Sunday, April 22, 2001

Dilema Bintang Sembilan

Republika Online

Minggu, 22 April 2001


Tekanan bertubi-tubi terhadap Presiden Wahid memaksa NU turun tangan.
Pekan mendatang, jika di Senayan atau entah di lokasi mana anda mendengar yel yang mirip dengan jinggle iklan rokok Minak Jinggo, bisa dipastikan bahwa yang meneriakkan yel itu adalah Pasukan Berani Mati (PBM). PBM adalah salah satu elemen pendukung berat Presiden Abdurrahman Wahid. Mereka yang sejak awal April lalu berlatih 'kanuragan' di pinggiran kota Jember, Jawa Timur, kabarnya kebal dari senjata tajam, peluru bahkan gas air.

PBM, secara bertahap akan didatangkan ke Jakarta, mulai pekan depan. Jumlahnya belum teridentifikasi. Namun misi utama para pendukung Wahid tadi adalah 'mengamankan' kursi Presiden Wahid. Karenanya, siapapun yang mencoba menggoyang kepemimpinan Presiden Wahid akan dihadapi. Tegasnya, PBM memang disiapkan untuk menghadapi para penentang Presiden.

Masih belum jelas betul siapa sasaran utama PBM ini, para mahasiswa yang akan menggelar unjukrasa mendukung DPR untuk mengimpeach presiden, kalangan politisi yang berencana menjatuhkan memorandum II 31 April mendatang, atau para 'koboi' Senayan. Koboi Senayan adalah para vokalis di Senayan yang memang getol melontarkan kritik tajam kepada presiden, serta berhasil menggalang dukungan sehingga lahir memorandum I.

Merebak isu, puluhan anggota DPR masuk dalam 'Daftar Pencarian Orang' versi PBM tadi. Alvin Lie, yang disebut-sebut masuk dalam DPO tampak tenang-tenang saja. ''Siapa takut, emangnya gue pikirin. Kami kan bekerja benar, sesuai konstitusi. Kami yakin, Tuhan dan aparat keamanan akan melindungi.'' Jika Alvin tampak tenang-tenang, sejumlah anggota DPR mulai menenteng senjata api untuk perlindungan diri.

Memang, teror, intimidasi atau apapun namanya bagi anggota DPR yang terkait dengan memorandum I merupakan hal biasa. Namun, memperhatikan perkembangan mutakhir, Akil Mochtar--salah seorang pengumpul dukungan untuk memorandum I, berpendapat teror semacam itu dapat dikategorikan makar. ''Yang pasti, kalau keluarga kami dicolek sedikit saja, pasti akan terjadi perang antarsuku. Saya orang Dayak, pantang dianiaya,'' tandas Akil.

Dalam pandangan peneliti LIPI Dr Alfitra Salamm, keberadaan PBM mencerminkan simbol perlawanan terhadap upaya menggusur Presiden dari kekuasaannya. Namun langkah itu dilukiskan tidak profesional dan bisa menjadi bumerang bagi presiden sendiri. ''Perlawanan harusnya dilakukan secara konstitusional melalui PKB, bukan dengan pengerahan massa, intimidasi atau kekerasan,'' ujarnya. Sentra PBM di Jawa Timur disebutnya juga hanya akan memunculkan citra bahwa presiden hanya memiliki pendukung di Jawa Timur saja, ''ini akan mengecilkan presiden, bukan membesarkan.''

Rois Syuriah NU, Prof Dr Said Aqiel Siradj menegaskan pihaknya tidak tahu menahu tentang keberadaan PBM. ''Saya tidak tahu menahu tentang pasukan Berani Mati,'' tandas Said Aqiel usai bertmu Wapres Megawati Soekarnoputri, Rabu. ''Seperti yang saya lihat di Jawa Timur, yang mengkoordinir (Pasukan Berani Mati) tidak satupun pengurus NU,'' tambahnya.

Taruhlah, PBM sekadar elemen atau pendukung fanatik Presiden Wahid. Persoalannya, sekarang, mengapa aktivitas mereka justru meningkat menjelang acara istighotsah yang akan digelar 30 April mendatang di Senayan, juga rencana apel akbar yang akan digelar Banser? Said Aqiel meminta agar Istighosah yang akan digelar pada akhir bulan mendatang dinilai positif. Ia meminta agar semua pihak jangan mencurigai istighotsah tersebut. ''Istighotsah itu artinya berdoa,'' kata Said Agiel. ''Karena (kondisi) tidak normal, kita meminta pada Allah 'rame-rame' agar normal. Kami akan berdoa, bukan akan berdemo,'' katanya.

Fanatisme publik terhadap sang pemimpin, dan upaya publik untuk mati-matian membela pemimpinnya, tak urung membawa kita pada fenomena tribalisme. Sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah dalam sebuah diskusi di televisi menangkap kecenderungan itu. ''Sekarang ini terbalik. Bukan pemimpin yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, namun justru masyarakat yang memberikan perlindungan kepada masing-masing pemimpinnya.''

Apakah fenomena itu menggambarkan terjadinya penguatan kembali hubungan santri-kiai yang sempat dirontokkan Orde Baru melalui kebijakan politik massa mengambang? Sulit memberikan jawaban. Pasalnya pada pemilu 1999, Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PB NU tak sepenuhnya berhasil menggiring warga nahdliyin untuk mencoblos Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang dideklarasikan Wahid dan mendapat dukungan penuh para kiai NU. Buktinya, selain PKB ada sejumlah partai lain yang mengklaim memiliki basis pemilih di kalangan NU. Warga NU juga banyak memberikan pilihan ke partai lain, seperti PPP, Golkar, bahkan PDI-P.

Cukup beralasan jika pakar politik UGM, Prof Dr Ichlasul Amal menilai PBM, istighotsah maupun apel akbar Banser merupakan bagian dari tekanan politik para pendukung Wahid ke DPR. Karena sebagian besar pendukung Wahid, termasuk para politisi PKB, adalah para fungsionaris NU. Di sisi lain, sulit dibedakan mana organisasi NU sebagai organisasi jamiyah, dan mana organisasi PKB yang memang bergerak di bidang politik praktis.

Fenomena itu hanya akan memperkuat asumsi masyarakat bahwa NU telah kembali merambah dunia politik praktis. ''Ini riskan sekali, sayang banyak pengurus yang tidak menyadarinya.'' Keterlibatan NU yang terlalu jauh dalam urusan politik praktis, bisa menjadi bumerang bagi NU sendiri. Karena hal itu menyebabkan hidup mati NU akan tergantung pada kekuatan politik yang diikutinya. ''Dilihat dari jangka panjang, keterlibatan NU dalam politik akan berpengaruh pada posisi NU. Jatuh dan naiknya NU, jatuh dan naiknya politik yang diikuti,'' kata dia.

Seorang kiai mengakui bahwa secara kelembagaan NU seperti dipertaruhkan. Pasalnya, saat tekanan kepada Presiden Wahid terus berdatangan, para politisi PKB tak sanggup melakukan pembelaan. Karena PKB gagal, soal itu kemudian diambilalih oleh NU. Karena, bagaimanapun juga Presiden Wahid adalah tokoh NU yang dihormati. Persoalan itulah yang kemudian menyeret NU ke gelanggang politik praktis. ''Jika tak ada win-win solution, citra NU ke depan akan buruk,'' ujarnya.

Ia mengungkapkan, sepanjang Orde Baru NU seolah dipinggirkan oleh pemerintah. Sekarang masuk dalam lingkaran pemerintahan, bahkan menduduki pucuk pemerintahan. Tudingan aji mumpungpun tak terelakkan lagi. Jika Presiden Wahid turun, citra bahwa nahdliyin tidak bisa memimpin amat kental sekali. ''Ini akan menjadikan NU semakin termarginalkan dikemudian hari.''

Presiden sendiri menegaskan bahwa mengerasnya sikap para pendukungnya, merupakan reaksi terhadap sikap keterlaluan sekelompok orang yang menghujat, memfitnah, dan menyebarkan berita bohong tentang dirinya. Para pendukungnya tadi bukan hanya dari Jatim, melainkan juga datang dari Jateng, Jabar, Kalimantan Selatan dan Lampung. ''Jika ada kelompok menentang presiden boleh, mengapa ada kelompok pendukung presiden dilarang,'' ujarnya di Banten.

Artinya, reaksi keras lebih ditujukan pada upaya menjaga citra sang pemimpin. Boleh jadi asumsi ini benar. Bagaimana jika ada agenda lain, misalnya ada yang sengaja memanfaatkan sekadar untuk melanggengkan kursi empuk yang diduduki. Inilah sebuah tantangan berat yang dihadapi nahdliyin.
tar/ban/ant/uba/wid ()