Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah doa terpanjat. Dalam bahasa Arab. Suaranya lirih dan mengiris. Ada keharuan dalam kalimat yang dilafalkan. Ustad H. Hadari Haji Majri, sang pemimpin do’a itu. Kalimat yang dilafalkan, kadang meninggi dan menurun dengan tiba-tiba. Membentuk nada-nada ritmis yang indah didengar dan syahdu. Mereka yang hadir, menengadahkan tangan ke atas.
Melihat do’a dan ritual yang dijalankan, aku teringat dengan sebuah novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah, ”Ia tengadahkan wajahnya ke atas. Ke mana lagi kalau bukan ke atas? Atas adalah arah dari segala do’a dan kuasa. Atas juga arah dari segala azab dan bencana.”
Hari itu, Sabtu (22/3), Akil Mochtar, anggota DPR RI dari Komisi III, melaksanakan syukuran di rumahnya, Jalan Karya Baru, Pontianak. Akil syukuran, karena telah terpilih sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dalam fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI.
Lalu, apa arti jabatan baru itu bagi dirinya?
”Jabatan itu amanah,” kata Akil. Jabatan merupakan mandat yang harus dijalankan dengan baik dan benar.
Memegang jabatan bukan sesuatu yang baru bagi Akil. Dalam perjalanan karir yang dijalani, Akil pernah menjadi pengacara selama 16 tahun. Selama menjadi pengacara, berbagai perkara ditangani. Bersama Tamsil Soekoer dan Alamuddin, dia pernah membela kasus salah vonis terhadap Lingah, Pacah dan Sumir di Ketapang, pada 1991. Dia tak mendapatkan bayaran apapun dari kasus yang mencuat hingga tingkat nasional dan internasional. Itu komitmen sosial, katanya.
Akil masih aktif di DPR RI. Dia telah menjalani masa jabatan dua kali di DPR RI. Tahun ini, 9 tahun masa jabatannya di gedung DPR RI. Ia lebih banyak menjalani bidang hukum, politik, dan masalah demokrasi.
Menurutnya, dalam perjalanan reformasi dan sistem politik yang makin terbuka, ia mulai menjalani karir sebagai anggota DPR RI. Ia mengalami sebuah masa, dimana sebuah transisi politik dari politik tidak demokratis, menjadi demokratis. Pemerintahan otoriter menjadi demokratis. Partai politik terbatas, hingga multipartai.
Ketika di DPR RI, ia ikut mengamandemen UUD 45. Ada perubahan konstitusi dan perubahan demokrasi. Artinya, sistem ketatanegaraan tidak akan bisa demokratis, bila konstitusi dan UUD tidak diubah atau diamandemen. Dia pelaku sejarah langsung dari proses perubahan itu.
Secara perlahan, proses demokrasi mewujud dalam sistem pemerintahan. Lalu, muncul berbagai lembaga baru yang sesungguhnya untuk mendorong kehidupan demokrasi. Seperti, lembaga Pemilu yang independen. Sebelumnya, penyelenggara Pemilu dikungkung oleh rezim pemerintah.
Proses demokrasi juga memberikan kuasa kepada DPR membentuk UU, yang sebelumnya dipegang pemerintah. Bahkan, DPR punya kewenangan lain. Misal, melakukan fungsi pengawasan, fungsi budgeting, dan legislasi atau perundang-undangan. Fungsi lainnya, memberi persetujuan terhadap penempatan Duta Besar, pengangkatan Kapolri, Panglima TNI, perjanjian internasional dan lainnya. Disamping itu DPR memiliki wewenang lainnya yaitu memilih Hakim Agung, Hakim Konstitusi,Gubernur Bank Indonesia, Anggota Komisi Yudisial, Anggota Komnas HAM, Ketua dan Anggota KPK, dan memilih Anggota Komisi Perlindungan Saksi dan Korban, serta Anggota BPK.
”Semua kewenangan itu, terjadi seiring dengan perubahan politik yang terjadi di Indonesia,” kata Akil.
Ketika menjadi anggota DPR, Akil masuk dalam berbagai pembentukan UU, sebagai pimpinan atau anggota. Menurutnya, semua itu merupakan pengalaman dan kemampuan yang memiliki arti tersendiri.
Dalam proses pasang surut posisi politiknya, ia merasa ada satu masa dimana, ia berada pada posisi cukup di bidang legislatif.
Adanya lembaga Negara, Mahkamah Konstitusi (MK) yang di seluruh negara demokratis di dunia, keberadaannya ada. MK merupakan penyeimbang, sebagai konsekuensi lahirnya konsepsi chek and balance dari kekuasaan negara. Saling mengontrol antara Lembaga Negara. Seperti, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Presiden, dan BPK. Sebagai Konsekuensi dari pasal 1, ayat 2, UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya menurut UUD.
Apa maksudnya? Semua kekuasaan negara yang mempunyai wewenang itu, diberikan oleh UUD. Semua kekuasaan Lembaga Negara itu, juga dibatasi oleh UUD.
Dalam konsepsi negara demokrasi, tidak ada lembaga perwakilan yang tidak dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Untuk menyelenggarakan itu, tentu butuh lembaga yang independen. Untuk independen, tentu butuh lembaga independen. Maka, lahirlah KPU.
Semua dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi. Tetapi kekuasaan yang diberikan oleh UUD, harus bisa saling mengontrol. Sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat 1, UUD, bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Hal itu memberi konsekwensi kepada sistem pemerintahan. Sistem Pemerintah Indonesia, adalah sistem Presidensial, jadi tidak ada yang bisa saling menjatuhkan kewenangannya. DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden. Presiden juga tidak bisa membubarkan parlemen.
Namun, pemberian kewenangan itu, oleh UUD harus dikontrol. Kontrol yang baik dan benar dari sistem Presidensial adalah, kontrol yudikatif yang dalam hal ini dilaksanakan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).
Dan, kewenangan MK, apa saja? Kewenangan MK ada empat kewenangan dan satu kewajiban. Pertama, menguji UU terhadap UUD. Kedua, pembubaran partai politik. Kalau pemerintah ingin mengajukan pembubaran partai politik, harus mengajukan dulu kepada MK. Kalau dulu langsung bisa dibubarkan saja. Sekarang tidak boleh, karena itu konsekwensi dari hak-hak demokrasi. Ketiga, sengketa hasil Pemilu, yang ditetapkan secara nasional oleh KPU, berkenaan dengan calon perseorangan, anggota DPD, sengketa hasil Pemilu mengenai calon Presiden dan Wakil Presiden, sengketa hasil Pemilu partai politik atau Pemilu legislatif. Keempat, mengadili sengketa antarlembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, antara DPR dan Presiden.
Satu kewajiban adalah, mengadili pendapat DPR dalam hal pendapat DPR mengeluarkan fatwa, bahwa Presiden, atau Wakil Presiden telah melanggar UUD tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, melakukan tindak pidana korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, dan tindak pidana berat lainnya.
Dalam hal misalnya DPR berpendapat, bahwa Presiden / Wakil Presiden tidak memenuhi saran lagi. Maka pendapat DPR tidak bisa langsung diberikan kepada MPR, tapi harus diuji melalui MK.
Itulah kewenangan MK sebagai pengontrol dan sebagai akibat dari konsepsi dari cek and balance serta paham constitutionalism.
Indonesia menganut paham konstitusi atau negara hukum berdasarkan kekuasaan hukum. Paham konstitusi berarti mengandung dua konsekwensi. Pertama, kewibawaan hukum harus mampu mengatasi kewibawaan politik. Sebab, negara ini berdasarkan hukum. Jadi, kekuasaan harus melingkup dalam suatu konstitusi. Kedua, kekuasaan diberikan oleh UUD. Dan, juga harus dibatasi oleh UUD. Maka yang mengontrol bila ada kewenangan yang telah diberikan melalui UUD adalah MK. Ketiga, sebagai konsekwensi dari paham demokrasi. Bahwa segala kemajuan dan kemunduran dari hak-hak demokrasi harus sesuai dengan konstitusi. Keempat, melindungi hak-hak konstitutional dari warga negara, dari keputusan yang telah diambil oleh negara. Misalnya, ketika pemerintah dan DPR membuat UU, tapi dalam muatan UU itu merugikan hak konstitusi warga negara dan bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945 maka bisa mengajukan uji materiel ke MK. Karena, hak konstitutional warga negara dijamin oleh UUD. Yang terakhir, dalam rangka melindungi hak asasi manusia itulah, yang menjadi dasar atau semangat dari munculnya MK.
Kewenangan MK bertambah dengan adanya revisi UU Pemerintah Daerah, menyangkut sengketa Pilkada. Baik itu Pilkada Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Disisi lain, MK merupakan satu-satunya penafsir tunggal terhadap UUD. Tidak ada orang lain atau lembaga lain yang menafsir UUD, kecuali MK. Bagaimana cara menafsirnya, harus tercermin dalam putusan yang dihasilkan oleh MK.
Kehadiran MK sebagai hasil dari pemikiran hukum modern di abad 20. Sebuah kontemplasi dari para pemikir di abad 20. Karenanya, MK ada di seluruh negara demokrasi. Namun, jumlah hakimnya berbeda-beda, tapi kewenangannya hampir sama. Contohnya, Jerman, Korsel, Thailand, Hongkong, dan negara lainnya. Kewenangannya hampir sama. Namun, ada beberapa diadaptasi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara. Misalnya, di Indonesia ada satu kewenangan yang tidak diambil, misalnya Constitutional Complain. Ini keluhan warga negara terhadap konstitusi. Di Jerman, Impeachment tidak diambil karena sistem Jerman parlementer.
Anggota MK berjumlah sembilan orang. Pemilihannya dilakukan melalui tiga lembaga. Tiga Hakim MK melalui lembaga DPR. Tiga melalui Presiden. Tiga melalui Mahkamah Agung. Jadi hakim konstitusi bukan berasal dari DPR.
Kehadiran Akil di MK, merupakan jawaban untuk berdiri di atas semua golongan. Sebagai anggota DPR, ia mewakili semua masyarakat, tapi tetap terikat dengan aturan yang ”membelenggu”. Selama itu, dia harus terikat dengan partai. Kalau tidak tunduk kepada partai, akan diperingatkan. Sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi perlawanan dalam perjuangan yang lakukan.
Kalau di MK, ia hanya terikat kepada sumpah jabatan sebagai Hakim MK, keadilan, dan kebenaran konstitusi. Hakim MK tidak tunduk kepada kekuatan apapun.
Karena itu, syarat menjadi Hakim MK cukup berat. Syaratnya, harus negarawan, adil, menguasai ketatanegaraan dan UUD. Hakim MK tidak boleh merangkap sebagai pejabat negara di institusi lain. Misalnya, sebagai anggota DPR. Hakim MK tidak boleh menjadi anggota partai politik, pengusaha atau advokat.
“Tidak boleh tercampur atau resistensi terhadap kepentingan apapun,” kata Akil. Itulah berbagai alasan yang mendorongnya menjadi anggota Hakim MK.
Lalu, bagaimana sebuah nilai kebenaran diukur nilainya?
“Ya, harus terimplementasi melalui Hakim MK yang mengatur tentang kode etik melalui MK,” kata Akil.
Proses pengambilan keputusan dan proses berperkara di MK sangat cepat dan transparan. Hasilnya langsung bisa dilihat, sehingga semua masyarakat, media dan lainnya, bisa mengontrol terhadap hasil dari keputusan MK. Inilah bentuk transparansi dari MK. Dengan cara itu, kinerja hakim MK, juga langsung bisa dilihat. Perlu diingat bahwa keputusan MK adalah final and bending. Artinya, bersifat final. Tidak ada upaya hukum apapun lagi. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian. Perlu kesadaran sebagai Hakim MK, dan bertindak sebagai negarawan, dalam memutuskan sebuah keputusan.
Dengan jabatan barunya, banyak yang meragukan independensinya kelak, karena Akil berasal dari partai politik, Partai Golkar. Menurutnya, pendapat itu merupakan sebuah model dari karakter sebagai bangsa. Pola berpikir curiga. Stigma-stigma itu lahir karena sebagai bangsa, terbiasa dibawa pada arus masa lalu. Dimana orang selalu berpikir bahwa orang yang menduduki jabatan di lembaga negara adalah bandit semua.
Ini sejarah masa lalu. Orang partai dianggap mementingkan kelompok, golongan atau partainya. Namun, satu hal harus disadari bahwa dalam suatu negara demokrasi, kehadiran partai politik harus ada. Negara tidak bakal bisa diperbaiki, tanpa partai politik. Karena yang berhak mengubah UUD adalah MPR. Anggota MPR adalah DPR dan DPD. Dan mereka terpilih dari partai-partai yang dipilih melalui Pemilu. “Jadi, itu sebenarnya suatu kondisi yang tidak perlu kita ragukan. Tapi wajar saja ada sebuah keraguan karena ada stigmatisasi dan cara berpikir seperti itu,” kata Akil.
Menurutnya, waktu yang akan menjawab keraguan itu. Ia yakin dengan integritas, kemampuan, pengalaman empirik sebagai pengacara. 16 tahun sebagai pengacara sangat mendukung dalam proses berperkara di MK. Akil merasa punya pendidikan cukup untuk itu. Selama di DPR, berpengalaman langsung dalam membuat UU, melakukan perubahan dan amandemen UUD.
Dengan posisi sebagai pelaku sejarah langsung dan berbagai pengalaman itu, setidaknya ia memahami dunia MK. Selama MK ada, ia menjadi salah seorang kuasa hukum dari DPR, untuk beracara di MK dalam hal diajukannya permohonan uji UU terhadap UUD, oleh para pihak. Pemerintah dan DPR dalam hal uji UU, bukan yang berperkara, tapi sebagai pemberi keterangan. Akil juga salah satu anggota tim sosialisasi UUD. Juga pernah menjadi tim seleksi dari jabatan-jabatan publik, seperti, Hakim Agung, Kapolri, Komnas Ham, KPU, Komisi Yudisial, KPK , dan MK yang dilakukan melalui mekanisme fit and proper test. “Itulah bekal saya di MK,” kata Akil, “untuk konsisten dan istiqomah.”
Dalam menyambut dan melaksanakan tugas baru tersebut, tentu ia bakal belajar banyak, membaca dan punya pengetahuan yang cukup tentang ketatanegaraan, konstitusi, dan berbagai macam persoalan bangsa. Setiap keputusan dari MK itu dinilai dan ditulis secara langsung, dan disiarkan sehingga bisa diterima setiap pihak. Jadi ruangnya sangat terbuka untuk orang bisa melihat, apakah ia terkontaminasi terhadap kepentingan sebuah pihak atau tidak.
Tapi ada jawaban-jawaban praktis, yang sebenarnya ia tidak ingin menyinggung. Ia merasa tidak begitu sukses menjadi politisi, karena selalu berbenturan dan beda pendapat dengan partai tempatnya bernaung, Partai Golkar. Hal itu bisa dibuktikan, bahwa dia satu-satunya anggota DPR di zaman Reformasi yang mendapat surat peringatan keras dua kali dari partai induknya. Tidak berarti ia benci orang. Itu dianggapnya sebagai harga dari idealisme yang dianutnya. Ia akan tetap berjuang, kalau sesuatu menjadi prinsip, apalagi itu menyangkut sebuah kebenaran. “Saya tidak akan surut,” kata Akil.
Namun, bukan berarti MK menjadi sebuah pelarian. Itu sangat tidak benar, karena ia bersedia meninggalkan DPR yang masih satu setengah tahun lebih. Dengan berbagai hak, gaji, dan segala sesuatu yang cukup. Di MK gaji dan penghasilannya lebih kecil dari DPR. Baginya, itu bukan masalah penghasilan, karena ia bukan mencari kerja. Kalau cari kerja tentu cari gaji yang paling tinggi.
Kalau ia mau cari kerja, kalaupun dipecat dari partai Golkar, masih banyak partai lain yang menawari jadi anggotanya. Tapi ia tidak tergiur, karena bukan mencari jabatan atau status. “Saya kira ini Jalan Tuhan saja buat saya, di penghujung jabatan periode kedua dari jabatan sebagai DPR, ada sebuah ruang yang begitu menyakinkan buat saya, dan saya mengikuti proses yang dilakukan oleh DPR,” kata Akil.
Ada sebuah kehormatan bekerja pada sebuah lembaga yang berperan langsung dalam sebuah perbaikan demokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan HAM. Menurutnya, tiga hal itu yang menjadi inti sari dari konstitusi sebuah kehidupan demokrasi. Dimanapun konstitusi sebuah negara demokrasi di dunia, harus memuat tiga hal itu.
Jadi, lembaga ini milik seluruh rakyat RI. Kalau itu terjadi, maka konsepsi demokrasi akan semakin baik, kata Akil.
Akil siap meninggalkan jabatannya di Hakim MK, kalau dianggap melanggar sumpah jabatan dan dianggap tidak layak sebagai hakim. Sesuatu yang tidak layak, untuk apa dijalani, begitu katanya. Kalau sudah berbuat tidak patut, menurutnya jangan jadi Hakim MK. Itu baginya, dan ia tidak bisa mengukur orang lain. Mudah-mudahan tidak ada.
Dengan terpilihnya dia menjadi anggota MK, sebenarnya ada satu contoh yang diinginkan kepada generasi muda di Kalbar, bahwa dia hanya membuka jalan saja. Dia berharap, banyak dari generasi muda Kalbar bisa berprestasi dan berkiprah di tingkat nasional, dan bisa lebih baik dari dia.
Dengan terpilihnya sebagai anggota MK, memberi keharuan, bahwa dari jumlah penduduk RI sebanyak 250 juta, ia termasuk dari 9 orang yang menjadi Hakim MK. Ini dari segi motif. Tapi, ia berharap, itu juga jangan menjadi kebahagiaan simbol saja. Kalau ia tidak bisa memberikan pendidikan politik melalui jabatannya.
Apapun pengembangan yang dilakukan, bila melakukan pembinaan dan bersaing sehat, suatu usaha maju bisa dilakukan. Walaupun dari banyak proses yang ditempuh itu, banyak juga kegagalan. Dari balik itu, ia bisa belajar bahwa dibalik kegagalan, ada hikmah bisa diambil.
Akil mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Kalbar, yang mendukung secara luas terhadapnya. Berbagai macam ungkapan dibuat melalui surat dukungan, sms, telepon, secara langsung kepadanya. Namun, ditengah dukungan yang banyak itu, ada juga orang yang berupaya melakukan penghadangan, agar dia tidak terpilih sebagai anggota MK.
“Saya mengucapkan terima kasih, kepada mereka yang mendukung atau tidak mendukung. Semoga, Tuhan YME, membalas mereka dengan pahala yang melimpah,” kata Akil.
Duh, mendengar jawabannya, aku teringat perjalananku keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, datang ke berbagai pesantren dan wawancara dengan para kyiai. Dalam satu wawancara dengan seorang guru master sufi, Yayasan Barzakh, Kyai Muhammad Zuhri, dari Desa Sekarjalak, Pati, Jawa Tengah. Ia mengungkapkan, “Pahala paling tinggi dari sebuah amalan ibadah adalah, mendoakan orang yang telah berbuat jahat atau berbuat tidak baik pada kita.”
Perilaku itu, tentu butuh sikap kenegarawanan yang tinggi.
Kedepannya, Akil hanya ingin bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu yang akan membuat orang dikenang. “Selama saya bersikap dan sesuai dengan peraturan yang ada, bakal dihargai oleh orang,” kata Akil.□
Monday, March 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment