Suara Daerah Berita Utama
27 Juni 2007
[Suara-daerahonline.com] Bila keberadaan DPD diperlukan, perlu ada penambahan kewenangan, Atau, apakah DPD dibubarkan saja?
Wacana amandemen kelima UUD 1945, sebenarnya datang dari sejumlah pihak antara lain anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari sejumlah partai politik, yang menilai aspirasi masyarakat (daerah) belum tersalurkan melalui wakilnya di senayan, baik melalui DPR maupun DPD RI.
Kalangan DPD misalnya, sejak akhir 2004 lalu telah mengusung gagasan amandemen pasal 22D dan 22 E UUD 1945 tentang tugas dan wewenang DPD yang dirasakan sangat terbatas. Padahal anggaran negara untuk operasional DPD tak kurang dari Rp 100 miliar per tahun.
Ada apa dengan dua pasal tersebut? DPD RI yang merupakan pengejawantahan utusan daerah (sebelum amanademen UUD) kewenangannya telah dipangkas dalam UUD hasil amandemen, seperti kewenangan untuk terlibat dalam legilasi nasional.
Alasan mendasar inilah, nampaknya yang memicu kalangan politisis DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, hasil Pemilu 2004 untuk melakukan amandemen UUD 1945 yang ke-5 semakin menguat, sejak 02-11-2004.
Semangat DPD untuk melakukan amandemen UUD‘45, lantaran tidak adanya keseimbangan kewenangan antara DPD dengan DPR RI. Dalam arti lain, DPD tidak bisa terlibat dalam proses legislasi.
Jelasnya, selama ini, DPD hanya bisa mengajukan sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) kepada DPR, ‘Seperti yang tertuang dalam Bab VII A tentang Dewan Perwakilan daerah Pasal 22 D ayat (1), DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daereah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat daerah’.
Dan DPD pun bisa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang namun hasil pengawasan disampaikan kepada DPR sebagai pertimbangan. Hal ini tertuang dalam ‘Pasal 22 D ayat (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti’
Bila dicermati, 2 (dua) ayat diatas, pada tataran implementasi bisa dikatakan sebagai pasal ‘banci’. Pasalnya, DPD tidak memiliki bargaining politik untuk mengawal RUU yang diajukan, hingga disetujui dalam Paripurna DPR, untuk dibahas menjadi UU. Demikian juga dalam hal hasil pengawasan DPD terhadap pelaksanaan UU, pun menjadi sia-sia saja. Pasalnya, berbagai pengawasan yang dilakukan DPD selama ini, dan kemudian disampaikan ke DPR, tak satupun yang ditindak lanjuti oleh DPR. Berangkat dari dua alasan diatas, tak ada jalan lain kecuali melakukan amandemen ke-5 terhadap UUD 1945.
Singkatnya, setelah 2 tahun lebih, kiprah DPD di dalam sistem negara RI, ternyata keberadannya masih gurem. Sehingga harus segera dipastikan, apakah Indonesia, akan menganut unikameral atau bikameral? Bila bikameral, tentu perlu memperkuat kewenangan lembaga DPD RI, sehingga semua hasil (putusan) DPD di terima DPR tidak sebatas sebagai bahan pertimbangan.
Terkait dengan pertanyaan diatas, La Ode Ida, wakil ketua DPD RI, mengatakan, saat ini Indonesia masih menerapkan sistem bikameral (dua kamar) setengah hati atau disebut soft bicameral. Ini karena DPD belum memiliki hak suara untuk turut mengambil keputusan akhir di dalam proses pengambilan keputusan terhadap suatu undang-undang (UU).
“Padahal jika masyarakat Indonesia menghendaki sistem parlemen dan pemerintahan yang baik maka DPD harus juga berperan dalam mengambil keputusan terhadap suatu pembentukan UU. Ini berangkat dari filosofi bahwa dua mata (bicameral) lebih baik dari satu mata (unicameral). Kalau sistem parlemen satu mata saja, satu kamar saja, maka penglihatannya tidak sempurna.,” kata La Ode Ida.
Dijelaskan, dalam sistem check and balance, sistem control, kata La Ode Ida, kamar yang satu ini (DPD) berperan sebagai second opinion. “Itu artinya pendapat kedua juga bisa berperan dalam pembahasan setiap rancangan kebijakan atau UU bersama DPR, termasuk juga dengan pemerintah. Jika tidak mempunyai kewenangan hak suara dalam RUU maka DPD lebih baik dibubarkan,” kata La Ode Ida.
Namun, berbeda dengan pandangan Akil Mochtar anggota komisi III DPR. Menurutnya harus dipahami bahwa dalam sistem presidensil, tidak ada sistem bicameral yang ada sistem unikameral. “Pastinya, Sistem Bicameral itu bertentangan dengan Sistem Presidensil, sehingga untuk apa ada DPD, sampai-sampai dibentuk secara permanen seperti yang ada sekarang,” kata Akil Mochtar, politisi asal Golkar.
Tambah Wewenang
Bila dilihat dari urgensi keberadaan DPD, maka secara fungsi dan tugasnya DPD sama dengan DPR yang memiliki fungsi legislasi. Namun, sampai sata ini masih belum jelas apa peran DPD? Hampir tidak ada. Padahal peran DPD, sebagaimana diharapkan masyarakat di daerah adalah untuk membawa aspirasi atau kepentingan Daerah. Pertanyaan kemudian, kemanakah aspirasi Daerah tersebut akan ditungkan, kalau bukan dalam bentuk undang-undang?
Menurut La Ode Ida, aspirasi daerah memang bisa dibawa oleh anggota DPR di daerah pemilihan bersangkutan, namun, siapa bisa menjamin aspirasi daerah itu, tersalurkan secara murni sampai menjadi UU. “Berbeda dengan kami, dan saya kira masyarakat juga tahu adalah kami independen. Artinya nonpartisan, bukan anggota atau pengurus partai. Jadi kami tidak mempunyai infrastruktur di tingkat lokal. Kami tidak sama dengan DPR. Mereka punya partai politik tingkat lokal, punya cabang-cabang. DPD tidak punya itu,” kata La Ode Ida.
Kendati demikian, lanjutnya, komunikasi oleh anggota DPD dengan konstituen tetap jalan. “Selama ini kami berkunjung ke daerah dan ke semua lapisan menerima informasi dari daerah dan menyampaikan informasi dari Jakarta. Konsep DPD adalah mencoba mengangkat isu-isu daerah, menasionalkan isu daerah atau isu lokal itu kemudian menjadikannya isu nasional. Agenda yang kami buat di sini adalah membangun rumah aspirasi house of local people aspiration,” kata La Ode Ida.
Selain rumah aspirasi, lanjutnya, setiap anggota DPD sudah punya kantor perwakilan individu pribadi di daerah, dan itu bisa digunakan pada tingkat tertentu. Sebetulnya di beberapa daerah, pemdanya sudah menyiapkan kantor sekertariat khusus untuk DPD bekerja di daerah tersebut. Jadi sebetulnya dalam hal ini masyarakat sudah bisa berhubungan langsung dengan anggota DPD melalui media-media di tingkat lokal.
“Sebab, kita juga tidak mau memberatkan masyarakat daerah, konsituen kami untuk menghubungi kami langsung di Jakarta. Karena itu kami coba fasilitasi dan menyediakan instrumen seperti itu. Saya atau kami menyebutkan rumah aspirasi di berbagai daerah itu untuk mencoba menggaggas apa yang menjadi harapan mereka terhadap DPD,” kata La Ode Ida.
Dalam rangka itu, kata La Ode Ida, DPD akan terus berjuang mengubah UUD 1945, khususnya Pasal 22D. “Pasal itu mengatur tentang peran DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang. DPD menghendaki kewenangan DPD diperbesar, yaitu tidak hanya ikut membahas RUU bersama DPR pada pembahasan tingkat pertama, tapi dapat memveto RUU yang telah disetujui DPR,” kata La Ode Ida.
Menurutnya, selama ini dan hingga saat ini pemerintah telah mengabaikan hak-hak konstitusional DPD. Pelanggaran tersebut, kata dia, karena Depdagri mengabaikan DPD dalam pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada).
Dirjen Otonomi Daerah Depdagri, kata La Ode, telah berjanji untuk mengkonsultasikan draf RPP tersebut dengan DPD, sebelum RPP itu disahkan. ''Ternyata janji itu tidak dipenuhi, dan RPP itu sudah sampai di tangan presiden untuk ditandatangani,'' kata La Ode.
Menurut La Ode, pengabaian DPD tersebut merupakan pengingkaran fungsi DPD yang diatur UUD 1945. Padahal, kata dia, dalam pertemuan antara pemerintah dengan DPD, beberapa waktu lalu, Presiden SB Yudhoyono telah berjanji untuk tak mengesampingkan DPD. ''Dalam pertemuan, SBY menunjukkan komitmen bahwa DPD sebagai partner,'' jelasnya.
La Ode menilai, bila eksekutif mengabaikan DPD, akan memberi kesan Presiden mengingkari janjinya. Meski demikian, La Ode menilai masalah pengabaian tersebut tidak diketahui oleh presiden. Mendagri M Ma'ruf, kata dia, juga kemungkinan tidak mengetahui karena telah menyerahkan soal konsultasi ke Dirjen Otda. ''Jadi saya kira persoalannya ada di pejabat eselon I. ''Aparat Depdagri saat ini adalah stok lama yang tidak bisa mengikuti agenda SBY. Tapi kalau Presiden harus menegur,'' ujar la Ode Ida.
Bubarkan DPD?
“Tingkatkan Jadi senat atau bubarkan,’ demikian pekikan keras, Mochtar Naim, anggota DPD-RI dari Sumatera Barat. Menurutnya, tugas DPD terhadap DPR selama ini hanyalah sekadar pembantu-pelengkap dalam mempersiapkan sebuah RUU yang DPD sendiri tidak ikut dan tidak diikutkan dalam pengambilan keputusan untuk menjadikan RUU itu menjadi UU.
Dikatakan, puluhan sudah RUU dan saran-saran yang diajukan ke DPR di samping tugas-tugas pengawasan yang dilakukan. Namun karena produknya tidak dihasilkan sendiri, atau tidak ikut menghasilkan, maka yang terlihat oleh orang luar adalah kesan kekerdilan dan kemandulan DPD.
“Hal itu akibat dari sistem dan struktur keparlemenan yang rancu yang menyebabkan DPD juga menjadi rancu dan impoten, maka pilihan ke depan tidak lain adalah: Rubah atau bubarkan. Jika sistem dan struktur itu yang salah, maka yang diperbaiki adalah sistem dan struktur itu sendiri. Merubahnya tentu saja dengan melakukan amandemen kembali UUD 1945, khususnya terhadap pasal-pasal yang terkait dengan keberadaan serta fungsi dan peranan dari DPD dalam sistem keparlemenan kita,” kata Mochtar Naim.
Menurut Mochtar Naim, merubah UUD 1945, sebuah keniscayaan. “Kita tentu saja tidak ingin melihat DPD berjalan seperti itik lumpuh ( lame duck ), yang karenanya tidak produktif dan tidak efisien. Sementara, biaya yang dikeluarkan negara untuk keberadaan DPD ini tidak sedikit. Biaya yang sudah keluar saja mendekati 100 milyar, sementara anggaran yang diajukan untuk 2005-2006 dekat-dekat 200 milyar.Untuk apa membuang-buang uang negara sekian banyak untuk menghidupi itik lumpuh. Karenanya pilihan lain tentu saja adalah: Bubarkan DPD,” kata Mochtar Na’im.
Sementara menurut Harun Al Rasyid, pakar hukum tata negara. Menurutnya, dalam sistem negara kesatuan tidak ada sistem bicameral. “Bubarkan saja DPD itu,” kata Harun Alrasyid. (Tim suara-daerahonline).
Friday, July 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment