Media Indonesia
Selasa, 24 September 2002
Jakarta, Media
KASUS hukum yang menyangkut pejabat publik bukan yang pertama, dan mungkin
bukan pula kasus yang terakhir, bahwa seorang pejabat publik divonis
bersalah atas kasus pidana korupsi. Kendatipun, vonis ini belum berkekuatan
hukum tetap, jika terjadi di daerah, maka pejabat publik itu harus berhenti
sementara, seperti yang diatur PP 108/2000. Namun, kini terjadi di
pemerintahan pusat dan belum ada hukum yang mengaturnya. Kekosongan hukum
inilah menjadi awal pro dan kontra terhadap kasus Akbar Tandjung.
Pihak yang kontra (70 dari 500 anggota DPR) menginginkan Akbar Tandjung
nonaktif sebagai Ketua DPR, baik atas inisiatif pribadi atau dipaksa DPR
sebagai lembaga. Namun, bagi pihak yang pro berpendapat sebaliknya, bahwa
hak Akbar Tandjung untuk tetap menjadi Ketua DPR harus dihormati, karena
Akbar belum tentu bersalah. Pro dan kontra terus terjadi.
"Apa hikmah yang kita ambil dari kasus Akbar Tandjung untuk perbaikan sistem politik dan
hukum kita?" ungkap Denny JA saat memandu diskusi interaktif Parliament
Watch, Kamis, pekan lalu. Pertanyaan itu terutama dilontarkan kepada peserta
diskusi dari DPR, Firman Jaya Daeli dari Fraksi PDIP dan M Akil Mochtar dari
Fraksi Partai Golkar, sedangkan dari pakar dan analis hukum tata negara
Satya Arinanto.
Firman Jaya mengemukakan bahwa dia meminta Akbar nonaktif tidak datang
dengan sendirinya, tetapi berdasarkan realitas dan fakta politik. Yakni
putusan pidana dari instansi, oleh keputusan resmi di dalam sistem yang
resmi pula. Firman mengakui, bahwa belum ada keputusan pengadilan yang
memunyai kekuatan hukum yang tetap, dan hasilnya pun belum diketahui.
Kenyataan ini kemudian direspons dengan meminta agar Akbar dinonaktifkan
DPR. ''Ini yang elegan, kami tidak meminta untuk mundur, karena belum ada
keputusan pengadilan yang tetap,'' ungkap Firman.
Menanggapi hal ini, Akil Mochtar mengatakan bahwa dalam perspektif negara
hukum dijamin prinsip-prinsip kesetaraan atau equality. Sehingga memandang
setiap warga negara sama hak dan kedudukannya di depan hukum. Ketika
seseorang sedang menjalani proses hukum dalam tahapan-tahapan hukum dijamin
hak-haknya. ''Satu di antaranya misalnya asas hukum di negeri ini, seseorang
itu wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hukum yang
berkekuatan tetap,'' ungkap Akil.
Dia menegaskan, bahwa hal itu bukan kata darinya, bukan juga kata parlemen,
bukan juga kata politikus, tapi adalah undang-undang yang secara eksplisit
disebutkan di dalam KUHAP Pasal 8 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Itu jelas sekali yang menjadi dasar bahwa sebuah sistem
hukum yang menjamin hak-hak asasi manusia.
Lebih jauh Akil menambahkan, bahwa hal-hal yang terkait dengan masalah ini
memunyai variabel yang banyak sekali, apalagi politik sebuah proses yang
sangat dinamis. Hal ini tidak bisa diukur dengan posisi Golkar di dalam
kepemimpinan nasional, karena pemilu sebuah acuan nasional daripada sebuah
proses politik belum dilakukan. Output itu baru bisa dilihat pada Pemilu
2004.
Menyinggung tentang citra Dewan, menurut Akil bisa ditafsirkan dan
diimplementasikan dalam bentuk tugas dan kewajiban DPR. Dalam hal citra
tersebut, Akil berkeyakinan bahwa tidak akan terganggu manakala sebuah
proses yang diberikan oleh undang-undang kepada Dewan tidak berjalan.
Misalnya, banyak sekali anggota Dewan yang tidak hadir untuk sebuah proses
yang dilakukan.
Menyinggung soal image, Akil juga mengatakan, tergantung dilihat dari sudut
mana, selain itu hak orang juga harus dihargai. Sehingga ketika menuduh
seseorang maka equality harus dipegang, sedangkan menyangkut image sebuah
lembaga tidak hanya pada posisi ketua, tetapi secara keseluruhan. Artinya,
ketika itu menjadi sebuah keputusan politik, rekomendasi MPR yang
dikeluarkan dalam Tap MPR No 6 Tahun 2002 justru yang menjadi sorotan pada
anggota Dewan itu adalah kurangnya partisipasi kehadiran anggota. Dia
berharap alur politik akan mengambil suatu keputusan, di antaranya dengan
melakukan voting.
Tentang peraturan perundangan yang tidak sejalan antara pusat dan daerah
oleh Denny hal itu ditanyakannya kepada Arinanto.
''Di daerah ada aturan pejabat publik yang berstatus tersangka harus
berhenti sementara. Kenapa tidak ada aturan yang serupa dengan pusat,''
tanya Denny.
Menanggapi hal itu, Satya mengatakan, bahwa dilihat dari peraturan tersebut,
harus mengacu kepada perundangan-undangan dan peraturan-peraturan, yang
payungnya ada dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Di sini tampak ada
suatu perubahan secara pragmatis. Pada saat perubahan kedua misalnya,
terdapat pada Pasal 18, bahwa kepala daerah yang di situ dirinci gubernur,
wali kota, bupati yang dipilih secara demokratis.
Namun pada perubahan ketiga, disebutkan bahwa presiden dipilih langsung.
Seharusnya perubahan kedua itu tidak perlu 'malu-malu' untuk mengatakan
dipilih secara langsung. Namun, di tingkat bawah peraturan di bawah
undang-undang, yaitu peraturan pemerintah terjadi kemajuan yang cukup pesat
sejak keluarnya Undang-Undang No 22 dan 25 Tahun 1999, yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Jadi, peraturan-peraturan pelaksanaan juga dalam tingkat undang-undang itu
cukup banyak dan begitu cepat dikeluarkan. Termasuk menyangkut pasal tadi,
sesuai dengan Peraturan Pemerintah 108 mengenai tata cara pertanggungjawaban
kepala daerah. Di sana sudah ada mekanisme yang tegas. Pada satu sisi tidak
ada penegasan bahwa sebagaimana banyak diinginkan oleh masyarakat, agar
kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
Padahal sudah dinyatakan presiden dipilih secara langsung. Akan tetapi, di
sisi lain untuk masalah pertanggungjawaban itu sudah diatur dalam level
peraturan di bawah undang-undang, yaitu peraturan pemerintah. Di mana
terdapat tiga kriteria, yaitu pertanggungjawaban pada masa akhir masa
jabatan, kemudian pada akhir tahun anggaran, dan karena hal tertentu. Karena
hal tertentu ini, yang terakhir ini, terjadi dalam kasus Gubernur Kalimantan
Selatan. Jadi, ada ketidakpercayaan publik dan sebagainya.
Menyinggung soal mekanisme untuk menyelesaikan pro-kontra, yakni dengan
mekanisme voting, Firman Jaya mengakui itu sebagai salah satu mekanisme
politik. Akan tetapi dia berharap, agar sebelum dilakukan voting dinamika
dan pikiran-pikiran yang berkembang dan apa yang menjadi pertimbangan
disampaikan kepada publik.
Untuk melakukan voting tersebut, yaitu dengan mengikuti mekanisme dan kultur
politik, maka paling tidak Badan Musyawarah (Bamus) DPR mengacarakan pada
sidang paripurna untuk mendengar penjelasn pengusul. Kalau bisa
dimusyawarahkan, tapi ada pula aturan lain, yaitu dengan melakukan voting.
Satu hal yang ingin diluruskan oleh Firman Jaya, bahwa usul yang
disampaikannya bersama teman-teman adalah meminta untuk nonaktif, bukan
sebuah mosi tidak percaya.
Ia sendiri tidak tahu-menahu dari mana asal usul munculnya istilah itu, karena yang mereka minta hanyalah menonaktifkan.
Permintaan itu diminta melalui mekanisme formal sehingga tidak ada anarkisme
politik. ''Sesunggunya kita juga jangan masuk perangkap skenario politik dan
opini politik, bahwa ini pendekatannya kuantitatif,'' ungkap Firman.
Menurut Firman, pada proses awalnya ini adalah usulan sejumlah anggota yang
disampaikan di dalam sidang paripurna, baru kemudian akan menjadi bagian
yang harus direspons oleh fraksi-fraksi.
Firman mengemukakan, pihaknya sudah menggunakan hak untuk mengartikulasikan
apa yang menjadi aspirasi masyarakat sehingga pihaknya terpanggil untuk
menyampaikannya. Kemudian menyangkut soal proses politik berikutnya, hal itu
menjadi dinamika eksternal dan internal parlemen dan fraksi-fraksi di DPR.
(Rasyid R Sulaiman/A-1)
Tuesday, September 24, 2002
Parliament Watch Solusi untuk Akbar Tanjung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment