Saturday, November 25, 2000

SK HPH Lecehkan Adat

Equator On Line

Sabtu, 25 November 2000


Mecer: Menguntungkan Kroni

Pontianak,- SK Gubernur Kalbar No 389/2000 tentang juklak pemberian HPH di bawah 10.000 hektare, dikecam keras. Bahkan, anggota MPR-RI Utusan Golongan Minoritas Dayak, Drs Anselmus Robertus Mecer, menilai Gubernur HA Aswin tidak memiliki etika dengan SK tersebut.

“Selaku anggota MPR-RI mewakili masyarakat Dayak se Kalimantan, saya tegas-tegas menyatakan, Surat Keputusan itu mesti dicabut, apapun alasannya. Aplikasi SK itu nantinya jelas-jelas melecehkan masyarakat adat,” kata AR Mecer kepada EQUATOR Jum’at (24/11) kemarin.

Menurut Mecer, penerapan SK HPH dimaksud akan menghancurkan keberadaan masyarakat adat secara sistematis, kontraproduktif terhadap tujuan mulia pembangunan, tidak mensejahterakan masyarakat dalam berbagai strata kehidupan.

Masyarakat akan kembali menjadi penonton untuk kesekian kalinya di tengah lajunya program pembangunan. Sumberdaya alam di depan kelopak mata masyarakat adat, akan dieksploitasi kalangan berduit di kota, dengan atas nama ini dan itu.

“Lahan 10 ribu hektare itu bukan sedikit. Pengeksploitasinya mesti menggunakan peralatan berat. Pertanyaan saya, apa mungkin orang desa mampu? Saya melihat ketentuan itu hanya menguntungkan kaum berduit memiliki akses dengan elit kekuasaan,” katanya.

Mecer mengatakan, melalui surat keputusannya menunjukkan Aswin sama sekali tidak memiliki moral keberpihakan terhadap masyarakat kecil dalam menjabarkan program pembangunan. “Aswin hanya berorientasi kepada kepentingan kelompok dan kroninya, sehingga program pembangunan selalu tumpang tindih, tanpa ujung pangkal,” kata Mecer.

Dewasa ini rencana tataruang wilayah propinsi tentang lahan peruntukan semakin tidak jelas, tumpang tindih, tanpa ada upaya konkret melakukan pembenahan mendasar, agar konflik horizontal setidaknya mampu diminalisir.

Ironisnya jika terjadi konflik kepentingan dengan perusahaan menyangkut kepemilikan lahan, aparat keamanan dibenturkan dengan masyarakat. Sementara si pembuat keputusan, melepaskan tanggungjawab.

“Jika masalah ini tidak dibenahi secara tuntas, sampai kapanpun konflik kepentingan akan tetap terjadi. Apalagi pemberian HPH di bawah 10 ribu hektare, bersentuhan langsung dengan sumber mata pencaharian masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil hutan,” katanya.

Menurut Mecer, jika memang ada itikad baik Aswin memajukan masyarakat adat, maka mesti dijelaskan terlebih dahulu kepada publik, berapa persisnya sisa hutan produktif yang ada di Kalbar. Kemudian dilakukan upaya konprehensif dan mendasar, tentang upaya apa lebih sesuai agar sisa hutan produktif bisa dieksploitasi secara maksimal, demi kepentingan ekonomi masyarakat adat.

Langkah itu, lanjut Mecer, mesti sudah tertuang dalam tataruang wilayah propinsi maupun tararuang wilayah kabupaten dan perencanaan pembangunan daerah. Lalu dibicarakan baik-baik dengan kalangan DPRD Kalbar, sesuai mekanisme dan ketentuan berlaku.

“Jadi DPRD pun tidak dengan mengeluarkan surat persetujuan secara diam-diam oleh oknum wakil ketua yang secara defacto melecehkan lembaga wakil rakyat itu sendiri,” tandasnya.

Gubernur Aswin, kata Mecer, harus mampu bertanggungjawab secara hukum, moral dan politik, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan setelah ketentuan tersebut diberlakukan.

Kalau di Jepang, ujar Mecer, orang akan mogok makan jika mendengar ada ikan paus dibunuh demi kepentingan ekonomi, sebagai bukti kecintaan terhadap lingkungan hidup.

“Di Kalbar pejabat negara seenaknya membuat ketentuan yang bisa menyengsarakan masyarakat. Mereka sama sekali tidak beradat dan malah biadab, sehingga Kalbar terus-terusan terpuruk dalam berbagai strata kehidupan,” kata Mecer. (aju)