan DPR untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah.

Akil Mochtar akan menggantikan hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna, sedangkan Mahfud MD menggantikan Ahmad Rustandi yang segera memasuki masa pensiun.

M Akil Mochtar (berasal dari Fraksi Partai Gokkar) dan Mahfud MD (dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) sejak 2004 duduk di Komisi III DPR, namun karena mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi, keduanya pindah masing-masing ke Komisi I dan Komisi II DPR.

Sesaat setelah disahkan Agung Laksono, sejumlah anggota DPR meminta Akil Mochtar maupun Mahfud MD untuk berdiri dan mereka memberikan aplaus atas rekan mereka yang segera bertugas di tempat baru tersebut.

Dalam sidang paripurna tersebut, anggota DPR dari Fraksi PBR Ade Daud Nasution sempat melakukan interupsi yang meminta Agung Laksono untuk membacakan surat mereka tentang hak angket Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Sejumlah anggota sudah mengajukan surat usulan hak angket BLBI dan seharusnya surat tersebut juga dibacakan di paripurna kali ini," katanya.

Menanggapi desakan itu, Agung mengatakan bahwa surat tersebut sudah diterima oleh Wakil Ketua DPR dan sesuai prosedur surat itu akan dibahas terlebih dahulu di Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Agung juga mengatakan bahwa surat tersebut baru bisa dibacakan pada sidang paripurna DPR berikutnya.

Usai pengesahan hasil kerja Komisi III itu, sidang paripurna DPR melanjutkan agenda berikutnya yakni mendengarkan laporan Komisi XI atas fit and proper test calon Gubernur BI, yang menolak dua calon yang

diajukan pemerintah yakni Agus Martowardojo dan Raden Pardede. (Ant/OL-02)

Akbar Yakin Akil Objektif

Kompas Online
Selasa, 18 Maret 2008 | 02:26 WIB

BATAM, SELASA-Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan yakin Akil Mochtar mampu objektif dalam membuat keputusan sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. "Saya yakin, bila Akil menjadi hakim, ia mampu memisahkan kepentingan partai," kata Akbar usai mengisi seminar kepemimpinan yang diadakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Batam, Selasa (18/3) dini hari.

Akbar mengatakan amat mengenal pribadi Akil. "Dia mampu netral dan objektif dalam memberikan penilaian materi-materi MK," katanya, dengan menambahkan latar belakang Akil sangat tepat, sebagai pakar hukum tata negara.

Sebelumnya, di Batam, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring mengatakan ragu politisi yang mengisi peran yudikatif dapat adil, terkait Mahfud MD (PKB) dan Akil Mochtar (Golkar) yang terpilih menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Yudikatif harus terlepas dari semuanya. Semua hakim agung harus terlepas dari politik," katanya.

Tifatul mengatakan Mahfud dan Akil harus keluar dari partai sebelum menjalankan tugas sebagai hakim MK. Menurut dia, hakim tidak boleh berpihak. Jika Mahfud dan Akil tetap menjadi politisi, maka akan sulit untuk adil. Sebaliknya, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir masuknya orang parpol menjadi hakim Mahkamah Konstitusi karena masih ada hakim lainnya di lembaga ini.(ANT/ROY)

Monday, March 17, 2008

Akil Mochtar dan Mahfud Pertegas Sikap

Hukum Online, 17 Maret 2008

Akil Mochtar akan keluar dari Partai Golkar. Mahfud MD akan mundur dari MK jika ada eksaminasi publik yang mampu membuktikan putusannya memihak parpol tertentu.

Di Senayan, kabar ini berembus kencang. Akil Mokhtar dan Mahfud MD bakal lolos dari saringan Komisi III DPR. Keduanya diprediksi bakal melenggang kangkung ke jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat, di mana gedung MK berdiri kokoh.

Beberapa kalangan ketar-ketir mendengar kabar itu. Mereka khawatir, jika benar-benar terpilih menjadi hakim MK, Akil dan Mahfud tidak bisa lepas dari pengaruh partai politik yang mengusungnya. Apalagi, kemungkinan nanti akan ada banyak sengketa Pemilu, padahal Akil diusung Partai Golkar sedangkan Mahfud dijagokan Partai Kebangkitan Bangsa.

Namun Akil dan Mahfud membantah kabar dan kekhawatiran itu. “Saya tidak mau dipilih karena perkawanan atau karena kasihan,” ujar Akil, kala menjalani Fit and proper test, Rabu (12/3). “Kalau saya tidak pantas lolos, jangan loloskan saya!”

Melakoni fit and proper test setelah Akil, dengan kalimat yang berbeda, Mahfud juga menyangkal dirinya bakal lolos karena perkawanan.

Patrialis Akbar, wakil rakyat dari PAN, yang meminta Akil dan Mahfud menyangkal kabar yang sudah kadung diyakini kebenarannya itu. Patrialis tak ingin masyarakat punya penilaian buruk terhap seleksi hakim MK melalui pintu DPR. “Fit and proper test ini bukan main-main,” teriaknya.

Akil mengatakan, jika terpilih menjadi hakim MK, ia tidak akan terpengaruh oleh kekuatan apapun. Ia akan menjalankan sumpahnya dan selalu menyadari bahwa ia bertanggung jawab terhadap Tuhan. Selain itu, ia akan keluar dari Partai Golkar bila terpilih menjadi hakim MK.

Akil juga mempersilahkan masyarakat menilai putusan-putusannya kelak. “Apalah artinya seorang Akil Mokhtar seandainya terpilih karena hakim konstitusi itu ada sembilan,” ujarnya.

Mahfud lebih tegas lagi. Ia menyatakan akan mengundurkan diri apabila ada yang mampu membuktikan bahwa putusan yang ia buat ternyata menunjukkan pemihakan terhadap parpol tertentu. “Eksaminasi itu harus benar-benar obyektif dan terbuka,” ungkapnya.

Soal Pemilu
Menjelang fit and proper test, kata Mahfud, dirinya sudah sering menuai pertanyaan perihal independensinya bila menjadi hakim MK. “Anda dari Parpol, nanti membubarkan Parpol. Dulu itu Gus Dur membubarkan Golkar,” ujar Mahfud, menirukan pertanyaan anggota masyarakat.

Mahfud menjabarkan, sesuai pasal 10 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003, MK hanya punya dua kewenangan yang berkaitan dengan Parpol. Keduanya adalah memutus pembubaran parpol dan memutus perselisihan hasil Pemilu.

Menurut Mahfud, hakim MK tidak mungkin punya inisiatif membubarkan Parpol. Yang mengajukan pembubaran Parpol adalah pemerintah, bukan sesama parpol. Karena itu hakim MK bersikap pasif. “Tidak mungkin dong hakim bisa membubarkan parpol seenaknya,” ungkapnya.

Pemerintah bisa mengajukan pembubaran Parpol dengan alasan yang sangat penting. Misalnya, sebuah Parpol dinilai melanggar ideologi. Di luar alasan itu, tandas Mahfud, tidak boleh.

Dalam hal sengketa pemilu, lanjut Mahfud, hakim MK juga tidak bisa leluasa mengambil sikap. “Sengketa pemilu itu bukan opini, tapi bukti angka. Harus dilihat berita acaranya,” terangnya.

Dan, karena di MK ada sembilan hakim, Mahfud menegaskan bahwa netralitasnya pasti bisa terjaga. Jadi ndak mungkin hakim konstitusi dikait-kaitkan secara emosional dengan parpol,” tegasnya.

(Her)

Dicurigai, Kengototan Kejagung Periksa Ayin

Duta Masyarakat
17 Maret 2008

JAKARTA–Tim Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung sudah memeriksa 26 orang dalam kasus tertangkapnya jaksa penyidik Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap. Namun Kejagung berharap tak cuma Urip diperiksa tapi juga Artalita Suryani alias Ayin.

Hari Ahad (16/3) persis dua pekan jaksa penyidik Urip tertangkap tangan aparat KPK dengan barang bukti uang tunai USD 660 ribu. Urip dan Ayin sang penyuapnya, sudah ditetapkan sebagai tersangka dan keduanya secara intensif diperiksa oleh penyidik KPK.

Bersamaan dengan itu, untuk kepentingan internal dalam rangka penegakan disiplin kepegawaian maka Tim Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) juga melakukan pemeriksaan. Setidaknya sudah 26 orang yang diperiksa oleh Tim Jamwas, termasuk memeriksa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan (Dirdik) M Salim.

Jampidsus dan Dirdik juga sudah diperiksa KPK untuk dimintai keterangannya sebagai saksi dalam kasus Urip. Kemas dan Salim adalah atasan langsung Urip di Gedung Bundar Kejagung. Satu-satunya yang belum bisa dilakukan Tim Pemeriksa Internal Kejagung yang dipimpin langsung oleh Jamwas MS Raharjo adalah memeriksa Ayin sebagai orang yang memberikan uang kepada Urip.

Jumat (14/3) pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan kepada para wartawan bahwa pemeriksaan terhadap Ayin belum dapat dilakukan karena KPK belum memberikan izin.

Ahad (16/3) kemarin, Akil Mochtar anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, tindakan KPK untuk tidak memberikan izin kepada Kejaksaan Agung memeriksa Ayin Suryani sampai saat ini adalah tindakan yang sangat tepat.

“Maaf-maaf saja ya, saya tidak bermaksud menduga-duga terlalu jauh, untuk apa Tim Jamwas itu bertemu dengan Ayin? Bisa-bisa saja ada ‘permintaan’ kepada Ayin , sudahlah, katakan saja pertemuan itu memang untuk dagang permata” kata Akil Mochtar.
Menurut Akil yang baru terpilih menjadi hakim Mahkamah Konstitusi ini, para penyidik KPK harus tetap dijaga konsentrasinya dan kelanjutan pemeriksaannya untuk menuntaskan kasus suap Urip ini.

“Tim Jamwas itu adalah tim internal Kejagung, ya kan. Sesungguhnya mereka cukup meminta keterangan dari jaksa-jaksa yang terlibat. Bahkan harus diperiksa apakah ada jaksa atau pejabat di Gedung Bundar itu yang sengaja melakukan konspirasi mendukung tindakan pidana,” lanjut Akil.

Ia juga mengatakan, KPK jangan terpengaruh oleh gangguan atau hambatan apapun agar dapat menangani persoalan suap delik korupsi ini. Akil berharap Kejagung tidak secara sengaja menutup-nutupi fakta yang sebenarnya. “Jika sudah ada hasil pemeriksaan internal Jamwas, umumkan dong kepada publik secara transparan. Jangan ditutup-tutupi karena malu. Di republik ini, masyarakat harus diberi akses untuk mengetahui apapun yang memang berkaitan dengan fakta-fakta yang sesungguhnya dari kasus Urip ini.”

Akil Mochtar berharap agar penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung jangan sampai seperti upaya menegakkan benang basah. “Kita semua tahu maksud dari menegakkan benang basah. Lalu kalau sudah diperiksa tentang pelanggaran, kesalahan-kesalahan administrasi dan kedisiplinan apa saja yang ada dibalik kasus Urip ini, Jaksa Agung itu jangan diam saja,” ungkap Akil.

Semua kalangan yang peduli pada kasus korupsi, lanjut Akil, berharap Jaksa Agung Hendarman Supandji melakukan tindakan tegas dan mengusut lebih luas. Termasuk apakah ada anak buahnya yang patut diduga terlibat dalam konspirasi melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Urip.

“Kalau cuma diakal-akali peristiwa ini hanya sebatas ketidak-disiplinan jaksa di Gedung Bundar, aduh bagaimana itu? Sadarlah bahwa sudah waktunya praktek-praktek kotor seperti suap dan korupsi diberantas,” tandas Akil Mochtar.

Tak Bisa Intervensi
Sementara itu lewat wawancara eksklusif dengan Inilah.com melalui percakapan telepon jarak jauh, Ketua KPK Antasari Azhar yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Brunei Darussalam mengatakan bahwa tersangka AS masih terus diperiksa. Sehingga KPK memang belum bisa memberikan izin kepada Kejagung.

Antasari Azhar mengatakan, dalam kasus Urip, yang bertindak sebagai penyidik adalah KPK. Antasari meminta pengertian Kejaksaan Agung (Kejagung) bahwa pihaknya sedang terus berkonsentrasi melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka.

“Mereka bukan penyidik dalam kasus ini. Konsentrasi pemeriksaan (mereka) cukup kepada jaksa saja dan aturan yang terkait. Jika memang Jaksa Agung ingin menjatuhkan hukuman disiplin, hal itu sudah dapat dilakukan dengan data-data dan hasil pemeriksaan internal yang dilakukan Jamwas,” ungkap Antasari.

Ketua KPK juga meminta agar pihak-pihak tertentu jangan berusaha mengalihkan isu dengan cara menyebarkan kabar bahwa kasus ini hanyalah seputar jual beli permata.
“Sekarang patut dipertanyakan, mengapa sangat ngotot mau bertemu AS? Ada apa? KPK adalah penyidik dalam kasus ini dan kami akan bongkar kasus ini. Kalau memang merasa sangat mendesak ingin bertemu tersangka AS, ya mohon bersabar karena penyidik kami (KPK) masih terus berkonsentrasi melakukan serangkaian pemeriksaan kepada dua tersangka,” ungkap Antasari.

Pada beberapa hal, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Marzuki Darusman, sependapat dengan Antasari. Dia mengatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji harus memisahkan antara penegakan disiplin administrasi keorganisasian Kejaksaan Agung dengan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

Marzuki, mantan Jaksa Agung, sangat menyayangkan Hendarman tidak cepat melokalisir permasalahan dan tegas mengambil tindakan paling tepat. “Harusnya sehari setelah kejadian itu, Jampidsus dan Direktur Penyidikan dinon-aktifkan dulu lalu bentuk tim pemeriksa internal. Kalau tidak ditemukan kesalahannya, kedua pejabat itu bisa dipulihkan posisinya” kata Marzuki, kemarin.

Marzuki juga mengingatkan bahwa Kejagung tidak berhak mencampuri, mengintervensi atau mengganggu proses pemeriksaan yang sedang dilakukan oleh KPK terhadap kasus Urip.

“Yang menangkap dan sedang menangani kasus Urip dan Ayin ini adalah KPK. Sehingga KPK yang punya hak sepenuhnya menyidik kasus ini. Saya lihat Hendarman ini mendapat tekanan kuat dari internal Kejagung untuk mempertahankan status quo. Tapi Kejagung tidak berhak memaksa KPK,” lanjut Marzuki.

Itulah sebabnya, Marzuki Darusman menyarankan Hendarman agar tidak segan-segan melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap langkah tegas yang hendak dilakukan.

“Saya kenal Hendarman. Dia memang pribadi yang memiliki ketetapan hati. Tapi ketetapan hati saja tidak cukup. Citra, martabat dan kredibilitas Kejagung sudah cedera. Sepertinya jaring-jaring perangkap Ayin di Kejagung itu sudah sangat luas selama ini sehingga membuat Hendarman kesulitan mengatasi situasi,” lanjutnya.

Sementara itu Kepala Badan Intelijen Negara Sjamsir Siregar kepada INILAH.COM mengatakan Ketua KPK Antasari Azhar tidak perlu merasa takut terhadap semua tekanan atau komentar negatif apapun. Sebab, agenda pemberantasan korupsi ini sangat penting dan diutamakan pemerintah.

Penegakan hukum di Indonesia, hanya akan terlaksana secara baik dan benar jika para penegak hukum itu sendiri bisa melakukan tugas sebagaimana mestinya. Jadi jangan justru penegak hukum yang melanggarnya. (inn)

Sunday, March 16, 2008

Menunggu Kiprah Politisi yang Ingin Jadi Negarawan

Diah Novianti
Antara, Jakarta
Tiga calon hakim konstitusi pilihan Komisi III DPR untuk masa jabatan 2008-2013 bukan kejutan.

Mereka yang terpilih adalah wajah-wajah yang sudah dikenal publik. Mantan anggota Komisi III dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Mahfud MD, yang harus "mengungsi" sementara ke Komisi II DPR selama masa pencalonan, menduduki peringkat pertama dengan 38 suara.

Di tempat kedua, Ketua Mahkamah Konstistusi, Jimly Asshiddiqie meraih 37 suara. Sedangkan rekan Mahfud, Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar yang juga mantan anggota Komisi III DPR dan kini duduk di Komisi I DPR, meraih 32 suara di urutan ketiga.

Calon lain yang berstatus hakim konstitusi, Harjono, harus lengser dari jabatannya karena hanya berada di tempat keempat dengan 15 suara.

Sedangkan wajah-wajah yang tidak dikenal publik harus puas menjadi "penghias", karena hanya memperoleh suara minoritas. Mereka adalah Deddy Ismatullah (9 suara), Taufiqurrahman Syahuri (3 suara), Yusuf Andin Kasim, Chairul Amin dan Syamsul Wahidin, masing-masing dua suara, Lafat Akbar, Budiman NPD Sinaga, Rony SH Bako, dan Munir Fuady, masing-masing memperoleh satu suara.

Selama empat hari proses uji kelayakan dan kepatutan, mulai Selasa 11 Maret 2008 hingga Jumat 14 Maret 2008, nama Mahfud, Jimly, dan Akil, selain Harjono, sudah santer beredar sebagai calon yang dijagokan DPR.

Jimly mengaku ia pada prinsipnya tidak lagi ingin menjabat hakim konstitusi, namun beberapa pimpinan partai politik memintanya untuk meneruskan jabatan itu.

Dari perolehan suara, Akil, Mahfud dan Jimly mendapat dukungan kubu mayoritas yaitu Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Selama proses uji kelayakan, beberapa anggota Komisi III DPR memang menegaskan, pengalaman dan jejak rekam yang jelas merupakan faktor penting dalam pemilihan hakim konstitusi.

"MK ini bukan untuk orang yang coba-coba, ini masalah besar. Maaf saja kalau pengalaman masih kurang matang. Ini bukan pekerjaan gampang, dibutuhkan orang-orang yang sudah matang dan punya `track record` yang jelas," tutur anggota Komisi III Yasonna H Laoly dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pendapat Yasonna itu diamini oleh rekannya sefraksi, Willa Chandrawilla Supriadi.
"Saya berpendapat pengalaman itu perlu, tetapi tidak spesifik harus anggota DPR atau apa," ujar Willa.

Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Patrialis Akbar, dan Agun Gunanjar dari Fraksi Golkar, meski mengatakan calon yang layak belum tentu merupakan wajah yang sudah dikenal oleh publik, tetap menekankan pentingnya jejak rekam yang jelas.

Selama proses uji kelayakan dan kepatutan, para anggota Komisi III DPR mengatakan, tidak menutup kemungkinan wajah-wajah baru bisa terpilih karena uji kelayakan pada dasarnya dilakukan untuk mencari calon-calon yang mumpuni dalam bidang konstitusi dan hukum tata negara.

Mencari Sang Negarawan

Ada satu syarat spesifik yang harus dipenuhi calon hakim konstitusi yang tidak ditekankan untuk pejabat publik lainnya, bahkan untuk jabatan presiden sekalipun.

Pasal 15 huruf c UU No 24 Tahun 2003 tentang MK mensyaratkan bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Tidak ada penjelasan yang cukup memuaskan dari UU tersebut tentang arti negarawan. Dalam bab penjelasan pasal 15 huruf c UU MK, hanya tercantum kalimat "cukup jelas".

Selama proses uji kelayakan, para anggota Komisi III DPR pun memiliki definisi sendiri-sendiri tentang arti negarawan yang menjadi syarat khusus hakim konstitusi.

Patrialis Akbar mengartikan negarawan sebagai orang yang selalu mendahulukan kepentingan negara di atas segala-galanya.

Willa Chandrawilla mengatakan, negarawan adalah orang yang bekerja mengabdi untuk kepentingan negara, sedangkan Yasonna Laoly mengatakan negarawan adalah orang yang paham konstitusi dan hak warga negara, serta menjadi penjaga konstitusi yang selalu mendahulukan kepentingan negara.

Apapun definisi mereka tentang negawaran, semuanya sepakat bahwa sulit mengukur kenegarawanan seseorang dari 90 menit proses uji kelayakan yang harus dilalui setiap calon.
"Agak sulit untuk mengukur seseorang itu negarawan atau tidak. Kita baru bisa lihat apakah seseorang itu negarawan atau tidak ketika nanti dia sudah jadi hakim konstitusi," kata Patrialis.

Para anggota Komisi III DPR hanya mengandalkan beberapa parameter untuk mengukur sifat negarawan itu, antara lain dari cara berpikir para calon, sikap calon, dan pemahaman mereka tentang konstitusi dan hukum tata negara.

Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menambahkan unsur independensi dan imparsialitas sebagai faktor yang harus dimiliki seorang negarawan.

Untuk itu, Denny mempermasalahkan apabila calon hakim konstitusi terpilih berasal dari partai politik.

"Syarat negarawan sangat spesial satu-satunya untuk hakim konstitusi. Bahkan, presiden tidak ada syarat itu. Jadi, maknanya syarat negawaran itu pasti berkorelasi dengan keniscayaan independensi dan imparsialitas yang harus dimiliki hakim konstitusi," jelasnya.

Syarat independensi dan imparsialitas itu, menurut Denny, menjadi penting karena perkara-perkara di MK sarat kepentingan politis, khususnya untuk sengketa hasil Pemilu.

"Maka dari itu, calon dari partai politik lebih problematik dibanding calon-calon dari nonpartai," ujarnya.

Perlakuan Sama
Dari 16 calon yang menjalani uji kelayakan di Komisi III DPR, hanya Jimly dan Harjono yang mendapatkan perlakukan khusus. Keduanya hanya duduk kurang dari lima menit di ruang rapat Komisi III DPR guna diminta kesediannya dicalonkan kembali oleh DPR.

Menurut Ketua Komisi III DPR, Trimedya Pandjaitan, perlakuan itu dimaksudkan untuk menjaga martabat jabatan hakim konstitusi dan agar tidak timbul kesan DPR mengadili putusan MK apabila Jimly dan Harjono harus menjalani sesi tanya-jawab.

Penilaian Komisi III terhadap keduanya dilakukan melalui kinerja MK serta putusan-putusan MK selama Jimly dan Harjono menjabat hakim konstitusi.

Sedangkan calon lain, termasuk Akil dan Mahfud, menjalani sesi tanya-jawab selama 90 menit, waktu maksimal yang dialokasikan.

Namun, Komisi III DPR tidak secara merata menghabiskan alokasi waktu maksimal itu untuk menggali kemampuan para calon.

Terhadap calon yang menjawab seadanya, para anggota Komisi III tidak berminat menggali jawaban mereka sehingga sebagian besar calon hanya menjalani uji kelayakan sekitar satu jam.
Bahkan, sempat terjadi insiden calon Sugianto hanya menjalani uji kelayakan selama 15 menit karena pada pertanyaan pertama ia dinilai sudah melakukan kesalahan fatal akibat keliru menyebutkan pasal dalam konstitusi.

Ketika Sugianto salah menjawab, anggota Komisi III DPR kehilangan selera bertanya dan akhirnya Sugianto diminta meninggalkan ruang.

Sedangkan terhadap calon yang antusias dan memberikan jawaban tegas serta mendalam, anggota Komisi III berebut melakukan pendalaman, bahkan sampai harus diingatkan oleh pimpinan komisi bahwa alokasi waktu 90 menit telah habis.

Akil, Mahfud, Taufiqurrahman Syahuri yang pernah menjabat staf ahli MK, Yusuf Fanie Andin Kasim, dan Denny Ismatullah, merupakan calon-calon yang diminati Komisi III. Mereka terus diberondong pertanyaan sampai waktu 90 menit habis.

Saat uji kelayakan, Akil dan Mahfud menunjukan pemahaman yang baik atas masalah konstitusi, kewenangan dan cara kerja MK. Keduanya memang lama duduk di Komisi hukum DPR.

Bahkan, rekan sefraksi Akil, Agun Gunanjar melontarkan pujian terhadap Akil, karena selama di DPR sudah berkali-kali menjabat ketua pansus pembahasan RUU dan tidak diragukan lagi pemahamannya terhadap segi materiil maupun formil perundang-undangan.

Sedangkan Mahfud cukup tegas menyatakan sikap independennya jika terpilih sebagai hakim konstitusi dan banyak melakukan kritik terhadap kinerja MK saat ini yang menurut dia banyak melampaui kewenangan.

Di hadapan Komisi III, Akil dan Mahfud berjanji untuk memutus ikatan lama dengan partai politik tempat mereka bernaung dan yang telah membesarkan mereka selama ini.

Meski diminta maju oleh pimpinan partai politik, Jimly pun berjanji untuk tetap menjaga independensi dan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak.

Kini, MK memiliki warna baru karena hakim konstitusi masa jabatan 2008-2013 ada yang berasal dari partai politik.

Mereka harus melepaskan status politisi dan menjadi negarawan demi menjaga konstitusi dan melindungi hak warga negara.

Menjelang Pemilu 2009, MK memainkan peran penting sebagai lembaga negara yang berwenang menangani hasil sengketa Pemilu, termasuk menangani uji materiil UU Pemilu yang akan diajukan oleh beberapa partai politik yang sarat kepentingan politis.

Lima tahun masa jabatan mereka akan membuktikan apakah mereka memang negarawan yang mampu meletakan kepentingan negara di atas kepentingan sesaat.□

Edisi cetak di Borneo Tribune

Setelah Hamid dan Hamzah, Kini Akil Mochtar

* Nicodemus Nehen ke Senayan

Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Gagal meraih kursi Gubernur Kalbar, HM Akil Mochtar tidak tenggelam. Kini ia justru terpilih menjadi salah seorang hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Pemilihan yang dilakukan secara terbuka di Komisi III DPR-RI itu, dari 49 anggota Komisi III memilih tiga nama dari 13 calon yang sebelumnya 16 calon mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III.

Dalam pemilihan, Mahfud MD memperoleh 38 suara, menang tipis atas Jimly Asshiddqie yang meraih 37 suara, Akil Mochtar meraih 32 suara. Sedangkan Harjono meraih 15 suara disusul Deddy Ismatullah dengan sembilan suara dan Taufiequrrochman Syahuri meraih tiga suara dan satu kertas suara dianggap tidak sah karena ditulis empat nama calon.

Akil yang juga duduk di Komisi III, setelah terpilih praktis harus mundur dari DPR maupun partai Golkar. Namun dia baru bisa bertugas sebagai hakim konstitusi pada Agustus 2008 mendatang, menunggu masa tugas hakim konstitusi perode sebelumnya berakhir.

Walau sudah terpilih menjadi hakim konstitusi, Akil tetap Akil yang dulu yang selalu ramah dengan siapa saja. Ketika saya mengirim pesan singat (SMS) mengucapkan selamat, segera dibalasnya. “Terima kasih banyak, GBU,” balasanya, Sabtu (15/3) tadi malam.

Pria kelahiran Kapuas Hulu 1960 itu sebelum terpilih menjadi hakim konstitusi, memulai karier dari bawah. Di dunia politik diawali sebagai Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), Sekretaris Bidang Hukum dan Advokasi Bappilu DPP Partai Golkar, Pengurus LPPH Partai Golkar, Pengacara/Advokasi dan anggota DPR-RI selama dua periode yang dimulai sejak tahun 1999.

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu sebelum memantapkan langkah ke hakim konstitusi, sempat mengikuti Pemilu Gubernur Kalbar pada 15 November 2007 lalu. Namun sayang, Dewi Fortuna belum berpihak kepada sosok yang mudah diterima semua kalangan tersebut.

Tapi semua itu tidak sia-sia. Akil menyeruak di blantika hukum nasional—jabatan yang belum pernah dicapai putra-putri Kalbar—di mana dia terpilih menjadi salah seorang hakim konstitusi yang pemilihannya berlangsung, Jumat (14/3) malam lalu.

Bagi kita orang Kalbar, terpilihnya Akil sebagai salah seorang hakim konstitusi jelas membanggakan. Sebab Akil satu dari sekian banyak orang Kalbar yang bisa muncul dengan memegang jabatan di tingkat nasional.

Zaman Presiden Soekarno, Kalbar dikenal lewat kiprah Sultan Hamid II. Habis era Sultan Hamid, Kalbar seakan kehilangan kader yang sanggup berbicara di tingkat nasional. Parahnya, selama Orde Baru tak satupun tokoh Kalbar yang muncul, kecuali sebagai anggota DPR-RI. Namun setelah reformasi bergulir, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Kalbar dikenal lagi lewat kiprah putra Kayong, H Hamzah Haz yang duduk di jajaran kabinet dan Oesman Sapta Odang sebagai Wakil Ketua MPR-RI.

Ketika Gus Dus jatuh akibat Bulog-gate, Megawati Soekarno Putri tampil dengan menggandeng Hanzah Haz sebagai Wakil Presiden. Jelas itu posisi tertinggi yang pernah diduduki putra Kalbar di sejarah Republik ini.

Di jajaran eksekutif setinggi Dirjen, memang ada putra Kalbar seperti Dirjen Pertanian Prof Dr H Syarifudin Karama dan Ketua Program Pasca Sarjana UI Prof Dr Wan Usman, tapi tidak begitu menonjol. Namun dengan terpilihnya Akil, tentu menjadi harapan besar bagi kita masyarakat Kalbar. Kita patut mendukung kiprahnya di Mahkamah Konstitusi. Banyak hal yang bisa kita perjuangkan lewat keberadaan Akil di MK.

Kabar terpilihnya Akil langsung menyebar ke seluruh pelosok Kalbar, mulai dari pejabat, tokoh politik hingga masyarakat biasa. Tak ayal Akil pun menjadi pembicaran hangat di warung-warung kopi Jalan Hijas maupun Tanjungpura sepanjang Sabtu kemarin.

Bagi Partai Golkar sendiri dengan mundurnya Akil, baik sebagai anggota DPR maupun partai, jelas memberi kanderisasi di tubuh pohon beringin tersebut. Posisi Akil tentu segera diisi oleh caleg Golkar nomor urut di bawahnya. Dan itu pastilah jatah Sekretaris DPD Partai Golkbar Provinsi Kalbar, Nicodemus Nehen. Sebab dalam pencalegan Partai Golkar pada Pemilu 2004 lalu, Nehen menempati nomor urut 4 di bawah Akil, Ny Asiah Salekan dan H Gusti Syamsumin. Nehen bakal menuju kursi DPR RI di Senayan. □

Edisi cetak di Borneo Tribune

Saturday, March 15, 2008

Mahfud, Jimly, Akil Lolos ke Mahkamah Konstitusi

Republika Online
Sabtu, 15 Maret 2008

JAKARTA -- Mahfud MD meraih 38 suara, disusul Jimly Asshidiqqie 37 suara, dan Akil Mochtar 32 suara. Angka-angka dari hasil voting tertutup di Komisi III DPR, Jumat (14/3) sore, itu merupakan tiket masuk bagi ketiganya untuk menjadi hakim baru Mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai prediksi, mereka mengalahkan 18 nama lainnya, yang dua di antaranya mengundurkan diri saat harus menjalani uji kepatutan dan kepantasan (fit and proper test) di Komisi III.

Mahfud dan Akil masing-masing politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Golkar. Mereka pun terkena konsekuensi harus mundur dari dunia politik dan anggota DPR untuk total menjadi hakim MK yang independen. ''Mereka harus bisa membawa warna baru ke MK dan segera berkoordinasi dengan hakim lama di MK. Mereka juga harus menepati janjinya untuk independen (tidak terpengaruh kepentingan parpol),'' kata Ketua Komisi III, Trimedya Pandjaitan (Fraksi PDIP).

Mahfud bakal segera mengisi kekosongan kursi hakim MK yang April nanti pensiun. Sementara Akil Mochtar menyusul pada Agustus mendatang. Sedangkan Jimly, yang kini menjabat ketua MK, lolosnya seleksi kali ini merupakan perpanjangan masa tugas di lembaga tinggi negara penilai hukum perundang-undangan tersebut.

Voting tertutup di Komisi III dimulai sejak pukul 15.00 WIB. Sebelum voting, Fraksi Partai Demokrat terlihat meninggalkan ruangan Komisi III untuk konsolidasi. Jumlah total anggota Komisi III adalah 49 orang dengan komposisi Golkar 12 orang, PDIP 10 orang, PPP lima orang, Demokrat lima orang, PAN lima orang, dan Kebangkitan Bangsa lima orang. Sementara PKS empat orang, BPD satu orang, PBR satu orang, dan PDS satu orang. Tiap anggota diperbolehkan memilih tiga nama.

Anggota Fraksi PPP, Lukman Hakim Saefudin, menjadi orang pertama yang memilih. Sedangkan Trimedya Pandjaitan sebagai pemilih terakhir. Di awal-awal penghitungan suara, nama Jimly dan Akil selalu susul menyusul diselingi nama Mahfud.

Namun di pertengahan penghitungan suara, nama Mahfud selalu disebut sehingga ia makin unggul. Mahfud bersaing dengan Jimly dalam perhitungan yang sangat ketat itu. Tiap kartu suara hampir pasti memilih Mahfud dan Jimly, dengan diselingi Akil. Sampai akhirnya Mahfud keluar sebagai juara satu.

''Hidup Madura!'' teriak seorang anggota Komisi III. Kontan teriakan ini dibalas gelak tawa anggota dewan dan puluhan wartawan yang meliput. Mahfud memang berasal dari Pulau Garam itu. Salah satu calon kuat lainnya, Harjono hanya meraih 15 suara. Unggul tipis dari calon independen Deddy Ismatullah (14 suara). Dengan hasil ini, menggambarkan bahwa fraksi-fraksi besar mendukung Mahfud, Jimly, dan Akil.

Komitmen independen
Mahfud mengaku sebagai orang yang konservatif dalam memberi putusan. ''Saya ini melihatnya dari sisi sesungguhnya saja lah. Jangan buat hal-hal baru atau meniru dari luar negeri,'' katanya, kepada Republika. Bagaimana dengan tuntutan bersikap independen? ''Dulu waktu di parpol, saya bela parpol mati-matian, sekarang saya sudah jadi milik masyarakat,'' tandas mantan menteri pertahanan itu.

Sedangkan Jimly mengatakan, selama lima tahun terakhir memimpin MK, selalu berusaha dekat dengan semua kalangan. Dengan begitu, ia bisa memelihara profesionalisme dan independensi. ''Kita berpihak pada kebenaran konstitusi,'' katanya. Akil Mochtar juga menyatakan komitmen untuk menjaga independensi dan segera mundur dari dunia politik. evy

Mahkamah Konstitusi:Akil Mochtar-Mahfud M.D. Jadi Hakim Konstitusi

JAKARTA (Lampost): Komisi III DPR memilih politisi Partai Golkar Akil Mochtar dan politisi PKB Mahfud M.D. mendampingi Jimly Asshiddiqie menjadi hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi pun dikhawatirkan bakal menjadi mahkamah pembelaan politik.

Pemilihan itu diambil melalui voting mulai pukul 14.30. Hasilnya, Mahfud M.D. memperoleh 38 suara, Jimly yang kini masih menjadi Ketua MK menempati urutan kedua dengan 37 suara, disusul Akil 32 suara.

Dalam voting tertutup yang berakhir pukul 15.30, setiap anggota Komisi III menulis tiga nama dalam kertas suara dan dimasukkan kotak suara setelah dipanggil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan. Dari 50 anggota Komisi III, Akil Mochtar yang juga anggota Komisi III itu kehilangan hak pilihnya. Dari 49 anggota yang menggunakan hak pilih, satu suara tidak sah karena menuliskan nama empat calon.

Hakim Konstitusi Harjono hanya memperoleh 15 suara. Calon lain yang mendapatkan suara adalah Deddy Ismatullah (9), Taufiqurrahman Syahuri (3), Yusuf Fanie Andin Kasim, Chairul Amin, Samsul Wahidin mendapat dua suara masing-masing, serta Budiman N.P.D. Sinaga, Lafat Akbar, Munir Fuady, dan Ronny Bako memperoleh satu suara masing-masing.

Ketua Komisi III Trimedya Pandjaitan mengatakan Komisi III akan lebih dahulu mengajukan Mahfud M.D. ke Sidang Paripurna DPR, Selasa (18-3), untuk menggantikan Hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang pensiun sejak 1 Maret 2008. Akil akan menggantikan Hakim Konstitusi I Gde Palguna yang berakhir masa tugas 15 Agustus dan Jimly menggantikan diri sendiri.

Trimedya menjamin keberadaan Mahfud dan Akil di MK akan sama sekali lepas dari kepentingan partai politik asal mereka. "Kami sudah dengar sendiri waktu uji kelayakan, mereka telah berjanji."

Namun, bagi pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana, idealnya hakim konstitusi bukan orang yang aktif di partai atau minimal empat tahun terakhir tidak aktif di partai.

Ia pun berharap pemilihan hakim konstitusi melalui jalur pemerintah dilakukan terbuka dan transparan sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan mendapat kepercayaan masyarakat. Bukan mustahil, Presiden pun memilih tiga hakim konstitusi dari partainya karena DPR meloloskan kader Partai Golkar dan PKB.

"Kami mengapresiasi Pak Akil dan Pak Mahfud. Dan kami harapkan nantinya mereka benar-benar membuktikan diri independen. Walaupun tampaknya akan ada sedikit kenangan yang membangkitkan keberpihakan karena ini semua kaitannya dengan Pemilu 2009," jelas Denny. n U-1

Akil Mochtar Terpilih Hakim MK

Pontianak Post
Sabtu, 15 Maret 2008
Pontianak,- Kalimantan Barat patut berbangga. Satu putra terbaiknya terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi melalui DPR. Ia adalah Akil Mochtar. Ia menjadi putra pertama dari Kalimantan Barat yang berhasil menjadi hakim lembaga tinggi negara tersebut.

Akil yang maju melalui DPR, terpilih bersama Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie. Dari hasil perhitungan suara, Mahfud menempati peringkat teratas dengan 38 suara, disusul Jimly dengan 37 suara dan Akil Mochtar 32 suara. “Saya merasa bangga. Ini keberhasilan Kalbar di tingkat nasional. Apalagi ini dipilih oleh DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Saya hanya pionir saja, pembuka jalan. Ini jadi contoh kalau orang Kalbar bisa. Asal ada kemauan saja,” kata Akil kepada Pontianak Post usai terpilih dalam voting Komisi III DPR, Jumat (14/3).

Menurut dia, tugas sebagai hakim MK merupakan beban yang berat. “Ini bukanlah sesuatu yang prestisius. Saya sudah biasa gagal. Makanya tugas ini menjadi beban. Saya harus lebih konsen. Pekerjaan ini membutuhkan pikiran, pengetahuan, dan kearifan sebagai negarawan,” katanya.

Kata Akil, kewenangan sebagai hakim MK sangat luas. Bisa membatalkan UU, membubarkan partai politik, juga sengketa antarlembaga negara. Posisi hakim MK itu bukan sembarangan, tentu mengandung konsekwensi. Karena putusan yang dikeluarkannya untuk perbaikan kehidupan demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia.

Lebih berat mana dibandingkan sebagai anggota DPR? “Tentu lebih berat sebagai hakim MK. Karena tugasnya lebih spesifik. Dewan juga berat, namun lebih banyak ke hal-hal politis saja,” katanya. Bagaimana dengan posisinya di DPR, Akil menyatakan siap mundur, begitu Keppresnya terbit. Ia mengatakan harus mengikuti UU MK, yang mengatur tidak boleh menjadi anggota parpol atau rangkap jabatan sebagai pejabat negara.

Ia merasa kepercayaan yang diberikan DPR kepadanya merupakan amanat yang harus dijalankan sebaik mungkin. Karena itu, selama proses dirinya masuk ke MK pada Agustus mendatang, dia akan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Politisi senayan asal Kalimantan Barat itu berkomitmen akan berdiri diatas semua golongan. "Hakim konstitusi merupakan hakim yang akan memutuskan perkara yang terkait dengan sengketa UU dengan konstitusi. Karena itu, keadilan, kejujuran serta pertanggungjawaban pada Tuhan dan rakyat harus dijunjung tinggi," katanya.

Ia menambahkan, "Kalau saya melanggar, saya akan berdosa dan bertanggung jawab pada Tuhan dan saya siap untuk diberhentikan. Saya akan pegang komitmen untuk berdiri di atas semua golongan."

Akil Mochtar adalah anggota DPR dari Kalimantan Barat melalui Partai Golkar. Pria kelahiran Putusibau ini sudah dua periode menjadi anggota DPR, yakni 1999-2004 dan 2004-2009. Pada pilkada gubernur 2007, ia mencalonkan diri berpasangan dengan AR Mecer. Namun pasangan itu gagal.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Pontianak Wira Tafiarta menyampaikan apreasiasinya atas terpilihnya Akil Mochtar sebagai hakim MK. “Ini kebanggaan Kalbar. Ia pantas mendapat posisi itu. Kelayakan dan kepatutannya sudah teruji untuk mengemban amanah dan supremasi hukum di Indonesia,” katanya di Pontianak, kemarin. (mnk)

Friday, March 14, 2008

Soal Independensi, Mahfud dan Akil Tak Tergoyahkan

Kompas

Jumat, 14 Maret 2008 | 19:13 WIB
JAKARTA, JUMAT - Soal independensi dua politisi yang menjadi hakim konstitusi menyisakan pertanyaan besar. Maklum saja, dunia politik dinilai sebagai wahana yang sarat kepentingan dan tak lepas dari berbagai intervensi.

Apalagi, menjelang 2009 besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menangani perkara yang berkaitan dengan sengketa pemilu. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi dua hakim konstitusi terpilih yang sama-sama politisi, Mahfud MD dan Akil Mochtar.

Dihubungi secara terpisah, Jumat (14/3), keduanya menjamin independensi mereka tak akan goyah dengan intervensi dari manapun. Mahfud yang tengah berada di Yogyakarta mengatakan, dirinya siap berdebat dengan 8 hakim konstitusi lainnya. Berdebat untuk menghasilkan putusan yang berkualitas.

"Sesuai dengan 10 rambu yang saya paparkan, meskipun itu untuk jadi pegangan saya pribadi. Tapi saya siap berdebat," ujar Pakar Hukum Tata Negara ini. Kader PKB ini juga menyatakan, terpilihnya dirinya dan Akil membuktikan bahwa tak selamanya pemilihan pejabat di DPR itu menggunakan politik uang. Baginya, dengan terpilihnya ia dan Akil menunjukkan kapasitas masing-masing orang menjadi pertimbangan utama. "Ini menjadi pencerah bagi DPR yang selama ini dilihat masyarakat suram," lanjutnya.

Hari Senin (17/3) mendatang, Mahfud akan memproses pengunduran dirinya dari PKB dan DPR. Pengunduran diri ini juga menjadi langkah awal pembuktian independensi. "Pihak LSM, pers dan masyarakat nanti bisa mengawasi. Waktu yang akan menjawab." ujarnya.

Tak jauh berbeda dengan Mahfud, Akil Mochtar yang merupakan kader Partai Golkar juga siap membuktikan independensinya. "Saya akan buktikan itu dengan kerja yang baik. Juga menunjukkan kemampuan yang bersumber pada keadilan dan konstitusi. Insya Allah saya akan jaga kepercayaan ini," ujar Akil.

Anggota komisi III DPR ini akan mulai bertugas di MK pada Agustus mendatang. Proses pengunduran dirinya dari partai dan DPR akan diproses bersamaan dengan proses pemberhentian dirinya sebagai anggota dewan sesuai dengan keputusan Presiden. "Hakim kan memang tidak boleh merangkap. Jadi saya akan urus, setelah keputusan komisi III ini dibacakan di paripurna, disampaikan ke Presiden, ada keputusan pemberhentian. Jangan khawatir dengan itulah," tegasnya.

Akil mengaku telah mempersiapkan diri dengan baik untuk bertugas di MK. "Saya pikir, saya sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk bertugas di MK. Modal saya, integritas, pengetahuan hukum yang cukup dan pengetahuan tentang kenegaraan. Kesempatan ini amanah. Masyarakat bisa awasi kinerja saya dan teman-teman nanti," pungkas Akil.

Lawmakers shortlist strong MK candidates

National News - March 10, 2008
Lilian Budianto, The Jakarta Post, Jakarta
The House of Representatives has a shortlist of names to fill Constitutional Court positions opening up in the coming months when currently serving justices retire or their terms expire.

Lawmaker Gayus Lumbuun of Indonesian Democracy Party of Struggle (PDI-P) said Saturday several people -- including incumbent MK chairman Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD of the National Awakening Party (PKB), Akil Mochtar of the Golkar Party and Airlangga University law professor Haryono -- would "compete in a tight battle" for three seats that will soon be vacant.

"The House is looking for people with strong legal backgrounds, good track records and considered having a high moral quality," he told The Jakarta Post.

According to 2003 enabling legislation, the House, president and Supreme Court are each entitled to appoint justices to the court.

The House has a "fit and proper test" scheduled for 16 candidates on Tuesday. The test had been postponed several times as House factions finalized their picks.

Jimly announced his candidacy close to the Thursday deadline after repeatedly refusing support from the House to stand for another term.

He said he was reluctant to serve again because of his age, changing his mind when he saw broad House support. The University of Indonesia law professor turns 58 on April 17.

Gayus said he was fearful Jimly faced a tough challenge from the House during the test because of a decision he made earlier this month to extend the term of fellow justice Achmad Roestandi.
Achmad was to retire this month upon turning 67. However, Jimly decided to keep him on until August when his term would naturally expire, to avoid a vacancy.

According to Gayus, Jimly should have consulted with the Supreme Court or House before making a decision "beyond his authority".

He also expressed fears Jimly's decision could affect the legibility of decisions made by the court, as the law didn't allow the terms of justices to be extended. All judges have to retire at 67, he said.

"I am very much concerned that the House will focus on that move and go hard on him. It could backfire on him."

Two other justices will turn 67 and retire before the expiry of their terms. Mohammad Laica Marzuki will retire on May 30 and Soedarsono on June 30.

Procedures say the House should release results of this week's test within 10 days to two weeks, but it is feared the process may take longer.

The drawn-out process for filling empty seats may also hamstring the court in the interim as the law requires plenary sessions of at least seven judges.