Saturday, July 21, 2007

Klausul CSR Tidak Menabrak UUD 1945

Hukum Online
Sabtu, 29 September 2007

Perseroan Terbatas
Pemerintah bersama DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Masih belum beranjak, titik perhatian tetap tertuju pada tanggung jawab sosial perusahaan. Perseroan yang berbisnis syariah wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah.

Tunai sudah tugas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merampungkan satu lagi Undang-Undang. Kali ini, mereka melahirkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT). Peraturan tinggi negara yang hendak merevisi UU 1/1995 ini disetujui untuk segera disahkan, dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat (20/7). Sepuluh fraksi sepakat bulat mengesahkan UU PT. Sidang tersebut juga mengesahkan UU Cukai sekaligus menutup masa sidang keempat. Selanjutnya, DPR reses hingga ramai kembali pada 16 Agustus mendatang.

Revisi UU PT ini merupakan usulan pemerintah. “UU 1/1995 sudah tidak memadai menampung berbagai perkembangan hukum dan masyarakat. Khususnya dinamika perekonomian yang pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi,” ungkap Ketua Panitia Khusus PT (Pansus) Mohammad Akil Mochtar dalam laporannya.

Rupanya RUU PT ini sudah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2005. Akil menambahkan adanya UU PT ini untuk menciptakan iklim usaha dan perdagangan yang sehat dan maju. Selain itu, Akil juga berharap para pemodal asing sudi melirik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. “Kami tak mau masyarakat menganggap DPR sebagai penghambat investasi lantaran tak kunjung selesai membuat peraturan perundangan,” imbuhnya di sela sidang.

Anggota Pansus asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Yudo Paripurno menjelaskan, UU PT harus diselaraskan denga ketentuan lainnya. Maklum, registrasi dan pemberian status badan hukum nantinya, merupakan wewenang penuh Departemen Hukum dan HAM. “Tapi, masih ada UU 3/1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Itu masih di bawah Departemen Perdagangan,” ungkap Yudo.

Kronologi Perjalanan UU PT

- 12Oktober 2005 Pemerintah menyampaikan RUU PT kepada DPR.
- 22 November 2005, Sidang Paripurna DPR mengesahkan pembentukan Pansus PT.
- 9 Februari 2006, Raker pertama DPR dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menkumham.
- DPR menggelar 6 kali RDP yang melibatkan tak kurang dari 23 lembaga.
- 19 Mei 2006, Pembicaraan Tingkat I untuk menyerap pandangan fraksi. Terdapat 813 butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
- 16 Juli 2007, Tim Perumus (Timus) melaporkan kepada Panitia Kerja (Panja), bahwa Timus telah menyelesaikan Pasal 74 (CSR), 77 (RUPS via teleconference), dan 109 (Dewan Pengawas Syariah).
- 20 Juli 2007, dalam Sidang Paripurna, Pemerintah dan DPR setuju segera mengundangkan RUU PT. Sepuluh fraksi sepakat bulat. UU PT terdiri dari 14 bab (termasuk Ketentuan Penutup) serta 161 pasal.

Sumber: Laporan Ketua Pansus PT dalam Sidang Paripurna DPR, 20 Juli 2007

Masih Seputar CSR
Rupanya semua fraksi masih memusatkan perhatian pada klausul tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Maklum, poin ini merupakan ketentuan baru yang tertuang dalam Bab V Pasal 74.

Pasal ini mewajibkan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam menyisihkan sejumlah dananya guna melakukan program CSR. “Jangan hanya dilihat core business-nya. Rumah sakit pun wajib CSR karena dia membuang limbah. Pokoknya semua usaha yang berhubungan dengan lingkungan,” tukas Akil yang dari Fraksi Partai Golkar (FPG).

Sementara itu, Hermansyah Nazirun dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) mengingatkan pendirian sebuah perseroan bisa menggurita menjadi akumulasi modal. “Makanya, semangat CSR supaya jangan timbul keserakahan.”

Meski bersifat wajib, Hermansyah menambahkan, ketentuan ini bukan bermaksud membebani perusahaan. “Program CSR bersifat penuh toleransi dan tidak semena-mena.” Akil pun sependapat. “CSR sesuai dengan asas kepatutan dan kewajaran,” sambung Akil.

Akil dan anggota DPR lainnya mendesak pemerintah segera membuat peraturan penerapan CSR yang berupa Peraturan Pemerintah (PP). “Secepatnya. Saya harap tiga bulan setelah UU PT diundangkan,” ujar Akil. Menurut Akil, PP inilah yang akan merinci usaha mana saja yang wajib melakukan CSR. “Detilnya akan diatur di dalam PP. Termasuk juga sanksi dan tata caranya,” tutur anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) tersebut.

Sebelumnya, banyak pelaku bisnis yang menentang keras keberadaan kewajiban CSR. Bahkan, mereka berniat mengajukan uji materi (judicial review) di muka Mahkamah Konstitusi (MK). Menanggapi hal tersebut, Akil tidak khawatir. “Silakan saja. Sebagai bentuk demokrasi, kita menghormati keinginan pihak yang mau maju ke MK.”

Akil menandaskan, uji materi sebuah UU hanya untuk ketentuan yang diduga menyalahi UUD 1945. “Apakah kewajiban yang bagus seperti ini bertentangan dengan UUD 1945? Kan tidak melanggar konstitusi,” ujar Akil dengan nada heran. Politisi Partai Golkar ini merasa masygul lantaran para pebisnis justru tidak mempermasalahkan kewajiban CSR dalam UU Penanaman Modal (UU PM). “Lihat saja Pasal 15 dan 34. Ketentuan itu kan lebih berat daripada UU PT. Kok mereka tidak protes?” ujarnya sambil menggelengkan kepala.

Terpisah, anggota Konsultan Hukum Pasar Modal Sutito menjelaskan CSR memang perlu. Namun, kegiatan CSR ini bukan berarti untuk mengganti kerugian lingkungan. “Perusahaan yang mencemari lingkungan memang harus bertanggung jawab. Tapi itu namanya corporate responsibility. Kalau CSR, lebih bersifat sukarela.”

UU PT, Pasal dan Ayat Terpilih

Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutuan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 109
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai dewan komisaris wajib mempunyai dewan pengawas syariah.
(2) Dewan pengawas syariah terdiri atas seorang ahli atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan pengawas syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Sementara itu, perusahaan milik negara (BUMN) sudah menerapkan CSR yang diwajibkan oleh UU 19/2003 tentang BUMN, lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). “Nah, untuk BUMN dikecualikan karena sudah ada UU tersendiri. Mereka kan perusahaan yang dimiliki oleh negara, bukan layaknya swasta. Bahkan pola CSR mereka sudah rinci aturan pelaksananya,” tutur Akil.

Dewan Pengawas Syariah
Ketentuan baru lainnya adalah kewajiban perusahaan membentuk dewan pengawas syariah. “Bagi perusahaan yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah,” sambung Akil. Dalam ketentuan tersebut, dewan ini semacam dewan komisaris. Tugasnya, memberi saran kepada direksi serta mengawasi jalannya perseroan. Anggota lembaga ini diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sutito mengusulkan anggota dewan pengawas syariah mengantongi sertifikat dari MUI. “Sebelum ditunjuk oleh RUPS, dia harus memperoleh sertifikat dari MUI,” tukasnya. Menurut Sutito yang bekerja sebagai lawyer di SGS Consulting, jangan sampai anggota dewan ini baru mengajukan sertifikasi setelah diangkat oleh para pemegang saham.

Belum Semapan Eropa
Akil menyadari ada satu ketentuan yang masih mengganjal. Yakni, keharusan minimal dua pihak pemegang saham. “Kita memang masih mewajibkan kepemilikan saham minimal dua orang. Kita belum seperti Eropa yang sudah membolehkan satu pihak mendirikan sebuah PT.”

Menurut Akil, hal ini karena sistem hukum Indonesia belum sedewasa Benua Biru. “Lihat saja. Mereka sudah punya sistem penegakan hukum yang bagus. Mata uang pun bisa satu untuk sekawasan. Kalau di Indoensia, jujur saja, banyak orang yang bikin PT hanya untuk bobol bank. Era kita memang belum sampai ke sana.”

Akil juga sedikit menerangkan seluk-beluk saham. Untuk buy-back saham, menurut Akil, hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang sudah listing di lantai bursa. “Makanya, kita juga kudu menengok peraturan pasar modal.” Perusahaan yang membeli sahamnya kembali dari publik, hanya boleh menggenggamnya hingga tiga tahun. Pilihannya, saham buy-back itu harus dijual kembali, atau harus menyunat jumlah modal.

Sementara itu juru bicara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Idham mengingatkan UU PT kali ini memberi ruang kewenangan yang luas bagi pemerintah. “Karena itulah, kepemimpinan adalah kuncinya. Apakah pemerintah akan tunduk kepada gurita korporasi asing, atau tetap berdikari,” ujar Idham.

(Ycb/IHW)

No comments: