Monday, March 26, 2007

Dianggap Bela Menteri Hamid, Kader Golkar Kecam Jusuf Kalla

Senin, 26 Maret 2007 | 21:27 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Akil Mochtar mengecam pernyataan Kalla yang terkesan membela Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.Ia juga meminta Kalla untuk tidak mencampurkan urusan politik dan hukum.

Menurut Akil, semua pihak harus menghormati proses hukum dan membiarkan penyidik melakukan pembuktian. "Sebaiknya kembali ke proses hukum dulu," kata anggota Fraksi Partai Golkar ini di Mahkamah Agung Jakarta, Senin siang.

Jumat lalu, Kalla menyatakan mendukung tindakan Hamid membantu Tommy Soeharto mencairkan dana di BNP Paribas London senilai Rp 90 miliar. Kalla meminta pencairan dana tersebut tidak dicurigai. Dia berharap masuknya uang Tommy ke Indonesia bisa berguna untuk investasi (Koran Tempo 24 Maret).

Akil maklum jika Jusuf Kalla bisa mengeluarkan pernyataan tersebut. "Dia tidak paham hukum. Dia ekonom." ujar Akil.
TITO SIANIPAR


Tuesday, March 6, 2007

Lempar Bola Panas Kasus Penanganan HAM

Selasa, 06 Maret 2007
Seperti bermain bola panas, kasus penanganan penghilangan paksa 13 aktivis pada 1997-1998, terus dilempar sana sini. Akibatnya, ada wacana yang diusulkan DPR supaya kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung bersikukuh, penyidikan perkara itu harus menunggu rekomendasi DPR tentang pembentukan pengadilan HAM ad-hoc. Sedangkan Komnas HAM dan Komisi III DPR berpandangan, kejaksaan agung dapat menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan, tanpa perlu menunggu rekomendasi DPR.

Pangkal perdebatan adalah beda penafsiran atas pasal 43 undang-undang (UU) 26/2000 tentang hak asasi manusia (HAM). ''Perdebatan ini sudah mengarah pada sengketa kewenangan yang diatur UU,'' ujar anggota Komisi III DPR, Akil Muchtar, Senin (5/3). Menurut Akil, persoalannya bukan mengenai Komnas HAM yang keberadaannya merupakan derivasi UU, tetapi pada sengketa antar lembaga antara DPR, pemerintah, dan Komnas HAM.

Pertemuan segitiga ketiga lembaga berlangsung di DPR, Senin (5/3). Pertemuan ini berlangsung dalam tempo lambat. Seusai Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membacakan sikap kejaksaan agung, hujan interupsi mulai bermunculan. Interupsi tidak mempersoalkan sikap kejaksaan agung, tetapi mempertanyakan esensi pertemuan itu. Pasalnya, DPR telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengkaji polemik ketiga lembaga atas penanganan penghilangan paksa 13 aktivis pada 1997-1998 lalu.

Ketua Komisi III, Trimedya Panjaitan, mengakui tidak adanya esensi pertemuan. Tetapi, berdalih pertemuan itu merupakan hasil rapat internal komisi III pada 13 Februari lalu, maka pertemuan yang sudah dijadwalkan itu tetap harus digelar. Maka, pertemuan yang dibuka sekitar pukul 10.00 WIB tersebut berlarut-larut dengan adu argumen perlu tidaknya pertemuan dilanjutkan, hingga diskors pada pukul 12.00 WIB.

Ketika sidang dibuka kembali pukul 13.00 WIB, perdebatan bergeser pada tak adanya titik temu antara kejaksaan agung dan Komnas HAM. Ketika polemik selalu berputar pada penafsiran pasal 43 UU 26/2000, Akil Muchtar melontarkan usulan menyerahkan penafsiran hukum pasal itu pada MK.


Hingga pertemuan dengan komisi III yang kesekian kali, Jaksa Agung tetap bersikukuh penyidikan perkara penghilangan paksa aktivis ini harus menunggu rekomendasi DPR. ''Setelah ada pernyataan DPR adanya pelanggaran HAM berat, Komnas HAM lakukan penyelidikan,'' ujar Arman - panggilan Jaksa Agung. Bahkan, penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM pun harus diulang kembali ketika DPR mengeluarkan rekomendasi adanya pelanggaran HAM berat yang mengharuskan dibentuknya pengadilan HAM ad-hoc.
Atas sikap kejaksaan Agung, anggota komisi III DPR Gayus Lumbuun, berkomentar keras. ''Jaksa Agung terlalu normatif membaca UU,'' kecamnya. Menurut Gayus, kejaksaan harus melakukan penyidikan sebagai tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM yang mengindikasikan adanya pelanggaran HAM berat.
Persoalan locus (lokasi) dan tempos (waktu) kejadian perkara yang selalu dipersoalkan juga oleh Jaksa Agung, dibantah oleh Akil Muchtar. Jaksa Agung berpendapat, locus dan tempos harus ditetapkan oleh DPR sebagaimana bunyi UU. Akil membantahnya dengan mengatakan, hal itu bukan bunyi UU, melainkan penjelasan pasal 46 UU 26/2000. Dan, ujar Akil, DPR bisa memastikan itu setelah ada penyidikan kejaksaan agung. ann ( )

KASUS PELANGGARAN HAM DIUSULKAN DIBAWA KE MAHKAMAH KONSTITUSI

06 Maret 2007
dpr.go.id

Beberapa anggota Komisi III DPR mengusulkan agar kasus pelanggaran HAM berat dibawa Mahkamah Konstitusi (MK), jika tidak ada cara lain untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Hal ini diusulkan Akil Mochtar, Panda Nababan dan Eva Kusuma Sundari dalam rapat segitiga antara Komisi III, Jaksa Agung dan Ketua Komnas HAM, Senin (5/3) yang dipimpin Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan.
Menurut Akil Mochtar (F-PG), perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dengan Ketua Komnas HAM sudah membahayakan institusi dan sudah masuk dalam kategori sengketa kewenangan. Oleh sebab itu dia mengajak forum tersebut diteruskan ke MK, karena yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga dan ditunjuk oleh UU adalah MK.
Dalam kasus pelanggaran HAM berat dan penghilangan orang secara paksa periode tahun 1997-1998, terjadi perbedaan sengit antara Jaksa Agung dan Ketua Komnas HAM. Jaksa Agung berpendapat dia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut sebelum ada rekomendasi dari DPR tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Sementara dalam kasus tersebut, Komnas HAM mendesak agar Jaksa Agung segera melakukan penyidikan karena berdasarkan penyelidikan proyustisia disimpulkan terdapat bukti yang cukup terjadinya pelanggaran HAM berat. Perbedaan pendapat ini hingga kini belum ada penyelesaiannya.
Akil menambahkan, sebetulnya tidak ada satu pasalpun dalam UU yang menyebutkan bahwa penyidikan itu baru sah jika ada rekomendasi dari DPR.
“Jadi kalau ada asumsi yang dibangun bahwa penyelidikan itu tidak sah dan Kejaksaan tidak akan mau melakukan penyidikan karena harus ada rekomendasi DPR terlebih dulu, itu adalah sengketa kewenangan antar lembaga negara, Presiden, DPR dan Komnas HAM,” kata Akil.
Dalam hal ini Akil menilai terjadi penafsiran yang berbeda terhadap UU yang dibuat. Menurut Akil akan sia-sia saja pertemuan pagi itu jika diteruskan karena belum adanya persepsi yang sama.
Senada dengan itu anggota F-PDIP Panda Nababan mengatakan jika kasus tersebut tidak ketemu penyelesaiannya dia sependapat untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
Karena berdasarkan keterangan Jaksa Agung terhadap kasus tersebut baru dibicarakan dengan Presiden, namun belum ada tindakan apapun.
Sementara anggota dari fraksi yang sama Eva Kusuma Sundari mengatakan mandegnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini berpangkal pada penafsiran hukum yang berbeda.
Untuk itu, ia mengusulkan mencari profesional opinion, dimana Komisi III mengambil inisiatif mengadakan pertemuan dengan MK untuk mencari penafsiran yang adil dan profesional sesuai dengan porsinya. Di sini, kata Eva, jika diperlukan tidak menutup kemungkinan mengundang pendapat ahli dari luar negeri.
Menanggapi usulan dari ketiga anggota Dewan tersebut, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan prosedur UU tetap harus dipenuhi. Menurut Abdul Rahman sikap pemerintah sudah jelas seperti yang dijalankan Jaksa Agung. Dalam hal ini Pemerintah tetap menhendaki peran dari DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Berlangsung Alot
Rapat pagi itu berlangsung cukup alot karena adanya perbedaan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu. Sebelumnya beberapa anggota menginginkan rapat ditutup sampai disitu saja, karena pe-rmasalahan akan berputar-putar disitu tanpa adanya penyelesaian.
Seperti H. Achmad Fauzi (F-PD), Azlaini Agus (F-PAN) dan Nur Syamsi Nurlan (F-BPD) yang menginginkan rapat dihentikan karena akan menambah keruh suasana.
Namun Lukman Hakim Saifudin (F-PPP), Nursyahbani Katjasungkana (F-KB), Gayus Lumbuun (F-PG) menginginkan agar rapat tetap diteruskan karena pertemuan itu merupakan kesempatan langka untuk bisa mendengar langsung pendapat dari Jaksa Agung maupun Ketua Komnas HAM. Rapat diskors satu jam dan akhirnya rapat tetap diteruskan kembali hingga sore hari. (tt)