Wednesday, July 25, 2007

Menunggu Gebrakan Prajurit Bulungan

Hukum Online

Kasus BLBI
[25/7/07]


Jaksa Agung Hendarman Supanji berniat menguak kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan pun siap membantu memasok data.


Jaksa Agung Hendarman Supanji bakal menghadapi tantangan menarik. Penguasa Bulungan pengganti Abdurrahman Saleh ini rupanya punya hajat mengungkap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tentu ini sesuai dengan harapan berbagai kalangan, yang menghendaki mantan Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (PLT Jampidsus) ini memprioritaskan pengusutan BLBI -kasus yang menguras dana Rp160 triliun.



Sekadar mengingatkan, BLBI merupakan bantuan Bank Indonesia kepada 48 bank untuk menggerakkan perekonomian. Celakanya, bantuan tersebut justru menabrak ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Artinya, perbankan yang mandi uang tersebut malah mengucurkan kreditnya kepada anak perusahaan atau perseroan satu grup. Bahkan lebih dari 80 persen dana sebuah bank digunakan untuk menghidupi usaha konglomerat yang itu-itu juga. Puncaknya, krisis ekonomi pun melanda pada 1997-1998. Pilar perbankan kala itu ambruk, roda industri macet. Akibatnya masih terasa hingga kini. Tak kurang dari Rp129,5 triliun sisa utang eks-BLBI masih menumpuk dengan jatuh tempo 2033.



Hendarman saat ini menyoroti tiga kasus. Dua di antaranya bermodus sama, yakni penyaluran kredit macet. Mahkamah Agung telah memvonis bebas para tersangkanya. Salah satunya adalah Syahril Sabirin (Bank Bali). “Kita ajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusa bebas itu,” ungkap Hendarman, dalam jumpa pers pada acara di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta, Rabu (25/7).



Satu lagi modus adalah pengembalian kredit yang tak jelas. “Padahal sudah terbit Surat Keterangan Lunas (SKL). Tapi tidak lunas sebesar yang diharapkan. Kita belum menentukan siapa saja pelakunya. Bisa saja waktu itu terjadi negosiasi antara pejabat pemerintah dengan penikmat kredit,” sambungnya.



Sayang Hendarman tak mau bicara lebih detil. “Siapa pelakunya belum bisa kita pastikan. Apakah yang menyerahkan, yang menghitung, atau yang menerima? Yang bicara menentukan siapa saja yang berbuat, adalah alat bukti. Saat in baru tahap penyelidikan,” timpalnya.



Menurut Hendarman, tindak pidana korupsi harus memenuhi tiga kriteria: perbuatan melawan hukum, ada kerugian negara, serta ada tindakan memperkaya diri. “Kalau hanya ada salah satu unsur, misalnya hanya kerugian negara, dan perbuatan melanggar hukum tidak ada, yah saya serahkan kepada Menteri Keuangan untuk menggugat perdata.”



Sebenarnya BPK sudah melansir hasil auditnya lima tahun silam. “Saya sudah lupa, dan kalau Pak Hendarman memerlukannya, kami siap membuka file lama,” ungkap Ketua BPK Anwar Nasution dalam momen yang sama.



Menurut Anwar, kubu yang menikmati kucuran dana antara lain Grup Salim (Anthony Salim), Syamsul Nursalim, serta Bob Hasan. Meski Hendarman tak tegas mau menyebutkan nama yang dia incar, dia justru mengakui, “Bisa jadi salah satu dari nama-nama tersebut. Sekali lagi, nanti alat bukti yang berbicara,” ujarnya.



Menurut Anwar, pemerintah wajib menguak tabir kisah lama ini. “Contohlah Korea yang berani memenjarakan dua presidennya. Setiap pejabat dan chaebol (sebutan konglomerat asal Korea) di masa krisis 1997 satu per satu harus bertanggung jawab atas ambruknya perekonomian,” ujar Anwar panjang lebar. Anwar menegaskan, langkah hukum Indonesia masih jauh tertinggal dari negeri ginseng itu.



Simalakama Hukum dan Ekonomi

Terpisah, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mohammad Akil Mochtar memahami keinginan penegak hukum menelisik kasus ini lagi. Tapi, menurut Akil, menguak peti es yang sekian lama tertutup tak bakal mudah. “Bakal ada tarik-menarik kepentingan penegakan hukum dan ekonomi,” ungkap Akil yang dari Fraksi Partai Golkar itu, Jumat silam (20/7).



Jika penegak hukum berniat mengorek lagi kasus lama, “Bisa jadi investasi tersendat. Para konglomerat enggan jika masa lalunya diungkit kembali. Saat ini mereka berada di luar negeri. Kalau merasa terancam terus, tentu tak mau kembali,” sambung Akil, dari komisi yang membidangi hukum dan HAM ini.



Akil justru menawarkan pengampunan. “Yang paling penting bukankah uang negara balik? Daripada terus mengejar, lebih baik mengampuni, dengan catatan konglomerat itu bersedia melunasi sejumlah kewajibannya. Tapi imbal baliknya, jangan direcoki hukum dulu,” ungkap Akil. Akil mengaku belajar konsep ini dari apa yang sudah dipraktekkan di Amerika Serikat.



Kerjasama BPK-Kejaksaan

Selain mengobok-obok BLBI, Kejaksaan dan BPK juga hendak menuntaskan laporan keuangan yang berindikasi tindak pidana. “Tentu saja sesuai kewenangan kita masing-masing. Ada Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” ungkap Anwar.



Maklum, BPK hanya berwenang memeriksa keuangan dan tak berhak menindak. Yang berhak menindaklanjuti temuan berindikasi korupsi hanyalah Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. “Karena itulah kerja sama ini penting,” timpal Hendarman.



Hukumonline memperoleh kopian data dari BPK, selama 2004 hingga semester I 2007, BPK telah menyerahkan hasil pemeriksaan kepada Kejaksaan Agung. Total nilainya mencapai Rp3,821 triliun dan AS $154 miliar.



Ada beberapa poin yang menarik, di antaranya fasilitas kredit ekspor (KE) TNI AD pada unit organisasi Departemen Pertahanan dan Keamanan senilai Rp100 miliar pada September 2004. Ada pula hasil pemeriksaan pada Badan Pengelola Gelora Bung Karno (BPGBK) sebesar Rp1999,758 miliar pada November 2005. Ada juga hasil pemeriksaan atas PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) senilai Rp8,181 miliar pada akhir Mei 2006. Pun, ada hasil pemeriksaan investigatif atas kekurangan kas dan belanja daerah Kabupaten Jember senilai Rp133,516 miliar.



Sebenarnya sejak Juni 2000 BPK dan Kejaksaan Agung pernah menggelar kerja sama semacam itu. “Tapi kurang maksimal dan perlu diperbarui,” kilah Anwar. Nah, jangan sampai kerja sama kali ini hanya jadi isapan jempol lagi.

(Ycb)

No comments: