Abdul Manan
TEMPO Edisi 051113-037/Hal. 96 Rubrik Hukum
Agar bergigi, Komisi Yudisial berencana mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Produk politik yang diwarnai tarik-menarik kepentingan?
KOMISI Yudisial melayangkan sepucuk surat ke Mahkamah Agung, 31 Oktober lalu. Isinya, menanyakan kelanjutan nasib rekomendasinya terhadap lima hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah Depok. “Sudah terlalu lama belum ada tindak lanjut,” kata anggota Komisi Yudisial, Iraway Joenoes.
Dalam rekomendasi tersebut, Komisi meminta kepada MA agar ketua majelis hakim sengketa pemilihan kepala daerah Depok, Nana Juwana, diberhentikan sementara. Empat hakim lainnya, Hadi Lelana, Rata Kembaren, Sopyan Royan, dan Ginalita Silitonga, diberi teguran tertulis sebab kelimanya dinilai bertindak tidak profesional saat menganulir kemenangan Nurhamudi Ismail sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah Depok.
Mahkamah Agung memang belum merespons rekomendasi itu. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beralasan, rekomendasi itu akan dibahas setelah majelis hakim peninjauan kembali memutuskan perkara sengketa pemilihannya. “Kita utamakan perkara pokoknya, baru yang lain,” kata Bagir.
Komisi Yudisial, tentu saja, tak bisa memaksa Mahkamah Agung, sebab kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberi rekomendasi; tidak lebih. Pasal 13 Undang-Undang Komisi Yudisial memang menyebut dengan tegas bahwa tugas Komisi adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Untuk melaksanakan tugas nomor dua, Komisi Yudisial hanya sebatas memberi rekomendasi. Sanksi yang bisa diberikan Komisi juga hanya satu yang bersifat mengikat, yaitu teguran tertulis. Dua sanksi lebih berat lainnya, “pemberhentian sementara” dan “pemberhentian”, itu terserah Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Komisi merasa tak bergigi.
Menurut mantan Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, memang sebatas itulah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Komisi. Mengenai soal sifat sanksi pemecatan yang tak mengikat, misalnya, menurut dia, mekanisme pemecatan hakim juga terikat pada Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Kepegawaian. “Karena itulah, kewenangan pemecatan itu tetap di tangan Mahkamah Agung,” kata dia.
Komisi Yudisial menyadari kelemahan itu dan sudah berancang-ancang untuk mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain soal obyek pemeriksaan yang diajukan untuk diamendemen, juga soal kewenangan mengeksekusi rekomendasi yang dihasilkan (lihat Kami Memulai dengan Komitmen Moral).
Mantan anggota Panitia Khusus Komisi Yudisial, Akil Mochtar, mengakui bahwa pembatasan kewenangan Komisi Yudisial ini untuk menghindari tumpang tindih dengan peran yang dimiliki Mahkamah Agung. Yang jadi soal kemudian adalah bagaimana jika ada perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut? Menurut Akil, tentu suara Komisi Yudisial yang harus dipakai. Kalau rekomendasi itu diabaikan akan memperburuk citra Mahkamah Agung di masyarakat. “Itu posisi yang harus dipikirkan juga oleh MA.” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Akil Mochtar mempersilakan jika Komisi mengajukan perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. “Tapi mereka jalan dulu. Jangan sama dengan DPD, belum apa-apa minta kewenangan tambahan. Kerja dulu dengan kewenangan yang ada,” ucapnya.
Jalan menuju amendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial agaknya masih panjang. Perdebatan untuk memberi otoritas kelembagaan institusi ini juga akan alot. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dian Rositawati, mengatakan, undang-undang memang memberi kewenangan terbatas kepada Komisi Yudisial. Selain itu, kata dia, ini juga harus dipahami sebagai produk politik yang tentu saja penuh dengan tarik-menarik kepentingan. “Pasti ada lobi-lobi juga di DPR dengan MA,” kata dia. Dari suasana perdebatan dalam pembahasan itu, ada kesan bahwa wewenang Komisi dibatasi agar tak terlalu jauh.
Apalagi kini muncul suara-suara yang menyatakan pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dianggap telah melampaui undang-undang, terutama dalam rekomendasi mereka atas kasus pemilihan kepala daerah Depok. Sebelas hari setelah Komisi memberi rekomendasinya, Nana Juwana dan kawan-kawan secara terbuka menilai Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya. Mereka menilai Komisi memasuki substansi perkara yang bukan wewenangnya.
Protes senada disampaikan Ikatan Hakim Indonesia. Pernyataan sikap organisasi hakim ini disampaikan ketuanya, Abdul Kadir Mappong. Dalam pernyataan sikap 7 Oktober lalu, Pengurus Pusat Ikatan Hakim menilai Komisi telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. “Kita berharap tugas Komisi Yudisial tidak akan bersinggungan dengan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Mappong.
Ikahi menghargai dan menjunjung tinggi kemandirian dan mendukung upaya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, kata Ikahi, tidak tertutup kemungkinan Komisi Yudisial dimanfaatkan pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk menempuh jalan pintas tanpa melalui upaya hukum.
Busyro Muqoddas menampik tudingan itu. Menurut dia, itu kekhawatiran yang berlebihan. “Komisi Yudisial tidak akan menggantikan tugas pengadilan,” katanya. Kalaupun Komisi melihat putusan hakim, hal itu untuk menilai ada-tidaknya kejanggalan dalam produk yang dihasilkan.
Agar bergigi, Komisi Yudisial berencana mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Produk politik yang diwarnai tarik-menarik kepentingan?
KOMISI Yudisial melayangkan sepucuk surat ke Mahkamah Agung, 31 Oktober lalu. Isinya, menanyakan kelanjutan nasib rekomendasinya terhadap lima hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah Depok. “Sudah terlalu lama belum ada tindak lanjut,” kata anggota Komisi Yudisial, Iraway Joenoes.
Dalam rekomendasi tersebut, Komisi meminta kepada MA agar ketua majelis hakim sengketa pemilihan kepala daerah Depok, Nana Juwana, diberhentikan sementara. Empat hakim lainnya, Hadi Lelana, Rata Kembaren, Sopyan Royan, dan Ginalita Silitonga, diberi teguran tertulis sebab kelimanya dinilai bertindak tidak profesional saat menganulir kemenangan Nurhamudi Ismail sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah Depok.
Mahkamah Agung memang belum merespons rekomendasi itu. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beralasan, rekomendasi itu akan dibahas setelah majelis hakim peninjauan kembali memutuskan perkara sengketa pemilihannya. “Kita utamakan perkara pokoknya, baru yang lain,” kata Bagir.
Komisi Yudisial, tentu saja, tak bisa memaksa Mahkamah Agung, sebab kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberi rekomendasi; tidak lebih. Pasal 13 Undang-Undang Komisi Yudisial memang menyebut dengan tegas bahwa tugas Komisi adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Untuk melaksanakan tugas nomor dua, Komisi Yudisial hanya sebatas memberi rekomendasi. Sanksi yang bisa diberikan Komisi juga hanya satu yang bersifat mengikat, yaitu teguran tertulis. Dua sanksi lebih berat lainnya, “pemberhentian sementara” dan “pemberhentian”, itu terserah Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Komisi merasa tak bergigi.
Menurut mantan Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, memang sebatas itulah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Komisi. Mengenai soal sifat sanksi pemecatan yang tak mengikat, misalnya, menurut dia, mekanisme pemecatan hakim juga terikat pada Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Kepegawaian. “Karena itulah, kewenangan pemecatan itu tetap di tangan Mahkamah Agung,” kata dia.
Komisi Yudisial menyadari kelemahan itu dan sudah berancang-ancang untuk mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain soal obyek pemeriksaan yang diajukan untuk diamendemen, juga soal kewenangan mengeksekusi rekomendasi yang dihasilkan (lihat Kami Memulai dengan Komitmen Moral).
Mantan anggota Panitia Khusus Komisi Yudisial, Akil Mochtar, mengakui bahwa pembatasan kewenangan Komisi Yudisial ini untuk menghindari tumpang tindih dengan peran yang dimiliki Mahkamah Agung. Yang jadi soal kemudian adalah bagaimana jika ada perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut? Menurut Akil, tentu suara Komisi Yudisial yang harus dipakai. Kalau rekomendasi itu diabaikan akan memperburuk citra Mahkamah Agung di masyarakat. “Itu posisi yang harus dipikirkan juga oleh MA.” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Akil Mochtar mempersilakan jika Komisi mengajukan perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. “Tapi mereka jalan dulu. Jangan sama dengan DPD, belum apa-apa minta kewenangan tambahan. Kerja dulu dengan kewenangan yang ada,” ucapnya.
Jalan menuju amendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial agaknya masih panjang. Perdebatan untuk memberi otoritas kelembagaan institusi ini juga akan alot. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dian Rositawati, mengatakan, undang-undang memang memberi kewenangan terbatas kepada Komisi Yudisial. Selain itu, kata dia, ini juga harus dipahami sebagai produk politik yang tentu saja penuh dengan tarik-menarik kepentingan. “Pasti ada lobi-lobi juga di DPR dengan MA,” kata dia. Dari suasana perdebatan dalam pembahasan itu, ada kesan bahwa wewenang Komisi dibatasi agar tak terlalu jauh.
Apalagi kini muncul suara-suara yang menyatakan pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dianggap telah melampaui undang-undang, terutama dalam rekomendasi mereka atas kasus pemilihan kepala daerah Depok. Sebelas hari setelah Komisi memberi rekomendasinya, Nana Juwana dan kawan-kawan secara terbuka menilai Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya. Mereka menilai Komisi memasuki substansi perkara yang bukan wewenangnya.
Protes senada disampaikan Ikatan Hakim Indonesia. Pernyataan sikap organisasi hakim ini disampaikan ketuanya, Abdul Kadir Mappong. Dalam pernyataan sikap 7 Oktober lalu, Pengurus Pusat Ikatan Hakim menilai Komisi telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. “Kita berharap tugas Komisi Yudisial tidak akan bersinggungan dengan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Mappong.
Ikahi menghargai dan menjunjung tinggi kemandirian dan mendukung upaya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, kata Ikahi, tidak tertutup kemungkinan Komisi Yudisial dimanfaatkan pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk menempuh jalan pintas tanpa melalui upaya hukum.
Busyro Muqoddas menampik tudingan itu. Menurut dia, itu kekhawatiran yang berlebihan. “Komisi Yudisial tidak akan menggantikan tugas pengadilan,” katanya. Kalaupun Komisi melihat putusan hakim, hal itu untuk menilai ada-tidaknya kejanggalan dalam produk yang dihasilkan.
Hal. 96 Rubrik Hukum
Saturday, October 28, 2006
Tuesday, October 10, 2006
MENEGASKAN TUGAS DAN WEWENANG KPK
Mahkamah Konstitusi
Selasa , 10 Oktober 2006 15:04:00
Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelenggarakan Sidang Pleno pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat dengan agenda sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan Ahli/Saksi dari Pemohon.
Ada tiga perkara yang akan disidangkan sekaligus, yaitu: perkara 012/PUU-IV/2006 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H.,dkk; perkara 016/PUU-IV/2006 yang diajukan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf, S.H. dkk dan perkara 019/PUU-IV/2006 yang diajukan Capt. Tarcisius Walla dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H., dkk.
Pada sidang sebelumnya (19/9) hadir Abdul Wahid (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM), Qomarudin (Dir. Litigasi Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM) dan Mualimin Abdi (Kabag. Litigasi Dep. Hukum dan HAM) yang mewakili Pemerintah. Sementara dari DPR RI hadir Akil Mochtar (Anggota Komisi III DPR), Rahayu Setiawardani (Ka. Biro Hukum Setjen DPR) dan Rusmanto (Tim Biro Hukum DPR) sedangkan dari Pihak Terkait hadir Taufiequrrahman Ruki (Ketua KPK) dan Tumpak Hatorangan Panggabean (Wakil Ketua KPK).
Akil Mochtar pada kesempatan itu menyatakan, pendapat Pemohon yang berkenaan dengan Pasal 6 huruf c UU KPK yaitu tindakan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum” tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
Menurut Akil, oleh karena prinsip-prinsip yang dijalankan oleh KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud Pasal 6 yang tidak semata-mata berada pada huruf c, tetapi termaktub juga di dalam huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, itu haruslah didasari juga kepada ketentuan Pasal 5 UU KPK, dimana KPK juga dalam mengemban tugas dan wewenangnya haruslah berasaskan kepada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. “Manakala asas ini diterapkan dalam sistem penegakan hukum, maka hal yang termaktub di dalam huruf c bukanlah sesuatu yang dilarang menurut ketentuan Konstitusi maupun ketentuan undang-undang yang lainnya,” tegasnya.
Ketua KPK menanggapi pertanyaan Kuasa Hukum pemohon, Sirra Prayuna, S.H. terkait kata pemberantasan Pasal 1 ayat (3) UU KPK yang juga meliputi pemeriksaan di pengadilan, menyatakan bahwa hal itu memang bertujuan untuk mencari keadilan. “Kita semua tidak boleh munafik di dalam rangka pencarian keadilan sering terjadi perbuatan-perbuatan korupsi,” katanya.
Lebih lanjut Ruki menjelaskan, justru perbuatan korupsi pada saat pemeriksaan di pengadilan itulah yang harus menjadi sasaran. “Praktek-praktek korupsi dalam pemeriksaan di pengadilan yang mendistorsi keadilan, itu yang harus kita pagari dan harus kita berantas,” terang Ruki dalam keterangan lisannya. (Mastiur A.P., Luthfi WE)
Selasa , 10 Oktober 2006 15:04:00
Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelenggarakan Sidang Pleno pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat dengan agenda sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan Ahli/Saksi dari Pemohon.
Ada tiga perkara yang akan disidangkan sekaligus, yaitu: perkara 012/PUU-IV/2006 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H.,dkk; perkara 016/PUU-IV/2006 yang diajukan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf, S.H. dkk dan perkara 019/PUU-IV/2006 yang diajukan Capt. Tarcisius Walla dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H., dkk.
Pada sidang sebelumnya (19/9) hadir Abdul Wahid (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM), Qomarudin (Dir. Litigasi Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM) dan Mualimin Abdi (Kabag. Litigasi Dep. Hukum dan HAM) yang mewakili Pemerintah. Sementara dari DPR RI hadir Akil Mochtar (Anggota Komisi III DPR), Rahayu Setiawardani (Ka. Biro Hukum Setjen DPR) dan Rusmanto (Tim Biro Hukum DPR) sedangkan dari Pihak Terkait hadir Taufiequrrahman Ruki (Ketua KPK) dan Tumpak Hatorangan Panggabean (Wakil Ketua KPK).
Akil Mochtar pada kesempatan itu menyatakan, pendapat Pemohon yang berkenaan dengan Pasal 6 huruf c UU KPK yaitu tindakan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum” tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
Menurut Akil, oleh karena prinsip-prinsip yang dijalankan oleh KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud Pasal 6 yang tidak semata-mata berada pada huruf c, tetapi termaktub juga di dalam huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, itu haruslah didasari juga kepada ketentuan Pasal 5 UU KPK, dimana KPK juga dalam mengemban tugas dan wewenangnya haruslah berasaskan kepada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. “Manakala asas ini diterapkan dalam sistem penegakan hukum, maka hal yang termaktub di dalam huruf c bukanlah sesuatu yang dilarang menurut ketentuan Konstitusi maupun ketentuan undang-undang yang lainnya,” tegasnya.
Ketua KPK menanggapi pertanyaan Kuasa Hukum pemohon, Sirra Prayuna, S.H. terkait kata pemberantasan Pasal 1 ayat (3) UU KPK yang juga meliputi pemeriksaan di pengadilan, menyatakan bahwa hal itu memang bertujuan untuk mencari keadilan. “Kita semua tidak boleh munafik di dalam rangka pencarian keadilan sering terjadi perbuatan-perbuatan korupsi,” katanya.
Lebih lanjut Ruki menjelaskan, justru perbuatan korupsi pada saat pemeriksaan di pengadilan itulah yang harus menjadi sasaran. “Praktek-praktek korupsi dalam pemeriksaan di pengadilan yang mendistorsi keadilan, itu yang harus kita pagari dan harus kita berantas,” terang Ruki dalam keterangan lisannya. (Mastiur A.P., Luthfi WE)
Subscribe to:
Posts (Atom)