Penulis: Fardiansah Noor
JAKARTA--MIOL: Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai akan menciptakan sistem demokrasi parpol yang totaliter jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon independen dalam pilkada tidak segera dilaksanakan dan dibuat aturannya.
Demikian diungkapkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar DPR Akil Mochtar ketika dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Sabtu (28/7). Menurut Akil, untuk menata sistem yang permanen maka revisi UU nomor 32 tahun 2004 harus segera dilakukan khususnya mengenai pasal yang mengatur tentang calon perseorangan.
Jika revisi UU 32/204 dinilai beresiko karena secara psikologis parpol yang ada diparlemen cenderung menolak calon perseorangan, maka itu disebut dengan pembiaran yang sangat berpotensi menimbulkan konflik baru di masyarakat yang merupakan ujung dari kegagalan penyelenggaraan hak-hak rakyat di bidang demokrasi oleh penyelenggara negara.
"Jika putusan MK tidak dilaksanakan maka pemerintah, DPR, dan KPU telah menciptakan sistem demokrasi parpol yang totaliter. Kondisi lainnya adalah pemerintah, DPR, dan KPU, telah dengan sengaja mendorong terjadinya konflik horisontal di tengah masyarakat terutama di daerah yang akan melaksanakan pilkada dalam waktu dekat yakni Maluku Utara, Kalbar, Sulteng, Sulsel, dan daerah lainnya," kata Akil.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah harus segara mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). "Adalah tidak bijak negara menunggu terjadi dulu konflik di tengah masyarakat baru kemudian menganggap ada hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jika demikian maka negara memberi ruang terjadinya konflik berkepanjangan yang berpotensi mengganggu sistem keamanan negara RI. Hal ini ironis dan berbahaya," cetus Akil.
Dengan adanya keputusan MK, tambahnya, semakin nyata bagi masyarakat bahwa parpol bukan satu-satunya harapan yang bisa diandalkan dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi adalah harapan rakyat banyak yang tidak boleh dikooptasi oleh kepentingan segelintir parpol dan rezim yang berkuasa.
"Karena itu tidak ada alasan hukum bagi KPU untuk tidak membuka kesempatan kepada calon perseorangan setelah putusan MK diucapkan," cetus Akil.
Ia menjelaskan, dalam putusan MK halaman 59 angka 3.15.22 secara tegas dinyatakan 'Untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum) sebelum pembentukan UU mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, Mahkamah berpendapat bahwa KPU berdasarkan pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf f UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara peneyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan pasal 68 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan'.
Kemudian dihubungkan dengan Amar Putusan halaman 61 (5.2) dan (5.3), serta halaman 62 (5.4) secara tegas dan mengandung konsekuensi hukum jika KPU tidak menerima pendaftaran calon perseorangan.
"Persoalanya hanya regulasi yang mengatur tentang syarat calon perseorangan yang belum ada itu, dapat dibuat oleh KPU dengan landasan yuridis pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf f dengan mengacu kepada pasal 68 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh. Kesemuanya ini bersifat sementara untuk mengantisifasi kekosongan hukum, dimana semua KPU di daerah tidak bisa menolak pendaftaran calon perseorangan yang ingin ikut pilkada," papar Akil. (Far/OL-06)
Saturday, July 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment