Tuesday, March 6, 2007

Lempar Bola Panas Kasus Penanganan HAM

Selasa, 06 Maret 2007
Seperti bermain bola panas, kasus penanganan penghilangan paksa 13 aktivis pada 1997-1998, terus dilempar sana sini. Akibatnya, ada wacana yang diusulkan DPR supaya kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung bersikukuh, penyidikan perkara itu harus menunggu rekomendasi DPR tentang pembentukan pengadilan HAM ad-hoc. Sedangkan Komnas HAM dan Komisi III DPR berpandangan, kejaksaan agung dapat menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan, tanpa perlu menunggu rekomendasi DPR.

Pangkal perdebatan adalah beda penafsiran atas pasal 43 undang-undang (UU) 26/2000 tentang hak asasi manusia (HAM). ''Perdebatan ini sudah mengarah pada sengketa kewenangan yang diatur UU,'' ujar anggota Komisi III DPR, Akil Muchtar, Senin (5/3). Menurut Akil, persoalannya bukan mengenai Komnas HAM yang keberadaannya merupakan derivasi UU, tetapi pada sengketa antar lembaga antara DPR, pemerintah, dan Komnas HAM.

Pertemuan segitiga ketiga lembaga berlangsung di DPR, Senin (5/3). Pertemuan ini berlangsung dalam tempo lambat. Seusai Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membacakan sikap kejaksaan agung, hujan interupsi mulai bermunculan. Interupsi tidak mempersoalkan sikap kejaksaan agung, tetapi mempertanyakan esensi pertemuan itu. Pasalnya, DPR telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengkaji polemik ketiga lembaga atas penanganan penghilangan paksa 13 aktivis pada 1997-1998 lalu.

Ketua Komisi III, Trimedya Panjaitan, mengakui tidak adanya esensi pertemuan. Tetapi, berdalih pertemuan itu merupakan hasil rapat internal komisi III pada 13 Februari lalu, maka pertemuan yang sudah dijadwalkan itu tetap harus digelar. Maka, pertemuan yang dibuka sekitar pukul 10.00 WIB tersebut berlarut-larut dengan adu argumen perlu tidaknya pertemuan dilanjutkan, hingga diskors pada pukul 12.00 WIB.

Ketika sidang dibuka kembali pukul 13.00 WIB, perdebatan bergeser pada tak adanya titik temu antara kejaksaan agung dan Komnas HAM. Ketika polemik selalu berputar pada penafsiran pasal 43 UU 26/2000, Akil Muchtar melontarkan usulan menyerahkan penafsiran hukum pasal itu pada MK.


Hingga pertemuan dengan komisi III yang kesekian kali, Jaksa Agung tetap bersikukuh penyidikan perkara penghilangan paksa aktivis ini harus menunggu rekomendasi DPR. ''Setelah ada pernyataan DPR adanya pelanggaran HAM berat, Komnas HAM lakukan penyelidikan,'' ujar Arman - panggilan Jaksa Agung. Bahkan, penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM pun harus diulang kembali ketika DPR mengeluarkan rekomendasi adanya pelanggaran HAM berat yang mengharuskan dibentuknya pengadilan HAM ad-hoc.
Atas sikap kejaksaan Agung, anggota komisi III DPR Gayus Lumbuun, berkomentar keras. ''Jaksa Agung terlalu normatif membaca UU,'' kecamnya. Menurut Gayus, kejaksaan harus melakukan penyidikan sebagai tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM yang mengindikasikan adanya pelanggaran HAM berat.
Persoalan locus (lokasi) dan tempos (waktu) kejadian perkara yang selalu dipersoalkan juga oleh Jaksa Agung, dibantah oleh Akil Muchtar. Jaksa Agung berpendapat, locus dan tempos harus ditetapkan oleh DPR sebagaimana bunyi UU. Akil membantahnya dengan mengatakan, hal itu bukan bunyi UU, melainkan penjelasan pasal 46 UU 26/2000. Dan, ujar Akil, DPR bisa memastikan itu setelah ada penyidikan kejaksaan agung. ann ( )

No comments: