Monday, February 25, 2008

Demi Jimly, Independensi DPR Dipertaruhkan

Hukum Online

Seleksi Hakim MK:
[25/2/08]
Kalau Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie benar-benar ikut seleksi lewat pintu DPR, hampir bisa dipastikan ia akan lolos. Hanya, DPR masih perlu mengutak-atik mekanisme fit and proper test yang pas untuk calon incumbent seperti Jimly.

Pengumuman pelaksanaan seleksi hakim MK oleh DPR di media massa beberapa waktu lalu seperti tidak ada artinya. Sebab, setelah pendaftaran ditutup, nyatanya DPR masih menerima 'pendaftaran'. Hanya, kali ini yang boleh turut serta bukan masyarakat biasa, melainkan fraksi-fraksi di DPR.

Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan memberi alasan, 16 nama yang kini dikantongi DPR—hasil seleksi dari 21 pendaftar—masih jauh dari harapan. “Kami tidak tahu track record mereka,” ujarnya, di Gedung DPR, Senin (25/2). Sebagian besar para pendaftar itu adalah praktisi hukum dan akademisi yang kemampuannya masih diragukan. Mereka juga dianggap tidak memenuhi parameter seorang negarawan.

Setelah melakukan evaluasi, Tim Kecil yang diketuai Mulfachri Harahap punya dua solusi. Solusi pertama ialah membuka perndaftaran baru. Solusi kedua adalah memberi kesempatan kepada tiap fraksi untuk mengusulkan calon. “Akhirnya yang mengemuka, fraksi boleh mengusulkan. Merujuk kepada periode yang lalu,” beber Trimedya.

Sejauh ini baru empat fraksi yang mengusung calonnya: F-PG mencalonkan Akil Mukhtar, F-PAN mencalonkan Jimly Asshiddiqie, F-PPP mencalonkan Jimly Asshiddiqie dan Deddy Ismaullah, serta F-PKS mencalonkan Prof. Mahfud MD, Akil Mukhtar dan Taufikurrahman Syahuri.

Seperti diduga sebelumnya, para wakil rakyat masih kepincut kepada sosok Jimly. Tidak mengherankan, bersama Prof. Mahfud MD dan Akil Mukhtar, Jimly disebut-sebut punya kans paling besar dibanding calon-calon lain. Fachri Hamzah, anggota Komisi III dari FPKS, bahkan memprediksi ketiga orang itu bakal melenggang dengan lancar. “Pak Jimly itu kurang apa? Prof. Mahfud MD dan Pak Akil kita tahu adalah orang yang sangat kompeten,” ucapnya.

Anggota Komisi III dari FPG Aziz Syamsuddin membantah pendaftar yang diusung fraksi mendapat jaminan lolos. “Kalau memang nggak patut, ya tidak diloloskan,” ungkapnya.

Soal independensi memang menjadi pertaruhan besar bagi Komisi III, apalagi calon yang digadang-gadang itu adalah Jimly Asshiddiqie yang masih menjabat Ketua MK serta Prof. Mahfud MD dan Akil Mukhtar yang tergolong 'orang dalam' DPR. Apakah DPR akan tetap obyektif? “Mudah-mudahan iya,” jawab Trimedya.

Nasib Incumbent

Jika Jimly Asshiddiqie ikut serta dalam pencalonan ini, maka terdapat dua calon incumbent: Harjono yang dulu dipilih pemerintah dan Jimly yang dulu dipilih DPR. Berbeda dengan Harjono yang mendaftar sendiri, Jimly lebih memilih 'dipinang'. Ini sesuai dengan statemennya di beberapa kesempatan. Ia menolak ikut seleksi bila harus menjalani fit and proper test lagi.

Terhadap dua calon itu, rencananya bakal diterapkan mekanisme yang berbeda. Jimly, karena dulu pernah lolos fit and proper test, diusulkan agar tidak perlu menjalani fit and proper test lagi. Sementara itu Harjono, karena dulu tidak perlu menjalani fit and proper test, diusulkan agar mengikuti fit and proper test.

“Itu masih wacana,” kata Fachri. Ia membeberkan, pandangan Komisi III secara umum terpilah menjadi dua. Empat fraksi (FPAN, FPD, FPDS dan FPDIP) ingin agar calon incumbent diperlakukan sama dengan calon yang lain. Sedangkan enam fraksi lainnya berharap agar calon incumbent diberi privelege.

Teka-teki ini akan dipecahkan pada rapat Selasa (26/2) malam. Hal lain yang akan dibahas adalah penentuan jadwal fit and proper test.

Tabrak Undang-Undang?

Dibanding dengan proses pemilihan pimpinan lembaga negara semacam KPK dan KPU, proses pemilihan hakim MK ini sedikit menyimpang. Dua yang gamblang ialah adanya calon dari fraksi dan –kemungkinan—tiadanya fit and proper test bagi calon incumbent.

Masih belum pudar dari ingatan, Amien Sunaryadi dicecar habis-habisan oleh Komisi III ketika mengikuti lagi seleksi pimpinan KPK. Ia sama sekali tidak diistemawakan meskipun menjadi satu-satunya peserta yang incumbent.

Menurut Aziz Syamsuddin, mekanisme seleksi hakim MK tidak bisa disamakan dengan seleksi pimpinan lembaga semacam KPK dan KPU. Sebab, kedudukan MK setara dengan MA, bahkan Presiden.

“Rapatnya saja sudah beda. Kalau KPK dengan DPR itu rapat dengar pendapat. Kalau MK dengan DPR itu rapat konsultasi,” kata Aziz. Dengan demikian, lanjutnya, DPR tidak melanggar Undang-Undang apapun, termasuk Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang MK.

Sementara itu, Haris Azhar dari Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi, menghimbau agar DPR bertindak sebagai fasilitator buat masyarakat, bukan suksesor bagi orang partai. “Bukan hak absolut DPR untuk memasukan orang-orang partainya ke dalam pencalonan,” ujarnya.

Bila DPR berharap mendapat calon yang sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU MK, Haris menyarankan agar Komisi III mengajukan lamaran kepada calon tersebut. Ini karena, berdasarkan pengalaman, pakar tata negara yang negarawan biasanya enggan mendaftarkan diri.

(Her/Ali)

No comments: