Wednesday, June 29, 2005

Cabut Rekomendasi DPR Soal Tragedi Trisakti

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 29/6/05


JAKARTA - Rekomendasi DPR yang intinya menyatakan tidak terjadi pelanggaranhak asasi manusia (HAM) berat dalam kasus penembakan di kampus Trisakti,Semanggi I, dan II, dimungkinkan dianulir atau dicabut kembali. Rekomendasiyang diputuskan dalam rapat paripurna DPR periode 1999-2004 itu bisa dicabutmelalui mekanisme yang sama oleh DPR sekarang (2004-2009).

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum, perundang-undangandan HAM) DPR, Akil Mochtar, kepada Pembaruan di Jakarta, Rabu (29/6) pagi.Berkaitan dengan hal itu, menurut anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) ini,Komisi III telah mengagendakan pembahasan peristiwa Trisakti, Semanggi I,dan II dalam rapat pleno Kamis (30/6).

Pembahasan itu dilakukan menyusul penugasan dari pimpinan DPR ke Komisi IIIterkait dengan masuknya surat dari Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beberapaanggota DPR lainnya yang meminta DPR mencabut rekomendasinya atas kasusTrisakti, Semanggi I dan II.Komisi III, kata Akil, akan mengkaji kemungkinan pencabutan rekomendasi DPRitu dengan mempertimbangkan pendapat fraksi-fraksi.

Suara MayoritasSetelah menggelar pleno, Komisi III akan merekomendasikan kepada pimpinanDPR untuk segera mengelar rapat paripurna dan meminta pendapatfraksi-fraksi. Apakah DPR melalui rapat paripurna akan menganulirrekomendasi DPR sebelumnya, menurut Akil, bergantung pada suara mayoritasfraksi.

Dikemukakan, soal substansi DPR sebenarnya tidak dalam posisi menentukanapakah terjadi pelanggaran HAM berat atau tidak dalam peristiwa Trisakti,Semanggi I, dan II.''DPR bukan lembaga penyidik atau pun eksekutor seperti Kepolisian danKejaksaan, sehingga paling tidak DPR hanya bisa menyatakan ada dugaanpelanggaran HAM berat dan menyerahkan sepenuhnya ke Komnas HAM atauKepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan proses hukum'' ujarnya.

Mengenai kerusuhan Mei, dia mengatakan, ada kemungkinan Komisi IIImerekomendasikan agar DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus).Pansus itu diharapkan melakukan investigasi untuk mencari penyelesaiannya.Penembakan MahasiswaRapat khusus, Kamis, bertujuan mengkaji kembali rekomendasi DPR periode lalubahwa kasus penembakan di Kampus Trisakti yang menewaskan lima mahasiswa,yakni Hery Hartato, Elang Mulya Lesmana, Hendriawan Lesmana, Hafidin Royan,dan Alan Mulyadi bukan pelanggaran HAM berat.

Demikian dikemukakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan (FPDI-P) Panda Nababan di Jakarta, Rabu, menjawabpertanyaan tentang rencana pemerintah dan desakan Komnas HAM untuk mengkajikembali rekomendasi DPR terkait kasus Trisakti dan Semanggi I, dan II.Panda Nababan yang saat itu menjadi Ketua Pansus Kasus Trisakti sertaSemanggi I dan II mengakui, Komnas HAM beberapa waktu lalu telah menyerahkanbahan-bahan hasil kajian investigasi mereka mengenai kasus-kasus itu.

"Saya lihat hasil kajian Komnas HAM sangat berbeda dengan hasil Pansus yangsaya pimpin dulu,'' katanya.Pansus yang dibentuk DPR periode dulu, menurut Panda, dibuat sekadarnyahanya untuk memenuhi permintaan politik dan hasilnya dipakai untukpembenaran politik."

Dulu kami tidak pernah ke TKP (Tempat Kejadian Perkara), cuma memantau darijauh saja, sehingga hasilnya begitu-begitu juga," tambah Panda.Tapi, DPR sekarang memiliki niat dan sikap yang kuat untuk membongkar secaratuntas kasus tersebut. Karena itu, Panda mengharapkan, dalam rapat KamisKomisi III DPR harus berani bersikap dan mengeluarkan rekomendasi, yakni mencabut rekomendasi DPR periode lalu yang mengatakan, peristiwa Trisakti,Semanggi I, dan II bukan pelanggaran HAM berat.

''Kasus-kasus tersebut adalah pelanggaran HAM berat dan karena itu DPR harusmengeluarkan rekomendasi baru," katanya.Dikemukakan, FPDI-P tetap konsisten pada tuntutannya lima tahun lalu, yakniPresiden segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc atau kasus tersebutditangani oleh pengadilan biasa.

Kalau membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, artinya kasus Trisakti dan Semanggi Idan II adalah kasus pelanggaran HAM berat. Tapi, kalau keputusan Komisi IIIDPR nanti merekomendasikan bahwa masalah tersebut ditangani oleh pengadilanbiasa, itu berarti masalah Trisakti dan Semanggi I dan II adalah kasusbiasa.

"Tapi kami FPDI-P menilai kasus Trisakti dan Semanggi I dan II adalahpelanggaran HAM berat yang harus segera dituntaskan," tegasnya.

Dapat DibukaKomnas HAM menilai, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II dapat diungkapkembali. Oleh karena itu, DPR dapat meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untukmenyelidikinya.Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan di sela-sela ForumDialog dan Konsultasi Peningkatan Keamanan, Ketertiban dan Penegakan Hukumyang diselenggarakan Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, danKeamanan di Jakarta, Selasa (28/6).

Dikatakan, Komnas HAM telah selesai menyelidiki kasus Trisakti, Semanggi Idan II. Hasil penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Kejagung dan DPR.Namun, kalangan DPR ketika itu menilai, tidak ada pelanggaran HAM berat,karena itu Kejagung tidak melanjutkan hasil temuan dari Komnas HAM.

Oleh karena itu, menurut Koesparmono, kasus Trisakti, Semanggi I dan IIdapat dibuka kembali oleh DPR. Dalam kasus ini, asas nebis in idem (satuperkara tidak dapat diperadilankan ulang) tidak dilanggar karena memangsebelumnya tidak ada putusan pengadilan. DPR cukup merevisi keputusan mereka sebelumnya.

Dikatakan, bukti-bukti yang telah dikumpulkan Komnas HAM belum bersifatyuridis. Untuk itu, pihak penyidik diminta mengkaji kembali temuan KomnasHAM agar menjadi bukti yuridis. (M-15/L-8/O-1/Y-3)

Monday, June 27, 2005

Profil Komjen (Pol) Sutanto

27-06-2005
Kompas Cyber Media

Jakarta.KCM
Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar) Komisaris Jenderal Polisi Sutanto akhirnya secara resmi diajukan menjadi calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal (Pol) Dai Bachtiar.

Nama pria kelahiran Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950, ini memang sudah santer disebut-sebut akan menjadi Kapolri sejak Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden RI. Presiden dan Sutanto sudah lama saling kenal karena seangkatan ketika menjadi taruna Akademi Angkatan Bersenjata (Akabri).

Sutanto adalah lulusan terbaik Akabri Kepolisian tahun 1973, sementara Susilo adalah lulusan Akabri Darat tahun 1973.Tentunya bukan karena pertemanan dengan presiden, maka Sutanto diajukan ke DPR untuk menjadi Kapolri. Sosok Sutanto dinilai bersih selama karirnya di kepolisian.

"Kita tidak mendahului tetapi secara personal beliau cukup bersih, dua kali menjabat Kapolda yaitu di Sumatera Utara dan Jawa Timur, kemudian masuk Diklat dan terakhir Kepala BNN," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Akil Mochtar.Ketika menjabat Kapolda Sumatera Utara, Sutanto pernah membuat gebrakan untuk memberantas perjudian.

Hal yang sama juga dilakukan saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur. Saat menjabat Kalakhar BNN, Sutanto juga menggebrak dengan melakukan sejumlah penggerebekan sarang pembuatan narkoba. Sutanto juga mengimbau tempat-tempat hiburan mengurangi jam buka untuk mengurangi peredaran narkoba.

Tentang prestasi calon Kapolri ini, Akil Mochtar mengatakan, prestasi tidak menjamin karena kepemimpinan Polri membutuhkan sosok yang mampu menjadikan Polri pelindung masyarakat. Ia juga menambahkan penanganan masalah terorisme menjadi prioritas Kapolri mendatang, namun perubahan struktur di tubuh Polri juga sangat penting.

"Polri jangan dicitrakan angker, masyarakat yang berurusan dengan polisi harus keluar uang banyak kalau ingin masalahnya diurus, tetapi citrakan Polri yang baik yang bisa merespon keluhan masyarakat," katanya.

Profil
Nama: Sutanto
Tempat & Tanggal Lahir: Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950
Jabatan: Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika NasionalPendidikan: Akabri Kepolisian 1973, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) 1983, Sespimpol, Lembang, Bandung (1990), Sus Jur Pa Rengar Hankam, Bandung (1985), Lemhannas (2000)Karir:Kapolsek Metro Kebayoran Lama (1978-1980)Kapolsek Metro Kebayoran Baru (1980)Kapolres Sumenep, Jawa Timur (1991-1992)Kapolres Sidoarjo, Jawa Timur (1992-1994)Waka Polda Metro Jaya (1998-2000)Kapolda Sumut (2000)Kapolda Jatim (17 Oktober 2000-Oktober 2002)- Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri (24 Oktober 2002-28 Februari 2005)- Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (28 Februari 2005-...)

Thursday, June 16, 2005

Rapat Kerja: Hamid Awaludin Dituding Lecehkan DPR

Suara Karya Online
Jumat, 16 September, 2005

JAKARTA: Kesal Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin tak hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III, Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar menilai, menteri yang menjadi perunding RI-GAM di Helsinki itu dianggap melecehkan lembaga perwakilan rakyat.

Menurut Akil, Komisi III DPR RI menyesalkan Menkum dan HAM Hamid Awaluddin yang tidak datang pada rapat kerja di Komisi III DPR Kamis (15/9) itu. "Hamid beralasan dirinya sedang melakukan pertamuan dengan ahli hukum (Senior Law Official Meeting) di Vietnam.

Padahal ke Vietnam itu bisa diwakili oleh pejabat bawahannya," katanya di DPR.Melanjutkan penjelasannya Akil mengemukakan, rapat kerja (raker) dengan Komisi III di DPR lebih penting dibandingkan jalan-jalan ke Vietnam, terutama karena raker Komisi III dengan Menkum dan HAM akan membicarakan masalah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, seperti soal implementasi MoU RI-GAM, amnesti, penyerahan senjata, anggaran pencetakan paspor yang mencapai Rp 250 miliar, dan lain-lain.

"Hamid Awaluddin jelas melecehkan DPR dan karenanya DPR menyesalkan dan itu jangan sampai diulang lagi. Hamid harus banyak memberikan penjelasan pada DPR terkait masalah-masalah yang sedang ditangani tersebut," ujar dia.Namun demikian, Akil enggan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Hamid mundur atau Presiden me-reshuffle.

Itu, jelas dia, akan menjadi permintaan percuma, sebab sudah banyak desakan masyarakat untuk me-reshuffle, tapi Presiden ragu dan tetap menyatakan tidak ada reshuffle. Jadi, sulit untuk mendesak Hamid Awaluddin mundur.

"Yang pasti, kalau Hamid sering mengabaikan DPR, berarti Menkum dan HAM itu sudah tidak bisa bekerja lagi dengan DPR. Tapi, Komisi III DPR masih memberikan kesempatan untuk hadir pada raker 21 September mendatang," paparnya mengingatkan.

Lebih lanjut Akil menandaskan, Hamid tidak bisa mendikte atau menentukan waktunya rapat kerja dengan Komisi III sesuka hatinya. Sebab, DPR lah yang menentukan kapan waktu raker itu digelar. Rapat kerja Menkum dan HAM dengan Komisi III diagendakan digelar pada 21

September mendatang. Hamid sendiri sebelumnya meminta raker digelar 28 September, tapi pada tanggal itu, Komisi III telah mengagendakan rapat dengar pendapat dengan Badan Narkotika Nasional.Kembali soal reshuffle, Akil mengungkapkan, desakan berbagai elemen masyarakat agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet terhadap menteri-menterinya yang dianggap tidak mampu bekerja, ternyata masih ditanggapi dengan ragu-ragu oleh presiden. (Hanif Sobari)

Thursday, June 9, 2005

DPR Pilih 7 Anggota Komisi Yudisial

Kamis, 09 Juni 2005

Jakarta, Kompas - Sebagian besar anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semakin tak meminati untuk mendengarkan masukan masyarakat dan pemerintah tentang RUU KKR. Padahal, KKR tersebut dirancang sebagai lembaga penting yang merupakan alternatif selain pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.

Dalam lima kali rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat atau rapat dengar pendapat dengan pemerintah selama ini, rata-rata hanya sekitar 10 dari 50 anggota pansus yang hadir sampai rapat selesai. Padahal, pansus merencanakan menerima masukan masyarakat 80-90 instansi selama dua bulan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang dipimpin Ramdlon Naning dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) pimpinan Indra Sahnun Lubis hari Selasa (23/9), misalnya, ketika memulai rapat Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) mengumumkan, yang menandatangani daftar presensi 19 orang dan tujuh orang absen. Dengan demikian dianggap hadir 26 dari 50 anggota pansus.

Keluar ruangan

Namun, ketika RDPU selesai hanya sembilan anggota pansus yang bertahan, yaitu Sidharto, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Rusjdi Hamka, serta anggota pansus seperti Gunawan Slamet dan Pandapotan Simanjuntak dari F-PDIP, Amaluddin Nasution dari F-PPP, Mashadi dari Fraksi Reformasi, Zubair Bakry dari Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Astrid Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Barlianta Harahap dari F-PPP dan Nyoman Gunawan dari F-PDIP yang tadinya datang, keluar ruangan terlebih dulu.

Seusai RDPU, Sidharto dan Akil Mochtar mengemukakan bahwa tidak banyaknya anggota pansus yang hadir karena banyak acara yang bersamaan di DPR ketika RDPU berlangsung. Apalagi sebentar lagi DPR memasuki reses. Seperti kemarin, RDPU Pansus RUU KKR bersamaan dengan Rapat Kerja Komisi II dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar dan Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja Majelis Rakyat. "Ini, kan, hanya RDPU yang tidak memerlukan kuorum. Jadi, kalau fraksi sudah ada wakilnya rapat bisa dilanjutkan dan masukannya diteruskan ke fraksi masing-masing," kata Sidharto.

Namun, Akil Mochtar mengharapkan pimpinan fraksi dapat meminta kepada anggotanya di Pansus RUU KKR agar dapat mengikuti rapat secara serius. Dengan demikian, KKR yang akan dibentuk dapat maksimal sesuai yang diharapkan. (bur)