Tuesday, November 28, 2006

Pencalonan Gubernur bagi Adang preseden buruk

Kompas, Selasa, 28 November 2006

Kompas, Jakarta
Keikutsertaan Wakil Kepala Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Adang Daradjatun dalam pencalonan sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012 menjadi preseden buruk bagi kinerja kepolisian. Komisi III DPR mendesak supaya ada keputusan secara institusional untuk menonaktifkan pejabat kepolisian yang terlibat dalam kegiatan politik.

"Hak dipilih menjadi kepala daerah memang merupakan hak setiap warga negara. Tetapi, seperti pencalonan Wakil Kepala Polri untuk menjadi Gubernur DKI akan menjadi preseden buruk. Bagaimana kalau nantinya kapolda-kapolda (kepala kepolisian daerah) yang masih aktif di berbagai daerah juga berniat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah masing-masing," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Akil Mochtar, saat rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto beserta jajarannya, Senin (27/11).

Hingga petang kemarin rapat kerja yang dimulai sekitar pukul 09.00 tersebut masih berlangsung. Menurut Akil, tanggapan Kepala Polri Sutanto, yang menyatakan pencalonan pejabat Polri sebagai kepala daerah akan tetap terjaga independensi kepolisian, tidak disetujuinya. Akil mendesak agar ada keputusan secara institusional untuk menghindari konflik kepentingan.

"Institusi Polri juga harus bersikap tegas seperti institusi TNI untuk mengatur ketentuan penon-aktifan anggotanya yang terlibat dalam kegiatan politik. Peraturan ini untuk menghindari konflik kepentingan," kata Akil.

Tetap mencalonkanWakil Kepala Polri Adang Daradjatun pada saat jeda rapat kerja, siang kemarin, kepada Kompas menyatakan, saat ini dirinya tetap mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI melalui Partai Keadilan Sejahtera. "Untuk urusan pencalonan wakil gubernur sampai sekarang belum tahu. Itu menjadi masalah partai," kata Adang.

Dalam rapat kerja kemarin, Kepala Polri Sutanto mengemukakan berbagai persoalan, dimulai dari alokasi maupun realisasi anggaran di tubuh Polri. Bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti di Aceh, Poso, Ambon, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, juga dibicarakan. Pembalakan liar hutan juga menjadi pembahasan dalam rapat kerja tersebut.

Kapolri Gusar Diintervensi

Kompas

Selasa, 28 Nopember 2006

Jakarta, BPost
Perang yang dikobarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawan illegal logging, bertepuk sebelah tangan. Peradilan kasus yang merugikan negara triliunan rupiah ini lemah dan sering diintervensi oknum pejabat hingga Menhut. Kapolri Jenderal Pol Sutanto pun gusar.

Bermacam bentuk intervensi masih merongrong jajaran Kepolisian terkait program pemberantasan illegal logging. Kapolri Jenderal Sutanto pun mengultimatum, akan memecat anak buahnya yang justru tunduk terhadap intervensi pihak luar.

Toh demikian, Kapolri menegaskan, Polri tidak akan goyah untuk memberantas kasus perampokan hutan, meski intervensi itu muncul di segala lapisan.

"Polri tidak main-main (berantas illegal logging). Soal adanya intervensi dari pihak luar, kalau terbukti ada bawahan saya yang tunduk terhadap intervensi itu, maka saya akan copot Kapolda yang tidak bisa berbuat apa-apa," tandas Sutanto di depan anggota Dewan saat melakukan Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR, Senin (27/11).

Kapolri menjawab hal itu setelah menerima keluhan dari sejumlah Kapolda, yang selama ini merasakan ada intervensi kuat dari pihak-pihak yang terkait kejahatan tersebut. Siapa mereka? Jenderal yang dilantik pada 8 Juli 2005 menggantikan Jenderal Da’i Bachtiar, itu menyebut mulai oknum pengacara, cukong-cukong kayu hingga menteri kehutanan.

Sutanto menandaskan, seluruh Kapolda diminta tidak takut dan terpengaruh atas intervensi tersebut. Di sisi lain Polri sangat berharap mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan DPR dalam menuntaskan kasus penjarahan kekayaan negara secara besar-besaran tersebut.

Ia mengaku banyak terobosan dilakukan para penjahat hutan. Faktanya, kata lulusan terbaik Akabri Kepolisian tahun 1973 itu, kini jaringan mereka tengah bermanuver menggolkan undang-undang tentang pembalakan liar.

"Manuver mereka harus kita bendung. Mereka ingin mengebiri undang-undang yang sudah ada, sehingga bisa bebas dari proses hukum. Ini bukan keinginan polisi," tandasnya.

Kapolri juga sempat mengemukakan kekesalannya atas vonis ringan bagi para pelaku kejahatan hutan selama ini oleh pengadilan.

"Kalau divonis ringan, polisi capek. Para pelaku harusnya dihukum berat karena tingkat kejahatannya yang sudah merusak lingkungan hidup dan merugikan keuangan negara," beber mantan ajudan Presiden Soeharto (1995-1998) ini.

Kewenangan Rancu
Di samping kekesalannya soal kuatnya intervensi, diakui Sutanto, kendala utama dalam program pemberantasan illegal logging adalah lemahnya koordinasi antarinstansi dan luasnya wilayah yang harus diawasi.

"Ini upaya kita, tapi kita dapat kendala banyak. Kita secara intelijen tahu lah otaknya A, B, C. Tapi untuk melakukan penangkapan kan harus ada bukti-bukti," kilahnya.

Hambatan lainnya adalah kerancuan kewenangan antara pusat dengan daerah. Itu diperparah dengan persepsi yang tidak sama antara pejabat pusat dan daerah tentang teknis perizinan pengelolaan hutan dan tata niaga kayu, serta pengaturan izin hak pengusahaan hutan (HPH).

Bagi Sutanto, cara efektif untuk mencegah pembalakan liar adalah dengan memberikan hukuman yang keras terhadap pelakunya. Karena tanpa itu, hal serupa terus terjadi.

Sebagai aksi di lapangan, ia pun meminta agar proses pemberantasan illegal logging dilakukan semua pihak, termasuk aparat pengadilan. Karena itu setelah penangkapan, proses pengadilan dan penuntutan terhadap pelaku harus diperhatikan.

Dipaparkan, pada 2006 ini tercatat 1.007 kasus pembalakan liar. Namun pelaku yang ditindak baru 1.038 orang. Sedangkan barang buktinya berupa 84.027,76 meter kubik kayu, terdiri dari 1.274.762 batang dan 2.578 keping kayu olahan. Alat angkut yang disita terdiri kapal tongkang 195 unit, alat berat 63 unit, alat ringan 149 unit, dan truk 315 unit.

Sedangkan pada 2005 lalu, polisi menuntaskan 985 kasus yang melibatkan 1.229 tersangka di seluruh Indonesia. Lebih dari 85 ribu kayu gelondongan dan 27 ribu meter kubik kayu olahan disita. Ada pula penyitaan 117 unit kapal, 363 truk, 73 alat berat dan 37 set mesin pemotong kayu.

Menanggapi pernyataan pedas Kapolri, anggota Komisi III DPR-RI Akil Mochtar memberi dukungan moral agar polisi tidak segan-segan menindak para pelakunya. Dengan begitu, keseriusan Polri akan terlihat. "Menghadapi orang seperti itu harus tegas, karena mereka tidak punya rasa takut," tandas Akil.

Maklumlah, kegiatan penebangan hutan secara liar di Indonesia, diakui sebagai kejahatan berskala besar. Menurut organisasi penyelidikan lingkungan hidup yang bermarkas di London, EIA, Indonesia kehilangan lahan hutan dengan nilai lebih dari 3 miliar dolar AS atau Rp27 triliun per tahun.

Menurut catatan Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar, akibat kerusakan hutan yang hampir mencapai 50 persen saat ini, sedikitnya 30 persen spesies flora dan fauna punah. Tercatat, dari total hutan seluas 127 hektar, seluas 59,3 hektare di antaranya rusak.

Akibat lebih jauh, dampak kerusakan hutan, kondisi alam pun kini jauh berubah dan bahkan mengalami penurunan fungsi. Contoh paling nyata, perubahan musim setiap tahun pun bisa menimbulkan bencana, yaitu banjir pada musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.

Tunggu Aksi
Lantas benarkah langkah selama ini tanpa hasil? Terlepas adanya berbagai kendala di atas, tongkat komando Sutanto yang menjulur ke hutan belantara memang memberikan dampak positif terhadap program pemberantasan illegal logging, termasuk di Kalimantan.

Tak hanya para buruh, pelaku pembalakan, pejabat di daerah, maupun cukong kayu, bahkan beberapa perwira polisi terpaksa dipangkas karena ‘bermain-main kayu’. Langkah itu banyak disebut sebagai bersih-bersih secara intern.

Namun yang jelas, hingga kini masih banyak kasus yang melibatkan cukong-cukong ternama, dan penanganannya masih kabur. Pekerjaan rumah itulah, tampaknya yang menjadi beban Kapolri ke depan.

Beberapa hari lalu, Mabes Polri mengaku baru menyidik sembilan tersangka, dari 50 orang yang diduga terlibat kasus illegal logging,-- sebagaimana yang dilaporkan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban.

Sembilan nama yang dijadikan tersangka itu adalah AG (Kalsel), NTP (Kalbar), TH (Kalbar), AJ (Riau), RO (Kaltim), KC (Kaltim), KG (Papua), AJ (Kalteng) dan DS (Sumut).

"Nama-nama itu kini sudah diberkas di tingkat Polda-Polda di Sumatera dan Kalimantan. Sebenarnya, daftar nama yang ada di kita lebih banyak," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto.dtc/rmc



Saturday, October 28, 2006

KY Produk Politik Tarik Menarik Kepentingan?

Abdul Manan
TEMPO Edisi 051113-037/Hal. 96 Rubrik Hukum

Agar bergigi, Komisi Yudisial berencana mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Produk politik yang diwarnai tarik-menarik kepentingan?

KOMISI Yudisial melayangkan sepucuk surat ke Mahkamah Agung, 31 Oktober lalu. Isinya, menanyakan kelanjutan nasib rekomendasinya terhadap lima hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah Depok. “Sudah terlalu lama belum ada tindak lanjut,” kata anggota Komisi Yudisial, Iraway Joenoes.

Dalam rekomendasi tersebut, Komisi meminta kepada MA agar ketua majelis hakim sengketa pemilihan kepala daerah Depok, Nana Juwana, diberhentikan sementara. Empat hakim lainnya, Hadi Lelana, Rata Kembaren, Sopyan Royan, dan Ginalita Silitonga, diberi teguran tertulis sebab kelimanya dinilai bertindak tidak profesional saat menganulir kemenangan Nurhamudi Ismail sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah Depok.

Mahkamah Agung memang belum merespons rekomendasi itu. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beralasan, rekomendasi itu akan dibahas setelah majelis hakim peninjauan kembali memutuskan perkara sengketa pemilihannya. “Kita utamakan perkara pokoknya, baru yang lain,” kata Bagir.

Komisi Yudisial, tentu saja, tak bisa memaksa Mahkamah Agung, sebab kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberi rekomendasi; tidak lebih. Pasal 13 Undang-Undang Komisi Yudisial memang menyebut dengan tegas bahwa tugas Komisi adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Untuk melaksanakan tugas nomor dua, Komisi Yudisial hanya sebatas memberi rekomendasi. Sanksi yang bisa diberikan Komisi juga hanya satu yang bersifat mengikat, yaitu teguran tertulis. Dua sanksi lebih berat lainnya, “pemberhentian sementara” dan “pemberhentian”, itu terserah Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Komisi merasa tak bergigi.

Menurut mantan Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, memang sebatas itulah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Komisi. Mengenai soal sifat sanksi pemecatan yang tak mengikat, misalnya, menurut dia, mekanisme pemecatan hakim juga terikat pada Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Kepegawaian. “Karena itulah, kewenangan pemecatan itu tetap di tangan Mahkamah Agung,” kata dia.

Komisi Yudisial menyadari kelemahan itu dan sudah berancang-ancang untuk mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain soal obyek pemeriksaan yang diajukan untuk diamendemen, juga soal kewenangan mengeksekusi rekomendasi yang dihasilkan (lihat Kami Memulai dengan Komitmen Moral).

Mantan anggota Panitia Khusus Komisi Yudisial, Akil Mochtar, mengakui bahwa pembatasan kewenangan Komisi Yudisial ini untuk menghindari tumpang tindih dengan peran yang dimiliki Mahkamah Agung. Yang jadi soal kemudian adalah bagaimana jika ada perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut? Menurut Akil, tentu suara Komisi Yudisial yang harus dipakai. Kalau rekomendasi itu diabaikan akan memperburuk citra Mahkamah Agung di masyarakat. “Itu posisi yang harus dipikirkan juga oleh MA.” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.

Akil Mochtar mempersilakan jika Komisi mengajukan perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. “Tapi mereka jalan dulu. Jangan sama dengan DPD, belum apa-apa minta kewenangan tambahan. Kerja dulu dengan kewenangan yang ada,” ucapnya.

Jalan menuju amendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial agaknya masih panjang. Perdebatan untuk memberi otoritas kelembagaan institusi ini juga akan alot. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dian Rositawati, mengatakan, undang-undang memang memberi kewenangan terbatas kepada Komisi Yudisial. Selain itu, kata dia, ini juga harus dipahami sebagai produk politik yang tentu saja penuh dengan tarik-menarik kepentingan. “Pasti ada lobi-lobi juga di DPR dengan MA,” kata dia. Dari suasana perdebatan dalam pembahasan itu, ada kesan bahwa wewenang Komisi dibatasi agar tak terlalu jauh.

Apalagi kini muncul suara-suara yang menyatakan pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dianggap telah melampaui undang-undang, terutama dalam rekomendasi mereka atas kasus pemilihan kepala daerah Depok. Sebelas hari setelah Komisi memberi rekomendasinya, Nana Juwana dan kawan-kawan secara terbuka menilai Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya. Mereka menilai Komisi memasuki substansi perkara yang bukan wewenangnya.

Protes senada disampaikan Ikatan Hakim Indonesia. Pernyataan sikap organisasi hakim ini disampaikan ketuanya, Abdul Kadir Mappong. Dalam pernyataan sikap 7 Oktober lalu, Pengurus Pusat Ikatan Hakim menilai Komisi telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. “Kita berharap tugas Komisi Yudisial tidak akan bersinggungan dengan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Mappong.

Ikahi menghargai dan menjunjung tinggi kemandirian dan mendukung upaya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, kata Ikahi, tidak tertutup kemungkinan Komisi Yudisial dimanfaatkan pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk menempuh jalan pintas tanpa melalui upaya hukum.

Busyro Muqoddas menampik tudingan itu. Menurut dia, itu kekhawatiran yang berlebihan. “Komisi Yudisial tidak akan menggantikan tugas pengadilan,” katanya. Kalaupun Komisi melihat putusan hakim, hal itu untuk menilai ada-tidaknya kejanggalan dalam produk yang dihasilkan.
Agar bergigi, Komisi Yudisial berencana mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Produk politik yang diwarnai tarik-menarik kepentingan?

KOMISI Yudisial melayangkan sepucuk surat ke Mahkamah Agung, 31 Oktober lalu. Isinya, menanyakan kelanjutan nasib rekomendasinya terhadap lima hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah Depok. “Sudah terlalu lama belum ada tindak lanjut,” kata anggota Komisi Yudisial, Iraway Joenoes.

Dalam rekomendasi tersebut, Komisi meminta kepada MA agar ketua majelis hakim sengketa pemilihan kepala daerah Depok, Nana Juwana, diberhentikan sementara. Empat hakim lainnya, Hadi Lelana, Rata Kembaren, Sopyan Royan, dan Ginalita Silitonga, diberi teguran tertulis sebab kelimanya dinilai bertindak tidak profesional saat menganulir kemenangan Nurhamudi Ismail sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah Depok.

Mahkamah Agung memang belum merespons rekomendasi itu. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beralasan, rekomendasi itu akan dibahas setelah majelis hakim peninjauan kembali memutuskan perkara sengketa pemilihannya. “Kita utamakan perkara pokoknya, baru yang lain,” kata Bagir.

Komisi Yudisial, tentu saja, tak bisa memaksa Mahkamah Agung, sebab kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberi rekomendasi; tidak lebih. Pasal 13 Undang-Undang Komisi Yudisial memang menyebut dengan tegas bahwa tugas Komisi adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Untuk melaksanakan tugas nomor dua, Komisi Yudisial hanya sebatas memberi rekomendasi. Sanksi yang bisa diberikan Komisi juga hanya satu yang bersifat mengikat, yaitu teguran tertulis. Dua sanksi lebih berat lainnya, “pemberhentian sementara” dan “pemberhentian”, itu terserah Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Komisi merasa tak bergigi.

Menurut mantan Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, memang sebatas itulah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Komisi. Mengenai soal sifat sanksi pemecatan yang tak mengikat, misalnya, menurut dia, mekanisme pemecatan hakim juga terikat pada Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Kepegawaian. “Karena itulah, kewenangan pemecatan itu tetap di tangan Mahkamah Agung,” kata dia.

Komisi Yudisial menyadari kelemahan itu dan sudah berancang-ancang untuk mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain soal obyek pemeriksaan yang diajukan untuk diamendemen, juga soal kewenangan mengeksekusi rekomendasi yang dihasilkan (lihat Kami Memulai dengan Komitmen Moral).

Mantan anggota Panitia Khusus Komisi Yudisial, Akil Mochtar, mengakui bahwa pembatasan kewenangan Komisi Yudisial ini untuk menghindari tumpang tindih dengan peran yang dimiliki Mahkamah Agung. Yang jadi soal kemudian adalah bagaimana jika ada perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut? Menurut Akil, tentu suara Komisi Yudisial yang harus dipakai. Kalau rekomendasi itu diabaikan akan memperburuk citra Mahkamah Agung di masyarakat. “Itu posisi yang harus dipikirkan juga oleh MA.” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.

Akil Mochtar mempersilakan jika Komisi mengajukan perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. “Tapi mereka jalan dulu. Jangan sama dengan DPD, belum apa-apa minta kewenangan tambahan. Kerja dulu dengan kewenangan yang ada,” ucapnya.

Jalan menuju amendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial agaknya masih panjang. Perdebatan untuk memberi otoritas kelembagaan institusi ini juga akan alot. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dian Rositawati, mengatakan, undang-undang memang memberi kewenangan terbatas kepada Komisi Yudisial. Selain itu, kata dia, ini juga harus dipahami sebagai produk politik yang tentu saja penuh dengan tarik-menarik kepentingan. “Pasti ada lobi-lobi juga di DPR dengan MA,” kata dia. Dari suasana perdebatan dalam pembahasan itu, ada kesan bahwa wewenang Komisi dibatasi agar tak terlalu jauh.

Apalagi kini muncul suara-suara yang menyatakan pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dianggap telah melampaui undang-undang, terutama dalam rekomendasi mereka atas kasus pemilihan kepala daerah Depok. Sebelas hari setelah Komisi memberi rekomendasinya, Nana Juwana dan kawan-kawan secara terbuka menilai Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya. Mereka menilai Komisi memasuki substansi perkara yang bukan wewenangnya.

Protes senada disampaikan Ikatan Hakim Indonesia. Pernyataan sikap organisasi hakim ini disampaikan ketuanya, Abdul Kadir Mappong. Dalam pernyataan sikap 7 Oktober lalu, Pengurus Pusat Ikatan Hakim menilai Komisi telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. “Kita berharap tugas Komisi Yudisial tidak akan bersinggungan dengan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Mappong.

Ikahi menghargai dan menjunjung tinggi kemandirian dan mendukung upaya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, kata Ikahi, tidak tertutup kemungkinan Komisi Yudisial dimanfaatkan pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk menempuh jalan pintas tanpa melalui upaya hukum.

Busyro Muqoddas menampik tudingan itu. Menurut dia, itu kekhawatiran yang berlebihan. “Komisi Yudisial tidak akan menggantikan tugas pengadilan,” katanya. Kalaupun Komisi melihat putusan hakim, hal itu untuk menilai ada-tidaknya kejanggalan dalam produk yang dihasilkan.

Hal. 96 Rubrik Hukum

Tuesday, October 10, 2006

MENEGASKAN TUGAS DAN WEWENANG KPK

Mahkamah Konstitusi
Selasa , 10 Oktober 2006 15:04:00

Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelenggarakan Sidang Pleno pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat dengan agenda sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan Ahli/Saksi dari Pemohon.

Ada tiga perkara yang akan disidangkan sekaligus, yaitu: perkara 012/PUU-IV/2006 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H.,dkk; perkara 016/PUU-IV/2006 yang diajukan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf, S.H. dkk dan perkara 019/PUU-IV/2006 yang diajukan Capt. Tarcisius Walla dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H., dkk.

Pada sidang sebelumnya (19/9) hadir Abdul Wahid (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM), Qomarudin (Dir. Litigasi Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM) dan Mualimin Abdi (Kabag. Litigasi Dep. Hukum dan HAM) yang mewakili Pemerintah. Sementara dari DPR RI hadir Akil Mochtar (Anggota Komisi III DPR), Rahayu Setiawardani (Ka. Biro Hukum Setjen DPR) dan Rusmanto (Tim Biro Hukum DPR) sedangkan dari Pihak Terkait hadir Taufiequrrahman Ruki (Ketua KPK) dan Tumpak Hatorangan Panggabean (Wakil Ketua KPK).

Akil Mochtar pada kesempatan itu menyatakan, pendapat Pemohon yang berkenaan dengan Pasal 6 huruf c UU KPK yaitu tindakan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum” tidak memiliki alasan yang cukup kuat.

Menurut Akil, oleh karena prinsip-prinsip yang dijalankan oleh KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud Pasal 6 yang tidak semata-mata berada pada huruf c, tetapi termaktub juga di dalam huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, itu haruslah didasari juga kepada ketentuan Pasal 5 UU KPK, dimana KPK juga dalam mengemban tugas dan wewenangnya haruslah berasaskan kepada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. “Manakala asas ini diterapkan dalam sistem penegakan hukum, maka hal yang termaktub di dalam huruf c bukanlah sesuatu yang dilarang menurut ketentuan Konstitusi maupun ketentuan undang-undang yang lainnya,” tegasnya.

Ketua KPK menanggapi pertanyaan Kuasa Hukum pemohon, Sirra Prayuna, S.H. terkait kata pemberantasan Pasal 1 ayat (3) UU KPK yang juga meliputi pemeriksaan di pengadilan, menyatakan bahwa hal itu memang bertujuan untuk mencari keadilan. “Kita semua tidak boleh munafik di dalam rangka pencarian keadilan sering terjadi perbuatan-perbuatan korupsi,” katanya.

Lebih lanjut Ruki menjelaskan, justru perbuatan korupsi pada saat pemeriksaan di pengadilan itulah yang harus menjadi sasaran. “Praktek-praktek korupsi dalam pemeriksaan di pengadilan yang mendistorsi keadilan, itu yang harus kita pagari dan harus kita berantas,” terang Ruki dalam keterangan lisannya. (Mastiur A.P., Luthfi WE)

Monday, September 25, 2006

Politisi Jakarta Terjun di Pilkada Kalimantan Barat

25/09/2007 10:06

Liputan6.com, Pontianak: Tren politisi Jakarta turun ke daerah mengikuti perhelatan pemilihan kepala daerah terus terjadi. Anggota Fraksi Partai Golongan Karya di DPR, Akil Mochtar dipastikan berpartisipasi pada Pilkada Kalimantan Barat yang akan digelar 15 November mendatang.

Akil menggandeng A.R. Mecer sebagai calon wakil gubernur. Komisi Pemilihan Umum Kalbar menempatkan mereka di nomor urut tiga.

Ikut juga memanaskan politik lokal di Kalbar, Oesman Sapta Odang, Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) yang gagal mendulang minimum threshold sehingga tak dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum 2009. Oesman berduet dengan Ignatius Liyong diusung Partai Demokrat. Oesman-Liyong mendapatkan nomor urut dua.

Pilkada Kalbar diikuti empat pasangan calon. Selain dua pasangan di atas, Usman Ja`far dan Lorentius Herman Kadir, gubernur dan wakil gubernur yang masih menjabat kembali bersaing memperebutkan tampuk kekuasaan tertinggi di provinsi khatulistiwa tersebut. Usman-Kadir yang dicalonkan koalisi Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional mendapat nomor urut satu.

Pasangan lain adalah Cornelis-Chistiandi Sanjaya yang berada di nomor urut empat, didapuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. KPU Kalbar menetapkan tanggal 29 Oktober mendatang sebagai awal masa kampanye. (SAM/Amien Alkadrie)

Thursday, September 7, 2006

DPR, Biar Superhero Tak Lupa Kulit

Majalah Gatra
9-13 September 2006


Memasuki masa sidang September ini, ada tradisi baru yang harus dilakukan anggota DPR-RI. Kegiatan yang lumayan bikin pusing itu adalah membuat laporan yang di luar kebiasaan. Para anggota dewan wajib mempertanggungjawabkan dana penyerapan aspirasi yang sudah mereka pakai pada masa reses, 22 Juli sampai 16 Agustus silam.

Jumlah yang harus mereka pertanggungjawabkan Rp 40,5 juta per orang. Terdiri dari biaya pertemuan Rp 31,5 juta (selama reses, anggota melakukan tujuh kali pertemuan dengan anggaran Rp 4,5 juta tiap pertemuan), ditambah Rp 9 juta biaya kunjungan (masing-masing melakukan 10 hari kunjungan dengan biaya Rp 900.000).

Sebelumnya, setiap anggota mendapat jatah Rp 11 juta tiap kali reses. Nominal ini dikeluhkan tak mencukupi biaya yang dikeluarkan untuk menengok konstituen. Lantas muncullah istilah dana penyerapan aspirasi.

Sekretariat Jenderal DPR mencatat, jumlah anggota dewan yang mengambil dana ini lebih dari 400 orang. Yang membuat para wakil rakyat itu ketar-ketir, belum jelasnya model pertanggungjawaban fulus tersebut. Saat menyerahkan duit itu, Sekretariat Jenderal DPR meminta anggota DPR menandatangani surat pernyataan akan menggunakan uang itu benar-benar untuk kepentingan rakyat. "Surat ini agar sekaligus menjadi beban moral," kata Sekretaris Jenderal DPR, Faisal Djamal.

Khawatir akan ada masalah, sejumlah anggota dewan hati-hati menyikapi masalah itu. Salah satunya adalah Arifin Junaidi. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tidak mau diperkarakan Badan Kehormatan DPR gara-gara tak bisa mempertanggungjawabkan dana reses yang telanjur digunakan. "Saya kembalikan saja uang itu jika nantinya tidak ada kejelasan model pertanggungjawabannya," katanya.

Arifin mengaku kesulitan kalau harus mempertanggungjawabkan dana itu seperti uang-uang APBN. Misalnya harus ada kuitansi rangkap enam. Soalnya, di masa reses, biasanya dia bertemu tokoh-tokoh partai di daerah dan para kiai. Dia kerap memberikan sejumlah uang buat mereka. "Nah, untuk ini kan nggak pernah kami minta kuitansi kepada mereka. Bisa jadi perkara ini nanti," ujarnya.

Kepada Gatra, Faisal mengatakan, bentuk pertanggungjawaban itu tak serumit yang dikhawatirkan Arifin. Dia mengatakan, tidak perlu menyertakan kuitansi segala, cukup proses kegiatannya saja. Agar tidak simpang siur, format laporan pun sedang digodok Sekretariat DPR dengan BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR.

Muara pembuatan laporan itu sebenarnya untuk mengetahui penggunaan dana penyerapan aspirasi ini. Banyak pihak mensinyalir, duit itu terserap ke kantong para wakil rakyat. Soalnya, aktivitas mereka di kala reses memang banyak yang tak ketahuan juntrungannya.

Koordinator Pemantau Legislatif Makassar, Sulawesi Selatan, Syamsuddin Alimsyah menilai, dari 25 anggota DPR di wilayah ini, 75% di antaranya jarang sekali berkunjung ke daerah. Kalau toh ada yang datang, kegiatan mereka tak jelas apa dan untuk siapa.

Selama ini, kontrol terhadap anggota DPR masih lemah. Sulit diketahui, benarkah mereka menyapa konstituen dan menyerap aspirasi di daerah atau sekadar konsolidasi partai. "Jangan-jangan sekadar hiburan kalau ke daerah. Kedatangan mereka reses ke daerah harus jelas dan perlu pertanggungjawaban," katanya kepada Gatra.

Apalagi, kedatangan mereka kesannya tak terjadwal. Bisa saja mereka mengaku sudah mendatangi konsituen dan bertemu, tetapi kenyataannya hanya duduk-duduk mengobrol di warung kopi atau bertemu dengan kader partai masing-masing, dengan alasan menggelar reses. Sah-sah saja alasan mereka bertemu konsituen, tetapi apakah itu benar-benar berjalan maksimal. "Ini perlu dipertegas dan dijelaskan secara transparan," ujarnya.

Pemantauan Syamsuddin itu bersambut dengan pengalaman Sarifuddin Suddin. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bintang Reformasi (PBR) ini jengah melihat polah Diah Defawatie Ande. Soalnya, wakil rakyat yang diantarkannya ke Senayan itu jarang sekali berkomunikasi dengannya. Apalagi berkunjung hingga tingkat pengurus cabang. "Hingga jabatan saya yang kedua, tidak pernah terjadi komunikasi yang baik antara pengurus dengan dia," tuturnya.

Dikonfirmasi mengenai hal itu, Diah enggan menjawab. Masalah ini rupanya masih terkait perseteruan politik yang sebelumnya terjadi di PBR. Dia mengatakan, mustahil dirinya tak bertandang ke konstituen. "Saya punya kepentingan membina daerah untuk pemilu mendatang," katanya.

Wakil Bendahara DPP PBR itu lalu mencontohkan salah satu kegiatan mengisi masa reses kala berkunjung ke Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Dari dulu, daerah ini dikenal sebagai lumbung padi. Tapi kini, wabah busung lapar juga melanda Sidrap. "Saya mencoba mencaritahu penyebab dan solusinya," ujarnya.

Kunjungan ke daerah itu tak segampang mendatangi daerah-daerah di Pulau Jawa. Diah mencontohkan daerah pemilihan Sulawesi Selatan II yang terdiri dari 18 kabupaten, yang telah membawanya ke Senayan. Masing-masing kabupaten jaraknya sangat jauh. Energi yang dikeluarkan tak hanya untuk mengumpulkan massa dan menyerap aspirasi. Masalah transportasi juga menjadi kendala. "Kami bukan superhero," ucap Diah.

Kondisi yang dialami Diah itu juga dirasakan anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, Ali Mochtar Ngabalin. Tak mengherankan, Ali menilai tudingan Syamsuddin itu kurang beralasan. Kalau hanya mengikuti jadwal reses dari DPR, menurut Ali, tidak mungkin mendatangi semua kabupaten itu dalam satu tahun. "Selain waktu reses, saya ke daerah pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu," katanya.

Minimnya anggota DPR yang turun ke daerah ini tak hanya terjadi di Makassar. Pemantauan wartawan Gatra di beberapa daerah menunjukkan hasil yang tak terlalu berbeda. Di Kalimantan Barat, anggota DPR yang turun ke daerah kebanyakan diisi figur yang sudah dikenal publik. Misalnya Akil Muchtar dari Partai Golkar dan Ishaq Saleh dari Partai Amanat Nasional.

Berbagai kegiatan dilakukan dua wakil rakyat itu di daerah asal pemilihannya. "Saya tak keberatan membuat laporan. Soalnya, aktivitas yang saya lakukan faktual dan tak bisa dibantah," kata Akil kepada Muhlis Suhaeri dari Gatra.

Meski begitu, Ali tetap menolak membuat laporan penggunaan dana penyerapan aspirasi. Ini bukan berarti dia takut ketahuan borok kalau-kalau menyelewengkan dana tersebut. Dia menilai laporan itu mengerdilkan status anggota DPR sekaligus menjatuhkan kredibilitasnya. Kalau sekadar membuat laporan dan resmi, dia yakin semua anggota DPR bisa melakukannya. "Apa sih yang tidak bisa disulap di negeri ini?" ujarnya.

Keberatan serupa tersirat dalam pernyataan anggota DPR Partai Golkar dari Sulawesi Tengah, Muhidin M. Said. Yang namanya biaya politik itu selalu saja kurang dan tidak pernah lebih. "Jika pemanfaatan dana reses ini harus terukur, lantas kalau ada kekurangan, siapa yang harus bertanggung jawab? Ini juga harus dijawab," katanya kepada Aslan Laeho dari Gatra.

Toh, Faisal menyatakan, laporan itu tetap harus dibuat. Untuk itu, dia meminta agar laporan itu bisa segera diserahkan.

Menurut Diah, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua BURT, Kamis pekan lalu pihaknya sudah mengadakan pertemuan dengan sekjen. Waktu itu, belum ada kesepakatan ihwal format laporan yang dipakai.

Walhasil, laporan yang masuk bentuknya beragam. Mulai sekadar menjelaskan jenis kegiatan dan alokasi biaya hingga laporan reses yang detail, lengkap dengan kuitansi dan tanda tangan konstituen. "Format ini harus segera distandarkan. Sebelum reses yang bertepatan dengan Ramadan, laporan itu harus sudah ada," katanya.

Memang ujung pertanggungjawaban itu adalah pemeriksaan yang dilakukan BPK. Kesiapan BPK memeriksa dana reses ini didukung banyak anggota DPR. Antara lain Zunatul Mafruchah, anggota Fraksi PKB yang berasal dari daerah pemilihan Yogyakarta. "Dengan diperiksa BPK, akan terlihat mana orang yang punya sense of crisis dan pintar mengalokasikan dana untuk masyarakat serta mana orang yang memang benar-benar pintar dalam menyelewengkannya," kata Zunatul.

Sekretaris DPD Partai Demokrat, Jalaludin, mengamini. Kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra, Jalaludin mengatakan bahwa reses merupakan wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat. Di forum ini, terjadi pertemuan antara anggota dewan dan konstituen. "Biar kacang tidak lupa sama kulitnya," katanya.

Arief Ardiansyah, Sawariyanto (Yogyakarta), dan Anthony (Makassar)
[Nasional, Gatra Edisi 43 Beredar Kamis, 7 September 2006]

Monday, September 4, 2006

Sinar Harapan

Senin, 04 September 2006

Anggota DPR dari Partai Golkar M Akil Mochtar mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat melakukan gugatan secara internasional terkait penerbitan kartun di harian The Australian edisi Sabtu (1/4) yang dianggap menghina. "Presiden dapat mengajukan gugatan itu melalui Pengadilan Federal Australia," kata Akil Mochtar saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/4).

Pada kartun tersebut, Presiden Susilo digambarkan memakai kopiah hitam dan mempunyai ekor sambil berkata, "Don't take this the wrong way ...", sementara di bawahnya ada gambar seseorang berkulit hitam yang dinyatakan pembuatnya, Bill Leak itu, sebagai warga Papua.

Menurut Akil, dari perspektif hubungan antar negara, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi karena menyangkut kepala pemerintahan. "Dari segi hukum, bisa saja Presiden menuntut agar itu tidak terjadi. Kebebasan pers menunjukan bagaimana sikap negara tersebut dengan Indonesia," katanya.

Akil juga menyarankan agar pemerintah kembali mempertimbangkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia. "Masih efektif atau tidak, kalau lebih banyak merugikan, kenapa tidak diputus saja," katanya.

Sunday, September 3, 2006

Akil Mochtar Bantah Telah Hina Golkar

Gatra.com

Pontianak, 3 September 2006
Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR, Akil Mochtar, saat pertemuan kader dengan Ketua Umum DPP, Jusuf Kalla, di Auditorium Politeknik Negeri Pontianak, Sabtu (2/9), membantah pernyataan yang menyatakan bahwa dirinya pernah menghina Partai Golkar melalui media massa daerah yang ada di Kalimantan Barat.

"Mana mungkin saya bisa mengeluarkan kata-kata yang mengandung penghinaan kepada partai yang selama ini telah membesarkan saya dan telah mengajarkan banyak hal tentang politik kepada saya," kata Akil Mochtar dengan suara lantang dalam pertemuan yang disaksikan ratusan kader dan simpatisan partai berlambang beringin itu.

Ia mengatakan, hanya pernah membuat pernyataan, melalui media massa di Jakarta, yaitu koran Indo Pos dan Rakyat Merdeka, saat dicopot dari jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, karena dinilai memiliki kinerja yang buruk, tidak bisa bekerjasama dan tidak pernah berkomunikasi, karena itu memang karakternya.

"Saya tidak pernah mengatakan, partai Golkar berenang dengan gaya katak, saya hanya mengatakan, tetapi yang paling parah dari saya, bahwa saya tidak mampu berenang dengan gaya katak," kata Akil Mochtar yang disambut tepuk tangan para pendukungnya.

Ia menambahkan, dirinya bukan seorang pecundang seperti yang dituduhkan oleh lawan politiknya saat ini, tetapi dirinya adalah seorang pejuang.

Menurutnya, selama berkarir di Golkar, tidak pernah mendapat teguran dari partai, tetapi ketika jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI dicopot karena habis masa jabatannya dan keikutsertaan dalam bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kalimantan Barat tahun 2007, maka lawan politiknya telah menggunakan kesempatan tersebut untuk menjadi modal untuk menjatuhkannya.

Akil Mochtar juga membantah telah berkhianat dengan Golkar, malah ia menantang kalau memang ia terbukti bersalah maka silakan saja dipecat dan dikeluarkan dari partai tersebut.Sebelumnya, berita tentang pernyataan Akil Mochtar pernah mengatakan, bahwa Golkar adalah partai yang mengibaratkan "katak yang sedang berenang" yang diberitakan dalam media massa cetak di Kalbar.

Menanggapi pernyataan anggota DPR RI tersebut, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla mengatakan, persoalan Akil Mochtar dicopot dari jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, bukan karena tidak becus dalam memimpin, tetapi karena jabatan wakil ketua yang itu memang sudah habis masanya yang hanya dua tahun.

"Jadi bukan karena Bang Akil (Akil Mochtar --Red), mis-komunikasi dengan partai ataupun hal lainnya yang dapat menurunkan kinerjanya, tetapi murni habis masa jabatan," kata Jusuf Kalla. [EL, Ant]

Wednesday, July 5, 2006

Menantu Koesmayadi Diamankan

Rabu, 05 Juli 2006
Batam Pos

Jakarta (BP)-
Senjata Berkembang Menjadi 180 Pucuk JAKARTA (BP)– Kasus senjata api milik alm Brigjen Koesmayadi, wakil asisten logistik (Waaslog) kepala staf TNI Angkatan Darat, semakin berkembang. Jumlahnya membengkak menjadi 180 pucuk. Sebagian ternyata dititipkan di Kopassus, dan sebagian ditemukan di rumah Raflesia Hill Cibubur.

Saat ini, sudah 31 orang dimintai keterangan. Mereka berpangkat prajurit dua (prada) hingga kolonel. Salah satunya adalah menantu Koesmayadi, Kapten CPM Ahmad Irianto. Kini dia diamankan di Paspampres.

Pusat Polisi Militer AD (Puspom AD) juga akan memintai keterangan sejumlah jenderal, termasuk yang sudah pensiun. “Sekarang ini masih diperiksa asal usul senjatanya dan siapa saja yang terlibat,” ujar Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto kepada wartawan di Kantor Menkopolhukam kemarin.

Bagaimana dengan Ryamizard Ryacudu yang dikenal dekat dengan Koesmayadi? Panglima mengangguk. “Bila diperlukan, baik jenderal, marsekal, maupun laksamana memang perlu dimintai keterangan. Bahkan yang sudah pensiun, apa salahnya? Saya kira tidak ada masalah demi mengungkap kebenaran,” tegasnya.

Kasus senjata tersebut mencuat setelah Koesmayadi meninggal. Awalnya hanya diketahui Koesmayadi membawa senjata dinas. Karena dia meninggal, maka senjata tersebut harus dikembalikan ke kesatuan. Ternyata di rumahnya, di Puri Marina, ditemukan 145 pucuk, terdiri atas 96 pucuk senjata laras panjang, tujuh senjata laras panjang tanpa alur, 42 senjata laras pendek, dan 985 butir amunisi.

Jenis senjata meliputi senapan serbu (SS)-1, MP5, M16, dan AK, yang merupakan senjata baku yang selama ini digunakan satuan-satuan TNI Angkatan Darat. Selain itu, ditemukan pula sembilan granat tangan dan 28 teropong. Brigjen Koesmayadi meninggal Minggu (25/6) di kediamannya di kompleks Raflesia, Cibubur, Jakarta Timur, akibat serangan jantung.

Jenazah dimakamkan di Taman Makam Bahagia (TMB) ABRI Pondok Aren, Ciledung, Tangerang, Senin (26/6). Hari itu juga dilakukan penarikan inventaris senjata yang disimpan di rumah almarhum di Jalan Pangadaran Puri Marina, Ancol, Jakarta Utara.

Saat itulah, ditemukan 145 senjata. Setelah diselidiki lebih lanjut, ditemukan lagi tiga pucuk di Raflesia Hill Cibubur, dan 32 pucuk dititipkan di Kopassus. “Almarhum memang pernah menitipkan senjata ke markas Kopassus. Karena ini terkait, maka dikembalikan,” kata Djoko. Panglima mengaku tidak hafal jenisnya. Namun, yang mengembalikan adalah Asisten Intelijen Kodam Siliwangi Kolonel Tedi Laksmana. Sebelumnya, dia pernah bertugas di Kopassus.

Apakah senjata itu merupakan inventaris TNI? Panglima menolak menjelaskan lebih jauh. “Proses pemeriksaan itu kan panjang. Satu orang tidak bisa diperiksa dalam satu jam,” katanya.
KSAD Djoko Santoso yang mendampingi panglima menambahkan, Kapten CPM Ahmad Irianto, menantu Koesmayadi, sekarang masih diperiksa. Namun, statusnya belum ditentukan. “Benar, dia dijaga,” ujar KSAD. Menurut alumnus Akabri 1975 itu, Irianto diamankan di Paspampres.

Tujuannya agar dia tidak dipengaruhi dan diintervensi pihak-pihak lain. Namun, KSAD tidak bersedia menjelaskan pihak lain itu.Sumber JPNN di lingkungan Paspampres mengatakan, Irianto pernah menyinggung kedekatan mertuanya dengan jaringan militer di Timor Leste. “Dia pernah ngomong mau diajak ke Dili, tapi karena tugas rutin tidak bisa ikut,” kata sumber itu.

Koesmayadi memang tidak asing dengan Timor Leste. Menurut Akil Mochtar, anggota Komisi III DPR, tahun 1978, Koesmayadi-lah yang menembak mati Presiden Fretilin Nicolao Lobato. Saat itu, Koesmayadi merupakan anak buah Yunus Yosfiah.

Sejak berpangkat letnan dua (letda) hingga mayor, dia bertugas di Timtim (sebelum berpisah dengan Indonesia dan menjadi Timor Leste). Hampir 12 tahun dia bertugas di medan pertempuran.

Informasi yang dihimpun JPNN, banyak senjata dari Indonesia yang masuk ke Timor Leste melalui dua jalur. Selain jalur formal pada kurun 2004–2005, juga melalui jaringan informal. Bahkan, dua hari lalu, Kejaksaan Timor Leste menuduh Alkatiri terlibat penyelundupan 400 senjata, termasuk buatan PT Pindad Indonesia. Namun, belum diketahui apakah senjata milik Koesmayadi tersebut akan diselundupkan juga ke Timor Leste.

Panglima TNI berjanji akan mengusut senjata itu dengan serius. Sore kemarin dia didampingi KSAD menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melaporkan perkembangan kasus tersebut. “Percayalah, saya dan KSAD serius melakukan investigasi seperti yang diperintahkan presiden,” kata Djoko Suyanto seusai menghadap.

Sampai kemarin, misteri asal-usul ratusan senjata itu belum terungkap. Dalam rapat kerja tertutup dengan Komisi I DPR kemarin, Kepala BIN Mayjen (pur) Syamsir Siregar belum mengungkap secara gamblang.

Namun, menurut salah satu anggota Komisi I DPR yang ikut dalam rapat tertutup itu, informasi baru yang disampaikan Syamsir, senjata-senjata tersebut didatangkan via Singapura, kemudian diteruskan ke Aceh.

Senjata itu didatangkan dengan jasa rekanan. Namun, Syamsir tidak mau menyebutkan. Dia hanya menjelaskan, senjata-senjata tersebut didatangkan atas pesanan TNI, tetapi tidak sampai gudang. Pihaknya kini masih menyelidiki dari mana dana untuk membelinya, apakah dari dana bujeter atau nonbujeter.

Apakah berarti hanya kesalahan administrasi? Syamsir tiba-tiba berdiri tegak, kemudian ngeloyor pergi. Dia pun tidak mau menjawab pertanyaan wartawan lagi.

Akil Mochtar kecewa, lantaran Syamsir tak banyak mengungkap kasus itu. ’’Untuk apa minta rapat kerja tertutup kalau dia (Syamsir, red) lebih sering menjawab tidak tahu. Bahkan, dia pun enggan menyebutkan nama rekanannya,’’ kata anggota dewan dari Partai Golkar itu.

’’Kesan yang saya tangkap, BIN sama sekali belum menguasai permasalahan yang ada. Banyak pertanyaan, terutama terkait dengan siapa rekanan, selalu dijawab tidak tahu. Seharusnya BIN mempunyai informasi akurat mengenai hal tersebut,’’ tambah kolega Akil, Yudi Krisnandi.

Sementara itu, Djoko Susilo, anggota dewan dari PAN, tegas-tegas menyatakan senjata itu ilegal. ’’Sudah dicek ke Atase Pertahanan KBRI Singapura. Mereka tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Senjata itu juga tidak teregister,’’ katanya.

Pihaknya bakal memanggil Ryamizard Ryacudu. Sebab, menurut keterangan Syamsir, yang paling mengetahui distribusi senjata adalah KSAD sekarang dan yang terdahulu, yakni Djoko Santoso dan Ryamizard Ryacudu.Beberapa anggota komisi I kemudian mengusulkan adanya panja untuk mengungkap kasus yang dianggap sebagai gunung es itu.

’’Kenapa setiap ada konflik bersenjata, kedua pihak yang bertikai sama-sama membawa senjata. Tidak masuk akal kan kalau pihak-pihak yang berseteru telah menumpuk senjata jauh hari sebelumnya,’’ kata A.M. Fatwa. (rdl/ano/noe/jpnn)

Tuesday, July 4, 2006

DPR MINTA KOMISI YUDISIAL EVALUASI KINERJANYA

04-Juli-2006 11:59:44

Jakarta, 3/7/2006 (Komisi Yudisial) – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, minta agar Komisi Yudisial mengevaluasi secara menyeluruh kinerja jajarannya, khususnya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya.

Permintaan itu merupakan salah satu kesimpulan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Mochtar dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan jajaran Komisi Yudisial yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin,(3/7).

Selain itu, Komisi III DPR juga minta agar Komisi Yudisial dalam rangka menyusun rancangan peraturan tentang pedoman etika dan perilaku hakim hendaknya melakukan sosialisasi dan koordinasi secara maksimal dengan pihak terkait, sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Disamping itu, Komisi III DPR juga minta agar Komisi Yudisial menerbitkan laporan yang berisi penggunaan anggaran, data yang terkait dengan fungsi pengawasan dan data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung, sebagai pertanggung jawaban kepada publik melalui DPR,” kata Akil.

Rapat dengar pendapat yang dihadiri oleh sekitar 50 anggota Komisi III DPR, dipimpin Wakil Ketua M. Akil Mochtar, mendengarkan penjelasan dari Ketua Komisi Yudisial M. Busyro Muqoddas, dan para Koordinator bidang di lingkungan Komisi Yudisial. (Tatang S)

Wednesday, May 3, 2006

Pimpin MA hingga Oktober 2008


Rabu, 03/05/2006

Hakim Agung Tetap Percayai Bagir

Jakarta, Kompas - Di tengah berbagai persoalan yang menerpa Mahkamah Agung maupun dirinya sendiri, Bagir Manan mendapat legitimasi baru dan tetap dipercaya meneruskan jabatannya sebagai Ketua MA. Dalam rapat pleno, Selasa (2/5), sebanyak 44 dari 48 hakim agung tetap memilih Bagir sebagai Ketua MA

Bagir adalah Ketua MA pertama yang dipilih DPR untuk masa jabatan 2001-2006 dan dipilih kembali oleh hakim agung untuk jabatan yang kedua, 2006-2011. Namun, untuk periode kedua, Bagir dipastikan tidak akan menyelesaikan masa jabatan lima tahun karena 6 Oktober 2008 ia akan pensiun pada usia 67 tahun. Pemilihan Ketua MA oleh hakim agung ini dilakukan pertama kalinya setelah Perubahan UUD 1945.

Direktur Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana di Jakarta, Selasa, menilai pemilihan Ketua MA itu mirip dengan drama sinetron untuk mengukuhkan kembali terpilihnya Bagir. "Kemenangan Bagir terlalu mudah ditebak," ujarnya.

Juru bicara MA, Djoko Sarwoko, membantah sinyalemen Denny. Ia mengatakan, para hakim agung telah memilih dengan pikiran jernih, apalagi hakim agung memiliki waktu untuk berpikir selama dua minggu.

Bagir menang mutlak (44 suara), disusul Ketua Muda Bidang Pengawasan MA Gunanto Suryono (2 suara), dan Paulus Effendie Lotulung (1 suara). Satu surat suara lainnya tidak sah.

Sebelum dipilih kembali sebagai Ketua MA, tahun 2005 Mahkamah Agung lebih dahulu memperpanjang usia pensiun Bagir dari 65 tahun menjadi 67 tahun. Setelah itu, MA memperpanjang usia pensiun sepuluh hakim agung dari usia 65 tahun menjadi 67 tahun. Perpanjangan usia pensiun hakim agung dibenarkan UU Nomor 5 Tahun 2004 dengan syarat hakim agung itu mempunyai prestasi kerja luar biasa.

Saat pemilihan Ketua MA, tiga hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi ikut hadir. Mereka adalah Krisna Harahap, MS Lumme, dan Hamrat Hamid. Namun, mereka hanya duduk di kursi pengunjung, tidak ikut memilih.

Posisi hakim ad hoc diatur dalam Pasal 7 Ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2004 yang menyebutkan, "Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang".

Pada bagian penjelasan disebutkan, "Hakim agung ad hoc antara lain hakim ad hoc hak asasi manusia berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 dan hakim agung ad hoc dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002".

Adapun dalam Pasal 5 Ayat 2 UU No 14/1985 disebutkan, "Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung."
Lanjutkan cetak biru

Seusai pemilihan, Bagir mengatakan dirinya memang hanya akan menjabat hingga Oktober 2008. Dalam waktu yang hanya sekitar dua tahun lima bulan itu, Bagir berjanji akan bekerja keras sesuai dengan amanat cetak biru MA. Ia juga akan menyiapkan cetak biru yang baru karena jangka cetak biru yang ada saat ini hanya lima tahun sehingga Ketua MA yang akan datang sudah memiliki cetak biru MA yang baru.

Terpilihnya kembali Bagir Manan mengundang pesimisme beberapa kalangan terhadap upaya pemberantasan mafia peradilan. Bagir dinilai gagal membersihkan lembaga peradilan tertinggi itu dari mafia peradilan selama lima tahun kepemimpinannya yang lalu.

"Saya yakin kepemimpinan Bagir ke depan tidak akan terlalu jauh berbeda. Sulit membalik kebiasaan kerja seseorang, padahal memberantas mafia peradilan dibutuhkan kerja yang progresif," ujar Denny Indrayana.

Koordinator Badan Pekerja Kontras Usman Hamid dalam siaran persnya meminta agar Bagir mengubah sikap dan wataknya dalam memimpin MA. Jika itu tidak dilakukan, terpilihnya Bagir tidak akan membawa perbaikan apa pun bagi MA. MA akan terus disoroti sebagai lembaga yang sarat dengan praktik KKN.

Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) berpendapat, menjadi tanggung jawab Bagir mengakhiri praktik mafia peradilan. Praktik seperti itulah yang membuat keadilan dinilai masih mahal, tergantung uang dan kekuasaan.

"Kami mengharap Pak Bagir bisa segera membuat struktur organisasi dan pembenahan internal kalangan pengadilan. Mampu melakukan fungsi pengawasan dalam rangka menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap hakim yang bermasalah atau terhadap putusan yang dianggap bermasalah," ucapnya.

Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar (Fraksi Partai Golkar, Kalimantan Barat) berharap Bagir bisa meningkatkan kemampuan lembaga yang dipimpinnya semakin mandiri, bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan.

Anggota Komisi III DPR Al Muzzamil (Fraksi PKS, Lampung I) menambahkan, Bagir harus proaktif mengundang secara terbuka masukan publik dan media massa untuk memberantas mafia peradilan. Mafia peradilan, kata Al Muzzamil menambahkan, tidak cukup diselesaikan lewat pengetahuan hukum dan kejujuran pribadi, tetapi lewat manajemen internal, ketegasan, transparansi, dan sikap yang responsif terhadap masukan publik.

Anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I) menilai terpilihnya kembali Bagir dapat dibaca sebagai fenomena krisis kepemimpinan di MA. Bagir merupakan salah satu hakim agung terbaik di antara hakim-hakim yang ada.

Para anggota Komisi III DPR itu mengimbau Bagir agar mengakhiri perseteruan antara MA dan Komisi Yudisial. Mereka mendesak Bagir agar menjadikan Komisi Yudisial sebagai mitra kerjanya, terutama dalam rangka mendorong proses transparansi serta meningkatkan sikap responsif kalangan hakim.

Meski demikian Akil dan Trimedya mengakui, kepemimpinan Bagir perlu ditunjang peningkatan kesejahteraan para hakim selain peningkatan pengawasan terhadap mereka.
Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyambut positif pemilihan langsung Ketua MA yang pertama kali dilakukan para hakim agung.
Telah teruji

Kendati mendapat kritik dari luar, kalangan hakim agung memuji kepemimpinan Bagir. Juru bicara MA, Djoko Sarwoko, menyatakan Bagir terpilih lagi sebagai Ketua MA karena Bagir telah teruji dan berpengalaman. Ia merasakan banyak perubahan signifikan menuju ke arah perbaikan. Selain itu, para hakim agung berpendapat, agar terdapat kesinambungan konsep dalam pelaksanaan pembaruan MA dan peradilan satu atap, jabatan hakim agung lebih baik dipegang oleh ketua sebelumnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Muda Pidana Khusus MA Iskandar Kamil. Ia menilai terdapat beberapa hal positif yang dimiliki Bagir, misalnya dalam teknis perkara maupun manajerial kepemimpinan. Yang jelas, kata dia, Bagir masih dipercaya oleh mayoritas (91,6 persen) hakim agung. (ANA/VIN/WIN/BDM)



Saturday, April 1, 2006

Presiden Susilo Bisa Gugat The Australian

Kompas

Jakarta, Sabtu
Anggota DPR dari Partai Golkar M Akil Mochtar mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat melakukan gugatan secara internasional terkait penerbitan kartun di harian The Australian edisi Sabtu (1/4) yang dianggap menghina. "Presiden dapat mengajukan gugatan itu melalui Pengadilan Federal Australia," kata Akil Mochtar saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/4).

Pada kartun tersebut, Presiden Susilo digambarkan memakai kopiah hitam dan mempunyai ekor sambil berkata, "Don't take this the wrong way ...", sementara di bawahnya ada gambar seseorang berkulit hitam yang dinyatakan pembuatnya, Bill Leak itu, sebagai warga Papua.

Menurut Akil, dari perspektif hubungan antar negara, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi karena menyangkut kepala pemerintahan. "Dari segi hukum, bisa saja Presiden menuntut agar itu tidak terjadi. Kebebasan pers menunjukan bagaimana sikap negara tersebut dengan Indonesia," katanya.

Akil juga menyarankan agar pemerintah kembali mempertimbangkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia. "Masih efektif atau tidak, kalau lebih banyak merugikan, kenapa tidak diputus saja," katanya.

Saturday, March 18, 2006

Janji Kembalikan Uang, Tersangka Koruptor BLBI Minta Jangan Diadili

Oleh Viva
Sabtu, 18 Maret-2006
Icki.org

Rapat Kerja Komisi III DPR-RI dengan Kejaksaan diwarnai dengan perdebatan sengit berkaitan dengan kasus penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Agus Anwar (1/9). Perdebatan yang berlangsung kurang lebih selama satu jam tersebut melibatkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji dengan beberapa anggota Komisi III.

Dalam laporannya, Hendarman mengungkapkan pengacara Agus Anwar yang bernama Patricia Sri Ambarwati telah mengirim surat kepada Jaksa Agung dan dirinya. Surat tersebut berisi rencana kliennya yang akan mengembalikan keseluruhan uang yang dianggap sebagai kerugian negara.

“Namun, ada perbedaan perhitungan mengenai besarnya kerugian negara, dimana menurut Kejaksaan sebesar Rp492 miliar sedangkan dia menghitung sebesar Rp590 miliar,” tambah Hendarman yang juga memimpin Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Agus Anwar menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp492 miliar. Selain terkait masalah BLBI, mantan Dirut Bank Pelita ini juga diduga terlibat penyelewengan dana PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Saat ini, tersangka berada di Singapura dan kabarnya telah menjadi warga negara Singapura.

Lebih lanjut, Hendarman menginformasikan bahwa dalam suratnya Patricia juga mengisyaratkan bahwa kliennya akan mengembalikan uang tersebut apabila ada jaminan bahwa ia tidak akan dibawa ke pengadilan. “Dia juga meminta agar kasusnya jangan diajukan dahulu karena kliennya sedang mengusahakan penyelesaian keuangan tersebut dengan pemerintah,” tambahnya.


Tap MPR

Atas permintaan tersebut, Hendarman mengungkapkan tim kejaksaan telah melakukan kajian awal. Dalam kajian tersebut, lanjutnya, didapati adanya sebuah Ketetapan MPR, yakni Tap MPR No. X/MPR/2001 tentang Penugasan kepada Presiden mengenai Pengelolaan dan Penyelesaian Aset-Aset yang dikelola oleh BPPN. “Tap MPR tersebut menguntungkan seorang terdakwa kalau ia mau mengembalikan kerugian negara yang dituduhkan,” tandasnya.

Untuk itu, Hendarman berencana untuk meminta rekomendasi dari pemerintah mengenai polemik ini. Kendatipun demikian, ia menyadari idealnya kasus tersebut harus tetap diproses secara hukum. Sebab, Pasal 4 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh UU No. 20/2001 ditetapkan bahwa pengembalian uang negara tidak menghapuskan suatu tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan masalah ini, anggota Komisi III Lukman Hakim mengatakan bahwa polemik ini harus dikembalikan kepada Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR Tahun 1960-2002. Tap MPR tersebut, lanjutnya, telah mengkaji ulang seluruh Tap MPR sejak zaman MPRS hingga 2002. “Seingat saya sudah ditinjau oleh Tap MPR No. I/MPR/2003,” tegas anggota Komisi III dari Fraksi Persatuan Pembangunan itu.

Senada dengan Lukman, Ketua Komisi III DPR-RI Akil Mochtar juga menegaskan bahwa Tap MPR No. X/MPR/2001 yang disebutkan oleh Hendarman sudah tidak berlaku lagi. “Sebagai salah satu anggota Panitia Ad Hoc II, Saya yakin Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak adanya Tap MPR No. I/MPR/2003,” jelasnya.

Akil menambahkan, sejak berlakunya UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Tap MPR tidak lagi dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan. “Jadi, sejak pemerintahan hasil pemilu 2004, tidak ada lagi Tap MPR-Tap MPR,” menurut Akil.

Atas tanggapan sejumlah anggota Komisi III tersebut, Hendarman berjanji akan melakukan kajian lebih mendalam. Dia menegaskan kembali rencananya untuk menyelenggarakan pengadilan in absentia terhadap kasus ini.

Friday, March 3, 2006

Bentuk Tim Independen Usut Tuntas Kasus Narkoba

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tanggal 3/3/2006

JAKARTA - Kejaksaan Agung sebaiknya membentuk tim independen untuk mengungkap sampai tuntas kasus tuntutan tiga tahun penjara terhadap Hariono Agus Cahyono, terdakwa dalam kasus kepemilikan 20 kg sabu-sabu di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pada 12 Desember 2005.

Tim independen perlu dibentuk karena kasus tersebut kemungkinan melibatkan pejabat kejaksaan, baik di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI, maupun Kejaksaan Agung (Kejagung). Demikian dikemukakan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, kepada Pembaruan di Jakarta, Kamis (2/3) malam.

Benny menduga kasus tersebut melibatkan pejabat. Dugaan itu didasarkan pada, pertama, pimpinan kejaksaan baru mengambil sikap terhadap kasus itu setelah maraknya pemberitaan media massa. Padahal, persidangan kasus narkoba itu 12 Desember 2005.

Kedua, rencana tuntutan tidak disampaikan kepada Kejagung. Padahal, dalam Surat Jaksa Agung Muda Pidana Umum 19 Januari 2004 tentang Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Narkotika, disebutkan, dengan barang bukti di atas 100 gram rencana tuntutan harus diserahkan ke Kejagung.

Ketiga, dari dulu banyak kasus korupsi yang melibatkan oknum kejaksaan, namun sanksinya tidak ada.

Dikatakan, tim independen itu terdiri dari orang- orang Kejagung yang bersih, pensiunan jaksa yang bersih, aktivis LSM dan tokoh masyarakat. Tim ini bekerja mengumpulkan fakta, mengapa jaksa penuntut umum menuntut sangat rendah. Fakta-fakta yang dikumpulkan nantinya diserahkan ke Jaksa Agung.

Serius dan Adil
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Muktar mengatakan, semua jaksa yang terkait dalam perkara Hariono harus diperiksa. Menurut dia, narkoba merupakan kasus yang menjadi perhatian publik dan memerlukan penanganan hukum yang benar-benar serius dan adil. Jika terjadi permainan hukum dalam penanganannya, maka akan berpengaruh terhadap citra penegakan hukum di Indonesia.

"Putusan hakim yang hanya mengganjar hukuman tiga tahun terhadap Hariono, yang secara jelas membawa sabu-sabu puluhan kilogram, menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan, terutama menyangkut kasus narkoba," ujarnya.

Dia mengatakan, meski hanya berperan sebagai kurir, Hariono merupakan salah satu mata rantai dari jaringan narkoba yang harus diputus karena tetap masuk anggota sindikat yang harus diberantas.

"Kasus tersebut harus diusut tuntas dan kejaksaan tidak boleh memberikan toleransi terhadap kejahatan narkotik. Para penegak hukum harus dapat mencari penyebab ketidakberesan dalam perkara itu," katanya.

Lebih lanjut Benny menilai, pemeriksaan oleh Jamwas dan jajarannya terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI dan jajarannya, Kamis (2/3), hanyalah formalitas supaya publik percaya Kejagung serius.

Penilaian itu didasarkan antara lain pada pemeriksaan yang dilaksanakan di Kejati DKI. "Lha, mengapa tidak dilaksanakan di Kejagung? Apa kurang ruangan di sana?'' katanya.

Dilanjutkan
Sebelumnya, Inspektur Pidana Umum Bagian Pengawasan Kejagung, Zaidan Asnawi, memeriksa Kajati DKI Jakarta Rusdi Taher, Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Nurrohmat, dan Kepala Kejari Jakbar Dimas Sukadis, di Kejati DKI, Kamis.

Rusdi diperiksa mulai pukul 14.00. Pada hari yang sama Jaksa Agung Muda Pengawas Kejagung Achmad Lopa berada di Kejati DKI untuk mendampingi stafnya melaksanakan pemeriksaan.
Ketika dicegat wartawan sebelum meninggalkan Kejati DKI, Lopa mengatakan belum bisa memberikan keterangan kepada pers, karena pemeriksaan masih berlangsung.

"Saya belum bisa memberikan keterangan, karena masih diperiksa. Pemeriksaan terhadap mereka akan dilanjutkan besok (Jumat)," katanya.

Lopa berjanji siapa pun yang bersalah akan ditindak tegas. "Percayalah, saya tidak main-main dalam kasus ini. Siapa pun yang bersalah akan ditindak," katanya.

Unjuk Rasa
Sementara itu, ratusan aktivis antinarkotik dan obat-obatan berbahaya yang tergabung dalam Satgas Anti-Narkoba (SAN) dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis, menuntut Kajati DKI Jakarta dicopot dari jabatannya.

Hal itu dilakukan SAN terkait dengan penyimpangan prosedur penuntutan dalam kasus pengedar 20 kg sabu-sabu Hariono Agus Tjahjono, yang pada 12 Desember 2005 divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

"Segera copot Kajati DKI." Demikian yel-yel yang diteriakkan orator aksi unjuk rasa, Ahmad Yasin dan para demonstran, di depan gerbang Kejagung.

Penyimpangan yang dimaksud adalah tidak dipatuhinya prosedur penuntutan terutama dalam pengajuan rencana tuntutan, yang mana diatur bahwa untuk barang bukti narkotik di atas 100 gram rencana tuntutan dan gelar perkara harus dilakukan di Kejagung. Penyimpangan lain yang juga dituntut untuk diusut adalah vonis yang dijatuhkan tepat sesudah pembacaan tuntutan jaksa. (E-8)

Tuesday, February 28, 2006

Masyarakat Melawi Sambut Akil Mochtar




Selasa, 28 Februari 2006

Sintang.Go.Id - Nanga Pinoh,-
Ratusan tokoh masyarakat, agama, pemuda dan pengurus serta kader Golkar se-Kabupaten Melawi, Jumat (24/2) malam, memadati ruang sidang gedung DPRD Kabupeten Melawi-Jalan Juang Nanga Pinoh. Kedatangan ratusan rakyat Melawi ini dalam rangka menyambut Anggota DPR-RI dari Komisi III HM Akil Mohtar SH MH yang juga sebagai pelaku sejarah pemekaran Kabupeten Melawi dan Sekadau dua tahun silam.

"Ini merupakan kunjungan pertama kali Pak Akil ke Melawi setelah Melawi menjadi kabupaten definitif. Harus diakui, ia juga sebagai salah satu pelaku sejarah pemekaran kabupaten Melawi dan Sekadau. Kerenanya, kedatangannya kali ini kita sambut dengan meriah dan dalam kesempatan ini kita minta dia untuk memperjuangkan kabupaten Melawi ini dipusat, supaya daerah ini terus berkembang dalam berbagai hal," tutur Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Melawi, Drs Uray Usman, pada koran ini, pekan lalu.

Lebih lanjut Uray Usman mengatakan, dari 7 kecamatan yang ada, 5 pengurus Golkar kecamatan hadir yang terdiri dari ketua sekeretaris dan kader Golkar lainnya. Demikian juga dengan pengurus DPD Golkar Melawi, sebagian besar menghadiri pertemuan yang penuh dengan nuansa kekeluargaan ini. Selain pengurus dan kader Golkar, dalam pertemuan ini juga hadir puluhan tokoh masyarakat, agama dan pemuda serta sejumlah anggota DPRD Melawi dari beberapa Partai Politik yang ada didaerah ini. " Kehadiran para tokoh ini,dapat mewakili kehadiran ribuan warga Melawi."

Lebih lanjut Uray Usman yang didampingi beberapa pengurus dan kader Golkar Melawi diantarannya Panji S Sos, Wakil Ketua DPRD Melawi mengatakan. Sediannya yang hadir dalam pertemuan tersebut lebih banyak dan mencapai ribuan orang. Namun, karena kondisi geografis, ada kecamatan yang tidak hadir. "Masyarakat ingin Pak Akil tetap dan terus memperjuangkan pembangunan di daerah ini, tak hanya di Melawi, Kalbar umunya, apalagi, ia sebagai wakil rakyat Kalbar di DPR-RI," katanya.

Pada kesempatan yang sama HM Akil Mohtar SH MH mengatakan, jika dikatakan dirinya sebagai salah seorang pelaku sejarah pemekaran kabupaten Melawi dan Sekadau itu merupakan fakta sejarah. Dan itu merupakan kewajibanya sebagai wakil rakyat untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat di DPR-RI, sehingga apa yang disampaikan oleh rakyat mendapat dukungan secara politis. "Saya punya kewajiban untuk ikut mensejahterakan masyarakat, tapi jika saya dituduh korupsi dan dizalimi, saya lawan. Apa yang saya lakukan benar-benar untuk rakyat," jelas Akil.

Dengan berdrrinya Kabupaten Melawi, kata Akil, jelas akan memperpendek biro krasi, meningkatkan dan mendekatkan pelayanan pemerintah pada masyarakat dan mensejatrakan masyarakat. Karenanya, saya punya kewajiban untuk menyerap aspirasi masyarakat dengan berdialog dan datang langsung menemui masyarakat didaerh-daerah, baik di kota kabupaten, kecamatn maupun desa dan dusun terpencil didaerah kalbar ini. "Tak hanya datang ke Melawi ini, seluruh kabupaten di Kalbar ini juga saya kunjungi."

Untuk itu, terangnya lagi, kometmen saya untuk membangun Kalbar ini sudah bulat, karena sebagai anggota DPR-RI sudah merupakan kewajiban untuk membangun daerah. Jika dalam hal memperjuangkan kesejahtraan dan pemekaran wilayah ini saya disebut korupsi jelas akan saya lawan. Faktanya, Melawi dan Sekadau ini jadi Kabupaten. (PDE Setda & app)

Thursday, February 16, 2006

Kepentingan Bisnis Diduga Pengaruhi Putusan MK soal UU Penyiaran

Republika Online - 16 Februari 2006

Jakarta--RoL--
Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis, mengatakan, konflik kepentingan dan kepentingan bisnis mewarnai putusan MK. Hal itu bisa disimak dari adanya kepemilikan saham majelis hakim MK yang menangani perkara ini di salah satu stasiun televisi swasta.

Akil mengakui tidak ada larangan majelis hakim MK menangani perkara judicial review UU tentang Penyiaran. Hanya saja kurang tepat apabila hakim yang menangani perkara ini ternyata memiliki saham di televisi swasta. Yang juga dipersoalkan Akil Mochtar adalah, kepemilikan saham itu tidak masuk dalam daftar laporan kekakayaan Pejabat Negara (LJPN) saat menjalani `fit and proper test` sebagai calon majelis hakim MK di DPR RI.

Dia mengatakan, tidak ada laporan mengenai kepemilikan saham tersebut menyebabkan kalangan DPR RI khususnya Komisi III baru tahu mengenai hal itu.

“Kalau tahu dari dulu pasti kita persoalkan,” katanya.

Adanya kepemilikan saham sekaligus menjadi hakim perkara judicial review UU tentang penyiaran, kata Akil, menyebabkan putusan MK tidak netral karena ada konflik kepentingan.

DPR juga merasa dirugikan dalam putusan MK yang memenangkan penggugat judicial review karena ada juga hakim MK yang menangani perkara ini ternyata penasihat pemerintah dalam pembahasan UU tentang Penyiaran di DPR. Hal itu semakin menjadi alasan bagi Komisi III untuk menilai bahwa putusan MK tidak netral dan berpihak kepada kepentingan bisnis.

Monday, January 30, 2006

Senin, 30 Januari 2006

Republika
Senin, 30 Januari 2006


JAKARTA---Merasa dirinya tak bermasalah dalam penerimaan uang Rp 680 juta dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Wakil Ketua Komisi III M Akil Mochtar mengadukan tiga pelapor kepada Mabes Polri. Pihak yang diadukan berasal dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra, dan LBH DKI Jakarta.

''Saya mengadukan mereka atas pencemaran nama baik. Saya adukan ketiga orang itu, bukan lembaganya,''kata Akil Mochtar ketika dihubungi seusai melapor ke Mabes Polri, Ahad (29/1) sore.

Menurutnya, soal tuduhan gratifikasi atas uang sebesar Rp 680 juta itu sudah tidak ada masalah. Untuk itu sudah ada hasil update dari BPK pada Juli 2005. Dalam laporan BPK itu sudah ditandatangani, bahkan oleh Pemprov Kalbar.

Dia berpendapat, hasil update BPK yang terakhir merupakan pertanggungjawabannya atas dana tersebut. Dokumen itu yang tak dipunyai oleh para pelapor. ''Para pejuang di LSM itu tak punya laporan tersebut. Kalau mereka lihat, mereka tak perlu melaporkan hal ini,'' tandasnya.

Dikatakannya, ketiga pelapor itu hanya menggunakan laporan BPK yang pertama, yaitu di tahun 2003.''Hasil dokumen yang pertama itu tak jelas sumber datanya dari mana. Sudah tak jelas, mereka adukan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), mengadakan konferensi pers, dan disiarkan ke mana-mana.''

Soal laporan ke KPK, lanjutnya, itu memang hak semua orang. Dia sendiri tak mempermasalahkan kalau sewaktu-waktu KPK memanggilnya untuk diperiksa. Pemanggilan itu adalah hak KPK dan menjadi kewenangan lembaga itu untuk melakukan pemeriksaan. Dia menyatakan kesiapannya untuk itu.

Persoalan ini mencuat ketika Fahmi Badoh (ICW), Arif Nur Alam (Seknas Fitra), dan Hermawanto (LBH DKI Jakarta) melaporkan soal dugaan gratifikasi ke KPK pada Selasa (24/1). Dalam laporannya, mereka menindaklanjuti pengumpulan bahan dari laporana BPK atas anggaran yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

Dari sekitar Rp 4 miliar dana tersebut diterima oleh sejumlah aparat dan tokoh pemda. Tak hanya itu, ada dana yang diterima dalam empat tahap oleh anggota panitia pembentukan RUU Pemekaran Wilayah di Komisi II DPR RI di tahun 2003. Saat ini, penerima dana sebesar Rp 680 juta tersebut menjadi salah seorang pimpinan Komisi III DPR RI, yaitu MAM.

Saat itu, penerimaan dana ini diduga berkaitan dengan proses RUU Pemekaran Wilayah itu di DPR RI. RUU itu menyangkut pemekaran Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadang, Kalbar.

Menanggapi pelaporan dirinya ke Mabes Polri, Hermawanto mengatakan bahwa itu adalah hak setiap orang untuk membuat laporan. ''Pembelaan apapun, itu adalah haknya. Hanya, benar atau tidaknya, itu dibuktikan di pengadilan. Kami para pelapor, punya komitmen untuk menghadapi prosesnya.''

(wed )

Sunday, January 29, 2006

Dituduh Korupsi, Akil Mochtar Melapor ke Polisi

Minggu, 29 Januari 2006 | 15:25 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Wakil Ketua Komisi Hukum (Komisi III) DPR, Akil Mochtar, melaporkan tiga lembaga swadaya masyarakat yang dianggap mencemarkan nama baiknya ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

"Saya tidak mau menyebut nama orangnya. Sekarang saya mau lapor dulu," ujar Akil, Minggu, sebelum diterima oleh perwira jaga Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.

Menurut Akil, ketiga LSM ini telah memberikan berita yang salah mengenai penggelapan uang sebesar Rp 680 juta untuk pembentukan Kabupaten Malawi sebagai pemekaran Kabupaten Sintang. "Padahal semua uang dipertanggungjawabkan," kata Akil.

Ketiga LSM ini, menurut Akil, menggunakan data rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan Januari 2005. Padahal, menurut dia, pasa hasil temuan BPK Juli lalu masalah ini sudah beres. "Mereka terlalu cepat menuduh, padahal mereka cuma pegang data kertas satu-dua lembar," ujar Akil.

Dana sebesar Rp 680 juta yang berasal dari APBD Kabupaten Sintang, kata Akil, tidak diterima dalam bentuk tunai. Namun, uang tersebut digunakan dalam empat tahap, antara lain untuk survei dan pendataan dalam rangka usul inisiatif DPR.

Menurut Akil, tuduhan yang ditujukan kepadanya ini merupakan konspirasi politik menjelang pemilihan kepala daerah Kalimantan Barat. "Ini jelas konspirasi politik karena saya akan ikut pilkada menjadi gubernur Kalbar," kata Akil.

Akil diterima oleh perwira jaga, Ajun Komisaris M.Nasrun sejak pukul 15.00 WIB. Fanny Febiana