Thursday, November 13, 2003

Pernyataan Panglima TNI soal Pemilu Dipertanyakan

Kompas, 13 November 2003

Jakarta, Kompas -
Peringatan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengenai temuan intelijen soal adanya upaya sabotase untuk menggagalkan Pemilihan Umum 2004 mesti diterima dengan kepala dingin dan tidak dijadikan pembenaran. Untuk itu, semua politisi dan partai politik harus bahu-membahu melumpuhkan skenario penggagalan pesta demokrasi itu.

Demikian tanggapan berbagai kalangan yang dihimpun Kompas, Rabu (12/11), menanggapi peringatan adanya upaya sabotase untuk menggagalkan pemilihan umum yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto (Kompas, 12/11).

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais mengatakan, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 seluruh politisi harus melakukan kampanye dengan cara positif sehingga tidak merugikan partai lain atau orang lain yang ingin menyukseskan pemilu.

"Tidak usahlah partai-partai itu melakukan hal-hal yang negatif, seperti peristiwa Buleleng yang saling bunuh antara kader partai. Itu bisa menjadi pelajaran buat kita. Politisi harus bisa menemukan apa saja hal-hal positif yang bisa dilakukan agar dipilih oleh rakyat," kata Amien di Pondok Pesantren At-Tahdzib, Rejoagung, Ngoro, Jombang, Jawa Timur.

Menurut Amien, upaya untuk menggagalkan pemilu yang disampaikan Panglima TNI harus bisa dicerna sebagai kehati-hatian. "Sebagai Panglima TNI, beliau yang mengetahui lapangan, yang punya intelijen, punya operasi intelijen, sehingga kalau bicara harus ada dasarnya," katanya.

Ketua Umum Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Alwi Shihab juga mengatakan bahwa partai politik perlu menggalang kerja sama konkret untuk melumpuhkan skenario penggagalan Pemilu 2004. Jika pemilu gagal dilaksanakan, hal itu merupakan kemunduran dalam demokrasi Indonesia.

"Sebetulnya bukan saja parpol, kita sebagai bangsa secara keseluruhan harus berupaya agar apa yang disinyalir TNI dapat kita lumpuhkan. Sebab, apabila pesta demokrasi kita ini terhambat, maka kita mengalami setback yang cukup serius," kata Alwi.

Wakil Ketua Umum DPP PKB Mahfud MD mengingatkan, dulu ada juga ramalan bahwa Pemilu 1999 akan kacau-balau, yang ternyata malah berjalan sangat mulus dan bagus. Oleh karena itu, indikasi Panglima TNI merupakan peringatan kepada semua pihak agar berhati-hati.
"Saya kira gerakan sabotase akan menjadi lebih mudah dilakukan manakala parpol main-main. Misalnya, menampilkan caleg (calon anggota legislatif) sembarangan yang tidak menjanjikan kepada masyarakat. Itu bisa menjadi alasan sabotase," katanya.

Di Gedung MPR/DPR, Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, yang penting dilakukan sekarang adalah pemimpin partai satu sama lain bertemu. Menurut dia, kalau Panglima TNI sampai melontarkan pernyataan berdasarkan data intelijen, tentu semua pihak harus memperhatikan dan mempercayainya.

"Kalau dari pihak DPR, jelas dari segi perundang-undangan tidak ada lagi orang yang bisa melakukan perubahan terhadap undang-undang yang ada. Walaupun ada usaha judicial review, kami yakin DPR tidak akan menerima adanya perubahan undang-undang yang telah disepakati," katanya.

Data rinci
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) Akil Mochtar dan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Barlianta Harahap berpendapat, pernyataan adanya upaya-upaya untuk menyabotase pemilu merupakan persoalan besar. Karena itu, Jenderal Endriartono perlu mengungkap data intelijen tersebut secara lebih rinci kepada DPR.

"Kalau data itu benar, bangsa ini bisa chaos karena tidak ada pemilu. Karena itu, Panglima harus beri data yang lebih akurat. Jangan hanya keluarkan statement," ucap Akil kepada pers.
Barlianta Harahap mengatakan, Panglima TNI harus bisa menjelaskan apakah upaya untuk menggagalkan pemilu itu hanya dalam tahap prosedural atau substansial.

Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi malah menilai pernyataan Panglima TNI itu sebagai pernyataan yang menyeramkan. Kendati demikian, dia berharap masyarakat dapat menangkapnya dengan kepala dingin. "Data intelijen itu tidak bisa dijadikan judgement," katanya.

Kristiadi menilai pernyataan Panglima TNI yang mengatakan bahwa sabotase akan dilakukan dalam bentuk pengajuan judicial review adalah penafsiran yang tidak tepat. Sebab, pengajuan judicial review merupakan tindakan yang dimungkinkan di negara demokrasi.
Kekhawatiran adanya kerusuhan dalam pemilu pun, menurut Kristiadi, adalah berlebihan. Sebab, paparnya, kekhawatiran serupa juga terjadi di setiap pemilu.

Pengamat politik dari The Habibie Centre, Indria Samego, berpendapat lain. Dia menilai data intelijen itu masuk akal. Dia melihat memang ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menghendaki agar reformasi yang sudah berjalan lima tahun ini berhenti di tengah jalan.
"Kelompok-kelompok ini tidak lemah, tapi punya kekuatan untuk mengganggu masyarakat dan memberi image bahwa proses reformasi hanya menimbulkan kesengsaraan," ucapnya.

Namun, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai pernyataan Panglima TNI soal kemungkinan adanya sabotase untuk menggagalkan Pemilu 2004 itu sangat kabur.

"Panglima TNI harus menunjukkan kelompok-kelompok mana saja yang akan melakukan sabotase dan apa tujuannya. Apakah mau menggagalkan proses demokrasi atau mau mengembalikan kekuasaan kepada TNI? Jangan membuat situasi masyarakat resah," katanya.
Dia mengaku heran kenapa peringatan sabotase pemilu datang dari Panglima TNI. Seharusnya, data mengenai perkembangan politik datang dari intelijen kepolisian atau Badan Intelijen Negara (BIN) karena lembaga itulah yang lebih berperan untuk memantau perkembangan politik.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Nazaruddin Sjamsuddin malah menilai adanya upaya untuk menggagalkan pelaksanaan Pemilu 2004 itu terbaca sejak Oktober 2003. Dia menuding media massa terus-menerus melansir berita bahwa pemilu terancam gagal.

Dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa, Nazaruddin menyebutkan, berita-berita mengenai ancaman kegagalan pemilu itu hanya diungkapkan oleh sumber berita atau lembaga yang sama. Hal itu terus berulang sehingga apa yang dikerjakan oleh KPU seolah-olah tidak ada yang benar. "Cara tersebut tidak sehat lagi," katanya.

Kalangan lembaga swadaya masyarakat aktivis hak asasi manusia menilai pernyataan Panglima TNI itu diarahkan untuk semakin menyudutkan dan membatasi ruang gerak organisasi prodemokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, untuk membatasi ruang gerak para penyelenggara pemilu di tingkat nasional maupun tingkat daerah, yang secara kritis menyikapi seluruh proses persiapan dan penyelenggaraan pemilihan umum.

Komentar itu disampaikan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif Imparsial Munir, dan Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Binny Buchori. (sie/bur/sut/k04/win/k03)