Sunday, August 22, 2004
Kesepakatan Pansus RUU KKR: Pengungkapan Pelanggaran HAM sejak Tahun 1945
22 Agustus 2004,
Kompas, Jakarta.
Setelah berdebat sekian lama, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR akhirnya sepakat menentukan bahwa batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan ditangani oleh komisi ini adalah semenjak 17 Agustus 1945.
Pansus juga bersepakat menamakan RUU ini sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan Komisi Rekonsiliasi. Namun, Pansus belum memasukkan definisi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam RUU tersebut. Sebaliknya, definisi korban dicantumkan dalam rancangan.
Jika substansi RUU tersebut tak berubah lagi, Komisi diberi kewenangan untuk mengungkapkan pelanggaran HAM sejak 17 Agustus 1945 hingga diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni selama 55 tahun.
Dengan adanya kesepakatan batas waktu kasus, menurut Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudhorie, akan banyak kasus pelanggaran HAM yang bisa ditangani komisi ini bila terbentuk nantinya.
"Mulai dari peristiwa Republik Maluku Selatan, pemberontakan PRRI/ Permesta, DI/TII, Organisasi Papua Merdeka, peristiwa Lampung, Tanjung Priok, ninja Banyuwangi, dan banyak kasus lagi," kata Sofwan sebelum Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KKR di Gedung DPR/MPR, Kamis (19/8).
Tidak menyulitkanMeski jumlah kasus pelanggaran HAM yang diungkap sejak 1945, Sofwan yakin, itu tidak akan menyulitkan kerja komisi. Pasalnya, dalam RUU telah ditetapkan filternya. Penyaringnya adalah kasus tersebut harus memiliki bukti, ada korban, dan dirasakan berpengaruh pada disintegrasi bangsa.
Penetapan tahun 1945 itu sendiri disepakati Pansus karena dianggap sebagai awal dari berdirinya negara.Mengenai tidak adanya definisi pelaku dalam rancangan, Wakil Ketua RUU KKR Akil Mochtar membantah bahwa hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan pelaku ketimbang korban.Dia berpendapat, jika pelaku didefinisikan justru akan menimbulkan konsekuensi dan membatasi pengungkapan kebenaran.
"Kalau nomenklatur pelaku ditetapkan dalam RUU, pasti akan menimbulkan konsekuensi," ucapnya.
Ia berpendapat, dengan tidak adanya definisi, pelaku pelanggaran HAM di masa lalu akan terungkap dengan sendirinya, dikarenakan dalam RUU KKR dimungkinkan terjadinya pengungkapan kebenaran oleh korban.
"Dengan pengungkapan kebenaran, diam-diam, pelaku akan muncul dengan sendirinya," jelasnya.Keanggotaan komisiMengenai keanggotaan komisi, Panja RUU KKR telah menyepakati berjumlah 21 orang. Mereka terdiri atas satu ketua, dua wakil ketua, dan 18 anggota.
Keanggotaan komisi terbagi menjadi tiga subkomisi. Pertama, subkomisi penyelidikan dan klarifikasi (sembilan orang). Kedua, subkomisi rehabilitasi, restitusi, kompensasi (lima orang). Ketiga, subkomisi pertimbangan dan amnesti (empat orang). Keanggotaan komisi ini dipilih sebuah tim seleksi yang terdiri atas lima orang, dua dari pemerintah dan tiga ditentukan DPR. Kendati demikian, proses pemilihan tim seleksi belum dibahas Panja.
"Kita baru menyepakati bahwa jumlah anggota tim seleksi yang berasal dari DPR harus lebih besar dari pemerintah," kata Sofwan.
Mengenai prosedur seleksi anggota komisi, Panja juga belum memutuskan. Namun, Panja sudah menyepakati bahwa keanggotaan komisi berasal dari non partisan.Sementara itu, mengenai masa kerja komisi, Akil menjelaskan, Panja telah menyepakati selama tiga tahun.
Namun, apabila dalam waktu tiga tahun belum terselesaikan maka komisi dapat memperpanjang masa kerja menjadi dua tahun. Apabila waktu tersebut belum juga terselesaikan, komisi dapat memperpanjang kembali masa kerja sampai dua tahun berikutnya.
Atas dasar itu, Akil yakin bahwa meski pengungkapan pelanggaran HAM yang diatur dalam RUU ini mulai dari tahun 1945, komisi ini akan dapat menyelesaikan tugas pada waktunya.RUU KKR ini ditargetkan selesai pada September 2004 sebelum masa kerja DPR periode 1999-2004 berakhir.
Tuesday, July 20, 2004
Pemerintah Menyiapkan Perpu tentang Penebangan Liar
Jakarta, Kompas - Setelah berhasil "meloloskan" Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan untuk mengatasi penambangan di hutan lindung, pemerintah kini menyiapkan perpu untuk mengatasi penebangan liar dan perdagangan liar kayu yang semakin marak.
"Drafnya sudah ada, bahkan sudah dibahas dan disetujui di sidang kabinet tanggal 11 Maret lalu. Tetapi, kami tunggu momentum yang tepat untuk menyerahkannya ke DPR. Sekarang ini kurang tepat momentumnya," kata Menteri Kehutanan M Prakosa seusai mengikuti rapat kabinet terbatas di Istana Negara Jakarta, Senin (19/7).
Ia menjelaskan, inti dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) itu adalah melakukan proses hukum secara cepat terhadap kasus penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) kayu. "Dan sasaran kita adalah cukongnya, bukan pelaku penebangannya, atau sopir truk yang mengangkut kayu itu," katanya.
Menurut Prakosa, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini hampir dapat dipastikan tidak akan dapat memberantas praktik penebangan kayu secara liar dan penyelundupan kayu. "Jika ikuti KUHAP, sampai kapan pun tidak akan bisa menangkap cukongnya. Harus ada hukum acara khusus," ujarnya.
Hukum acara khusus tersebut, termasuk di antaranya adalah dimungkinkan menangkap cukong dengan hanya menggunakan informasi intelijen. "Info intelijen bisa dipakai. Selain itu, pihak yang ditengarai melakukan illegal logging harus membuktikan, dia tidak bersalah. Jadi kita pakai pembuktian terbalik," tuturnya.
Menanggapi fakta bahwa Malaysia menjadi daerah tujuan utama penyelundupan kayu hasil penebangan liar, Prakosa mengatakan, "Itu sudah lama kita sampaikan kepada Pemerintah Malaysia. Tetapi, sampai sekarang belum ada bukti dukungan konkret dari Malaysia untuk menangani illegal logging dan illegal trading ini."
Oleh karena itu, lanjut Prakosa, upaya penanganan penebangan kayu liar dan penyelundupan kayu difokuskan pada penanganan di dalam negeri. "Kami tangani all out dulu di dalam negeri," katanya. Setiap tahun kerugian yang diderita Indonesia dari praktik penebangan liar sekitar Rp 30 triliun.
Tak sanggup
Akil Mochtar, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Pontianak, Kalimantan Barat, juga mengungkapkan pentingnya dikeluarkan perpu untuk mengatasi maraknya penyelundupan kayu ke Sarawak, Malaysia Timur, melalui perbatasan darat dan laut Kalimantan Barat.
Menurut Akil, sampai sekarang tidak ada satu institusi pun, mulai dari tingkat desa hingga pemerintah pusat, yang sanggup menangani masalah ini. Yang terjadi, justru banyak pihak mengambil keuntungan dari para cukong asing itu.
Aturan dan penegakan hukum di sektor kehutanan di daerah benar-benar sudah lumpuh, dikalahkan para pelaku penebangan liar. “Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kalau negara mau menyelamatkan asetnya, maka satu-satunya jalan adalah mengeluarkan kebijakan tersebut," katanya.
Akil mengatakan, pihaknya dalam beberapa kali pertemuan Komisi II DPR dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyampaikan masalah ini. Namun, masalah tersebut selalu tidak pernah tuntas ditangani. Hal ini terbukti dari beberapa kali operasi pemberantasan penebangan liar di Kalimantan Barat (Kalbar) dengan nama operasi Wanalaga dalam dua tahun terakhir, tidak banyak membuahkan hasil. Bahkan, sampai sekarang cukong-cokung kayu Malaysia dengan leluasa membabat hutan di perbatasan Kalbar, terutama di Kabupaten Kapuas Hulu.
Sekretaris Komisariat Daerah (Komda) Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Kalbar Gusti Hardiansyah mengatakan, akibat praktik ilegal yang sampai sekarang tidak jelas penanganannya di Kalbar, industri perkayuan di sana terus berguguran karena kekurangan bahan baku. Keadaan ini terjadi karena areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) juga dirambah para pelaku penebangan liar.
Pakar Hukum Adat Thambun Anyang di Pontianak sebelumnya mengatakan, untuk menyelamatkan sisa hutan di negeri ini harus ada upaya memutus hubungan antara penebang kayu, dengan cara mengusir atau menangkap cukong-cukong kayu terutama dari Malaysia.
Dari hasil pemantauan Kompas di Badau belum lama ini, misalnya, sulit menghentikan kegiatan penyelundupan kayu ke negeri jiran itu karena sebagian besar masyarakat di daerah tersebut, baik warga setempat maupun pendatang, sangat tergantung pada kegiatan penebangan hutan di daerah itu.
Ketergantungan kepada cukong kayu tidak hanya pada tingkat masyarakat biasa, tetapi juga kegiatan pemerintahan tingkat kabupaten.
Kenyataan ini antara lain bisa dilihat dari jenis pembayaran tetap pemodal yang terkait dengan kayu ilegal dari Kapuas Hulu, yakni sekitar 14 jenis pembayaran, baik berupa pungutan maupun upah dengan nilai berkisar Rp 15.000-Rp 100.000 per meter kubik.
Sedangkan titik kegiatan penebangan di daerah tersebut sedikitnya ada 60 titik base camp saat ini. Satu base camp bisa menghasilakan 18 meter kubik atau sekitar enam truk. Pada tahun 2001-2002, dari 19 cukong kayu Malaysia yang beroperasi di hutan Kapuas Hulu, setiap tahun bisa membabat dan mengangkut kayu dengan menggunakan 23.000-31.000 rit kendaraan truk.
Ini artinya setiap hari berkisar 80-100 truk kayu ilegal dari daerah diselundupkan ke Sarawak. Satu kali angkutan, dibayar berkisar Rp 300.000-Rp 400.000 per truk.
Sementara dari Entikong, dari perhitungan harga kayu saja, di Kuching kayu hasil selundupan dari Indonesia dijual sekitar 1.300 ringgit Malaysia (RM) atau Rp 3 juta per meter kubik. Padahal, di Entikong, kayu itu dibeli dengan harga Rp 320 RM atau sekitar Rp 800.00. Di Pontianak , dijual dengan harga sekitar Rp 600.000-Rp 700.000 per meter kubik.
Tahun 2002 saja kegiatan pengangkutan kayu ilegal melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong ke Tebedu mencapai 4.703 truk, atau setiap hari sedikitnya ada 40 truk bermuatan kayu ilegal yang melintas di pintu negara resmi ini.
Sedangkan di Pelabuhan Sematan, selama tahun 2002 ada 1.716 kapal dengan jumlah kayu yang diangkut berkisar 370.000-400.000 meter kubik. Di Entikong dan Badau sendiri pada tahun tersebut volume kayu yang diselundupkan hampir sekitar 350.000 meter kubik.
Jika dijumlah, setiap tahun sedikitnya 1 juta meter kubik kayu diselundupkan ke Sarawak. Sementara, realisasi tebangan dari Hak Pengusahaan Hutan di Kalbar berdasarkan rencana karya tahunan pada tahun yang sama hanya sekitar 350.000 meter kubik. (ely/FUL)