Tuesday, April 24, 2007

Kapolri Didesak Tindak Kapolda Tak Tegas Terhadap Pembalak Liar

Jakarta ( Berita ) : Kalangan Komisi III DPR mendesak Kapolri Jenderal Sutanto untuk menindak para kapolda yang tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap pembalak liar di wilayahnya.

Sejumlah anggota Komisi III (bidang hukum) mengemukakan hal itu di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (24/07) terkait dengan maraknya kasus pembalakan liar di berbagai daerah.

Komisi III menilai kepolisian kurang bertndak tegas sehingga kasus itu semakin meluas atau banyak di berbagai daerah yangmengakibatkan hutan makin rusak.

Desakan juga telah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Panitia Kerja (Panja) Illegal Logging DPR dengan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus Kejagung Kemas Yahya Rahman, JAM Pidana Umum AH Ritonga, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Bambang Hendarso Danuri, mantan Menhut M Prakosa dan Kepala Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Negara LH Dasrul Chaniago, pekan lalu.

Tumpang tindih

RDP dipimpin Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin (Golkar).

Dalam rapat tersebut terungkap bahwa salah satu kendala yang menghambat pemberantasan illegal logging adalah adanya peraturam perundangan yang tumpang-tindih serta perbedaan persepsi aparat penegak hukum tentang kejahatan illegal logging.

JAM Pidsus Kejagung Kemas Yahya Rahman mengatakan, salah satu kendala yang menghambat penegakan hukum terkait illegal logging, yaitu tidak adanya kesamaan persepsi antara penuntut umum (jaksa) dengan majelis hakim di pengadilan.

“Kita tuntut dengan hukuman yang berat, tetapi oleh majelis hakim justru dibebaskan,” katanya.

Kabareskrim Mabes Polri Komjen Bambang Hendarso Danuri mengatakan, peraturan yang tumpang tindih menjadi hambatan bagi Polri dalam menangani berbagai kasus illegal logging.

“Aturan yang ada banyak sekali. Kadang kita sulit membedakan mana yang legal dan mana yang tidak legal,” katanya.

Anggota Komisi III dari Fraksi PAN Azlaini Agus menyatakan penanganan pembalakan liar selama ini masih bersifat “tebang pilih”. Di Riau, ada cukong illegal logging yang tidak pernah disentuh hukum. Padahal semua tahu bahwa yang bersangkutan memiliki andil besar dalam pengrusakanhutan.

“Ada cukong yang namanya AJ itu tidak pernah disentuh oleh polisi di sana,” kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Riau itu.

Anggota Komisi III Akil Mochtar dari Fraksi Golkar meminta Panja Illegal Logging Komisi III DPR merekomendasikan pembentukan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) tentang pemberantasan kejahatan illegal logging

Akil mengusulkan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut, yaitu mengeluarkan perppu tentang pemberantasan tindak pidana illegal logging.

“Saya kira perppu merupakan salah satu jalan keluar. Karena itu, Panja perlu merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengeluarkan perppu tersebut,? katanya.

Mengenai alasan keadaan darurat atau mendesak yang menjadi alasan penerbitan perppu, Akil mengemukakan, masih maraknya kejahatan illegal logging dan ketidakmampuan aparat hukum mengatasi kejahatan tersebut, bisa disebut sebagai keadaan darurat.

“Kita harus jujur mengatakan bahwa masalah illegal logging sekarang dalam keadaan darurat,” katanya. (ant)

Monday, April 9, 2007

Koalisi Sembilan Parpol Usung Akil Mochtar

Senin, 09 April 2007

Sinar Harapan

Pontianak – Sembilan partai politik (parpol) memutuskan melakukan koalisi mengusung anggota Komisi III DPR, M Akil Mochtar, berpasangan dengan mantan dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Anselmus Robertus Mecer, untuk maju dalam pemilihan langsung Gubernur/Wakil Gubernur Kalbar periode 2008–2012.

Koalisi deklarasi digelar dan dihadiri ribuan simpatisan pendukung di Gedung Olahraga (GOR) Pangsuma, Pontianak, Sabtu (7/4) lalu. Parpol pengusung, meliputi Partai Penggerak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Partai Pelopor, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama Indonesia (PPNUI) dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Kalbar, Zulfahdhli menegaskan, sudah merupakan hak politik Akil Mochtar yang sekarang masih dicatat sebagai anggota Fraksi Partai Golkar DPR ini untuk dicalonkan dari partai lain dalam Pilkada Gubernur Kalbar.(aju)

Wednesday, April 4, 2007

Akil Akan Tuntut Balik; ICW Pertanyakan Sumber Anggaran RUU Pemekaran



Rabu, 4 April 2007

Sintang.Go.Id -
Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat M Akil Mochtar menegaskan dirinya sama sekali tidak melakukan korupsi. Akil berencana menuntut balik Indonesia Corruption Watch dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran yang mengadukan dirinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

ICW dan Fitra menduga Akil telah menerima dana Rp 680 juta untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Melawi yang merupakan pemekaran dari kabupaten induk, Kabupaten Sintang, tahun 2003. ”Tuduhan itu sepihak. Kasus ini kasus lama, tapi kenapa baru dimunculkan sekarang. Hari ini saya langsung mendapat SMS sampai 135. Saya tidak terima dikatakan korupsi. Saya akan tuntut balik,” ucap Akil yang akan maju dalam pencalonan Gubernur Kalimantan Barat dengan nada geram.

Menurut Akil, dana Rp 680 juta itu diserahkan secara resmi. Dia lalu menunjukkan surat Pejabat Bupati Sintang Ignatius Lyong tertanggal 30 Maret 2005 yang menjelaskan dana itu memang diberikan untuk mendukung pembahasan RUU Pembentukan Kabupaten Melawi.

Soalnya, saat itu animo masyarakat tinggi. Pemda Sintang pun sepakat mendorongnya melalui usul inisiatif DPR. Tapi, dikarenakan ada keterbatasan waktu, pembahasan RUU pun disepakati dilakukan di masa reses dengan konsekuensi segala biaya dibebankan ke APBD.

Menurut Akil, dana itu pun tidak diberikan dalam bentuk uang seluruhnya. Yang diserahkan dalam bentuk uang Rp 102 juta untuk biaya konsinyering, rapat di masa reses. Selebihnya untuk dua kali kegiatan kunjungan ke lokasi sebanyak dua kali. Ada 12 anggota Komisi II yang ikut dalam kunjungan pertama, sedangkan yang kedua, tim Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah turut serta. ”Jadi bukan untuk gratifikasi seperti dituduhkan,” ujarnya.

Sementara itu, Adnan Topan dari ICW dan Arif Nur Alam, Koordinator Fitra, tetap mempertanyakan sumber dana tersebut. Mereka menilai penggunaan dana APBD melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 200 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Mereka mengutip Bab VI tentang Pembiayaan, Pasal 18 Ayat (2) yang menyebutkan: ”Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan kabupaten/kota yang baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun APBD kabupaten/kota yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD kabupaten/kota induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari kabupaten/kota yang baru dibentuk.”

”Artinya, dana APBD itu baru bisa dikeluarkan setelah pembentukan kabupaten/kota baru itu sudah dibentuk, bukan untuk pembuatan RUU,” ujar Adnan.

Arif khawatir apabila cara seperti ini dilegalkan, semua daerah mengikutinya dengan mengambil jalan pintas. Adnan dan Arif membantah laporan mereka penuh dengan muatan politis terkait dengan pilkada. (sut)